ASUHAN
KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
CONGESTIVE
HEART FAILURE (CHF)
A. KONSEP MEDIK
1.
Pengertian
Jantung
merupakan organ pertama dan terpenting dalam sistem sirkulasi. Fungsi jantung
dalam sistem sirkulasi adalah memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh baik pada saat istirahat maupun melakukan
aktifitas. Congestive Heart Failuremerupakan sindrome klinis yang kompleks yang
dapat mengakibatkan gangguan jantung struktural maupun fungsional sehingga
mengganggu kemampuan ventrikel menerima atau memompa darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Manifestasiklinis dari Congestive Heart
Failureantara lain dyspnea (sesak napas) dan fatique (kelelahan) yang dapat
membatasi aktivitas, serta retensi cairan yang dapat menyebabkan kongesti paru
dan edema perifer (Kimble et al., 2009)
2.
Epidemiologi
Diperkirakan
terdapat lima juta orang di Amerika Serikat (1.5% sampai 2% dari populasi)
mengidap Congestive Heart Failure. Prevalensi terus meningkat dengan 550.000
kasus baru setiap tahunnya. Kejadian Congestive Heart Failurekira-kira sebesar
10 per 1000 pada populasi dengan usia di atas 65 tahun sehingga merupakan
penyebab umum hospitalisasi pada pasien usia tua (Kimbleet al., 2009).
Laki-laki dan wanita pada ras Kaukasia, Amerika Afrika, dan Amerika Meksiko
yang berusia lebih dari 20 tahun masing-masing memiliki presentase terkena CHF
sebesar 2,5%, 3,1%, dan 2,7% (pada laki-laki) dan 1,9%, 2,5%, dan 1,6% (pada
wanita) (ACCF/AHA, 2005). Diperkirakan lebih dari 15 juta kasusbaru gagal jantung
muncul setiap tahunnyadi seluruh dunia. Saat ini 50% penderita gagaljantung
akan meninggal dalam waktu 5 tahunsejak diagnosis ditegakkan (Kasper et al.,
2005)
3.
Etiologi
Penyakit
Congestive Heart Failure dapat
diklasifikasikan dalam enam kategori utama (Parker et al., 2008), yaitu:
a.
Kegagalan yang berhubungan dengan
abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard),
kontraksi yang tidak terkoordinasi (left
bundle branch block), dan berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
b.
Kegagalan yang berhubungan dengan
overload (hipertensi).
c.
Kegagalan yang berhubungan dengan
abnormalitas katup.
d.
Kegagalan yang disebabkan abnormalitas
ritme jantung (takikardi)
e.
Kegagalan yang disebabkan abnormalitas
perikardium atau efusi perikardium (tamponade).
f.
Kelainan kongenital jantung.
4.
Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal
jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, menyebabkan curah
jantung lebih rendah dari normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan
dengan persamaan CO = HR x SV, dimana curah jantung (CO: cardiac output) adalah
fungsi frekuensi jantung (HR: heart rate) x volume sekuncup (SV: stroke volume)
(Smletzer & Bare, 2012).
Frekuensi jantung dipengaruhi fungsi
sistem saraf otonom. Bila curah jantung berkurang, system saraf simpatis akan
mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila
mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang
memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung.Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama
kerusakan dan kekakuan searabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan
curah jantung normal masih dapat dipertahankan (Smletzer & Bare, 2012).
Volume sekuncup, jumlah darah yang
dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu: preload,
contactility, afterload (Smletzer & Bare, 2012).
Preload sinonim dengan Hukum
Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung
berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan
serabut jantung (Smletzer & Bare, 2012).
Contactility
mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan
berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium
(Smeltzer & Bare, 2012)
Afterload
mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa
darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol
(Smletzer & Bare, 2012)
Pada
gagal jantung kongestif, jika satu atau lebih dari ketiga faktor tersebut
terganggu, hasilnnya curah jantung berkurang (Smletzer & Bare, 2012).
Peningkatan
kerja jantung yang berlebih akan mengakibatkan mekanisme perkembangan
hipertrofi otot jantung dan remodelingyang dapat menyebabkanperubahan struktur
(massa otot, dilatasi camber) dan fungsi (gangguan fungsi sistolik dan
diastolik) (Herman, 2011).
5.
Manifestasi klinis
Manifestasi
klinis pada Congestive Heart Failure antara lain:
a.
Gejala yang dirasakan pasien bervariasi
dari asimptomatis (tak bergejala) hingga syok kardiogenik.
b.
Gejala utama yang timbul adalah sesak
nafas (terutama ketika bekerja) dan kelelahan yang dapat menyebabkan
intoleransi terhadap aktivitas fisik. Gejala pulmonari lain termasuk
diantaranya orthopnea, dyspnea, dan batuk.
c.
Tingginya produksi cairan menyebabkan
kongesti pulmonari dan oedema perifer.
d.
Gejala yang dapat timbul diantaranya termasuk
nocturia, sakit pada bagian abdominal, anoreksia, mual, kmbung, dan ascites
(Sukandar, 2009).
Gagal
jantung kiri
Kongesti paru menonjol pada
gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak mampu memompa darah yang datang
dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu:
·
Dispnu
Terjadi akibat penimbunan
cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran
·
Batuk
·
Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung
yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal. Juga terjadi karena
meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi
karena distress pernafasan dan batuk.
·
Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan
oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa
jantung tidak berfungsi dengan baik.
Gagal
Jantung Kanan:
· Kongestif jaringan perifer
dan viseral.
· Edema ekstrimitas bawah
(edema dependen), biasanya edema pitting, penambahan berat badan,
· Hepatomegali dan nyeri tekan
pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar
· Anorexia dan mual. Terjadi
akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen.
· Nokturia
· Kelemahan.
6.
Diagnosis
Menurut
Parker et al., (2008) dalam penetapan diagnosis gagal jantung tidak dapat
dilakukan dengan tes tunggal. Hal tersebut dikarenakan gagal jantung dapat
disebabkan atau diperburuk oleh berbagai gangguan baik dari jantung maupun
bukan dari jantung. Tahap evaluasi awal mencakup perhitungan darah komplit, serum
elektrolit (termasuk Mg), uji fungsi ginjal dan hati, urinalisis, profil lipid,
x-ray dada, serta elektrokardiogram (EKG). Perhitungan BNP juga dapat membantu
membedakan dyspnea yang disebabkan oleh gagal jantung atau penyebab lain
(Parker et al., 2008).
Diagnosis ditegakkan atas
dasar 2 kriteria utama, atau 1 (satu) kriteria utama disertai 2 (dua) kriteria tambahan.
Kriteria utama:
-
Orthopneu
-
Paroksismal Nocturnal Dyspneu
-
Cardiomegali
-
Gallop
-
Peningkatan
JVP
-
Refleks
Hepatojuguler
Kriteria tambahan:
-
Edema pergelangan kaki
-
Batuk malam hari
-
Dyspneu on effort
-
Hepatomegali
-
Efusi pleura
-
Takhikardi
7.
Klasifikasi
Congestive
Heart Failuredapat diklasifikasikan berdasarkan abnormalitas struktural jantung
berdasarkan American College of
Cardiology Foundation/American Heart Association:
a.
Stadium A yaitu Memiliki risiko tinggi
berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat ganguan struktural atau
fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala. Contohnya seperti
hipertensi, coronary artery disease, diabetes (Parker et al, 2008).
b.
Stadium B yaitu telah terbentuk penyakit
struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung. Tidak
terdapat tanda atau
gejala. Contohnya seperti riwayat MI, Left
Ventricular Hypertrophy, Left Ventricular Systolic dysfunctiona simptomatik
(Parker et al., 2008).
c.
Stadium
C yaitu gagal jantung asimptomatis yang berhubungan dengan penyakit
strukturaljantung yang mendasari. Contohnya Left Ventricular systolic
dysfunctiondan sesak nafas, kelelahan, retensi cairan, atau gejala HF lain.
Stage C termasuk pasien dengan asimptomatik yang pernah menerima pengobatan
gejala HF (Parker et al., 2008).
d.
Stadium
Dyaitu penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang
sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal.
Contohnya seperti pasien dengan gejala refractoryterhadap pengobatan tetapi
toleransi pada farmakoterapi maksimal. Pasien membutuhkan hospitalisasi dan
intervensi khusus (Parker et al., 2008).
Klasifikasi berdasarkan gejala
berkaitan dengan kapasitas fungsional menurut New York Heart Association (NYHA):
a.
Kelas
I yaitu tidak terdapat batasan melakukan aktivitasfisik. Aktivitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
b.
Kelas
II yaitu terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.
c.
Kelas
III yaitu terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, tetapi aktvitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak.
d.
Kelas IV yaitu tidak dapat melakukan
aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan
meningkat saat melakukan aktivitas.
8.
Terapi Congestive Heart Failure
Tujuan
pengobatan gagal jantung adalah untuk menghilangkan gejala, memperlambat
progresivitas penyakit, serta mengurangi hospitalisasi dan mortalitas. Pada
dasarnya, tatalaksana terapi bertujuan untuk mengembalikan fungsi jantung untuk
menyalurkan darah keseluruh tubuh. Selain itu, terapi juga ditujukan kepada
faktor-faktor penyebab atau komplikasinya (Ritter, 2008). Terapi Congestive Heart Failure juga bertujuan
untuk pengurangan preload dan afterload, serta peningkatan keadaan inotropik
(Brunton et al., 2011).
Terapi
gagal jantung dibagi menjadi 3 komponen, yaitu menghilangkan faktor pemicu,
memperbaiki penyebab yang mendasar dan mengendalikan keadaan Congestive Heart Failure (Selwyn et al.,
2005).
Menurut
New York Heart Association (NYHA)
Terapi Heart Failure dibagi berdasarkan kelas fungsional pasien yang terdiri
dari kelas I, kelas II, kelas III dan kelas IV, yaitu:
a.
Terapi asimptomatik pada disfungsi Left Ventricular (LV) (NYHA Class I)

b.
Terapi pada sistolik gagal jantung (NYHA
kelas II/III)

c.
Terapi pada sistolik gagal jantung(NYHA
kelas IV)

Berikut
ini merupakan obat-obatan yang digunakan dalam terapi gagal jantung:
1)
ACE Inhibitor
Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitormerupakan golongan obat lini pertama pada terapi
semua tingkat gagal jantung, termasuk pada pasien yang belum mendapatkan gejala
atau asimptomatik (Hudson et al., 2003).
Obat-obat
golongan ACE Inhibitor bekerja dengan cara menghambat kerja enzim pengubah
Angiotensin I menjadi Angiotensin II (Angiotensin Converting Enzyme) sehingga
pembentukan angiotensin II menurun dan menyebabkan jumlah aldosteron juga
menurun. Dengan menurunnya angiotensin II dan aldosteron ini dapat melemahkan
efek merusak dari neurohormon termasuk dalam menurunkan ventricullar
remodelling, miokardial fibrosis, apoptosis miosit, hipertrofi jantung,
pelepasan NE, vasokontriksi, serta retensi garam dan air (Parker et al., 2008).
Dengan begitu, maka curah jantung dapat meningkat kembali. Peningkatan curah
jantung tersebut menyebabkan perbaikan perfusi ginjal, sehingga akan
meringankan udema yang terjadi (Hudson et al., 2003).
Pengobatan
dengan menggunakan ACE Inhibitor sebaiknya dimulai dengan dosis awal yang
rendah yang telah direkomendasikan, diikuti dengan peningkatan dosis bertahap
apabila dosis awal tersebut sudah dapat ditoleransi dengan baik. Fungsi renal
dan kadar kalium dalam serum harus dimonitoring selama satu hingga dua minggu
setelah pemberian pertama terapi terutama pada pasien dengan hipotensi,
hiponatremia, diabetes melitus, azotemia, atau pasien yang menggunakan suplemen
kalium (ACCF/AHA, 2013).
2)
β-Bloker
Sebelumnya,
obat-obat golongan β-Blocker dinyatakan dapat memperburuk gagal jantung tetapi
sekaligus merupakan terapi standar pada pengobatan gagal jantung. Inisiasi
penggunaan β-Blocker dosis normal pada pasien gagal jantung berpotensi
menimbulkan dekompesasi atau dapat memperburuk gejala yang ada karena efek
inotropik negatif tersebut. Akan tetapi, ada bukti yang menyatakan bahwa
penggunaan β-Blocker pada pasien gagal jantung yang stabil dengan dosis
inisiasi dan dinaikkan secara bertahap dalam beberapa minggu, dapat memberikan
banyak manfaat. Sehingga ACCF/AHA merekomendasikan penggunaan β-Blocker pada
pasien stable systolic heart failurekecuali jika pasien mempunyai
kontraindikasi atau dengan jelas intoleran terhadap β-Blocker (Parker et al.,
2008).
3)
Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs)
Angiotensin
II Reseptor Blockers (ARBs) digunakan pada pasien Congestive Heart Failure dengan penurunan EF yang intoleran
terhadap penghambat ACE. Angiodema terjadi pada <1% pasien yang mendapat
terapi penghambat ACE sehingga penghambat ACE tidak dapat diberikan pada pasien
yang pernah mengalami angiodema. Pasien tersebut dapat diberikan terapi ARBs
sebagai pengganti penghambat ACE (ACCF/AHA, 2013).
Terapi
dengan ARBs sebaiknya dimulai dengan dosis awal yang rendah yang telah
direkomendasikan, diikuti dengan peningkatan dosis bertahap apabila dosis awal tersebut
sudah dapat ditoleransi dengan baik. Fungsi renal dan kadar kalium dalam serum
harus dimonitoring selama satu hingga dua minggu setelah pemberian terapi
(ACCF/AHA, 2013).
Mekanisme
aksi ARB adalah dengan mengeblok reseptor angiotensin II sehingga angiotensin
II tidak terbentuk terjadi vasodilatasi dan penurunan volume retensi.
Perbedaannya dengan obat golongan penghambat ACE, ARBs tidak menghasilkan
akumulasi bradikinin sehingga mengurangi efek samping batuk dan angiodema. Efek
samping ARBs adalah hipotensi, hiperkalemia, dan lebih kecil risiko efek
sampingbatuk. Penggunaan ARBs dikontraindikasikan pada ibu hamil dan stenosis
ginjal bilateral (BNF, 2011).
4)
Golongan Vasodilator Langsung
Antihipertensi
vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan darah dengan
cara merelaksasi otot polos pembuluh darah, terutama arteri, sehingga
menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi tekanan darah akan
turun dan nantrium serta air tertahan, sehingga terjadi oedema perifer.
Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja langsung
untuk mengurangi edema. Refleks takikardia disebabkan oleh vasodilatasi dan
menurunnya tekanan darah. Penghambat beta seringkali diberikan bersama-sama
dengan vasodilator arteriola untuk menentukan denyut jantung, hal ini melawan
refleks takikardia (WHO, 2003).
Antihipertensi
vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Hidralazin mempunyai banyak efek
samping termasuk takikardia, palpitasi, oedema, kongesti hidung, sakit kepala,
pusing, perdarahan saluran cerna, gejala-gejala seperti lupus, dan
gejala-gejala neurologik (kesemuatan, baal) (WHO, 2003).
5)
Glikosida jantung
Glikosida
jantung seperti digoksin dapat meningkatkan kontraksi otot jantung yang
meghasilkan efek inotropik positif. Mekanisme kerjanya belum jelas tetapi
digoksin merupakan penghambat yang poten pada aktivitas pompa saluran natrium,
yang menyebabkan peningkatan pertukaran Na-Ca dan peningkatan kalsium
intraseluler. Efeknya adalah terjadinya peningkatan ketersediaan ion kalsium
untuk kontraksi otot jantung (Gray, et al., 2002).
Glikosida
jantung juga memodulasi aktivitas sistem saraf otonom, dan mekanisme ini
kemugkinan berperan besar pada efikasi glikosida jantng dalam penatalaksanaan
gagal jantung (Brunton, et al., 2011). Dosis pemakaian digoksin yang dianjurkan
adalah 0,125-0,25 mg/hari sedangkan dosis awal pada pasien dengan insufiensi
ginjal, lbih dari 70 tahun atau lean body mass rendah adalah 0,125 mg/hari
(Hunt, et al., 2005).
6)
Antagonis Kanal Kalsium
Obat-obat
golongan Calcium Channel Blocker atau Antagonis Kanal Kalsium merupakan edema
perifer dan tidak umum digunakan dalam terapi gagal jantng. Akan tetapi studi
terbaru mengenai amlodipin dan felodipin mendukung adanya efek menguntungkan
dan bahwa penggunaannya aman, sehingga merupakan obat yang secara potensial
dapat digunakan bila terdapat hipertensi atau angina bersama gagal jantung
(Gray et al., 2002).
7)
Diuretik
Mekanisme
kompensasi gagal jantung menstimulasi retensi garam dan cairan yang berlebihan,
sehingga seringkali menimbulkan gejala dan tanda berupa kongesti paru dan
sistemik. Maka dari itu, kebanyakan pasien gagal jantung membutuhkan terapi
diuretik jangka panjang untuk mengontrol status cairannya, sehingga diuretik
merupakan pengobatan dasar pada terapi gagal jantung. Akan tetapi, karena
diuretik tidak menghambat progresivitas gagal jantung, maka penggunaannya tidak
diwajibkan (Parker, et al., 2008).
Diuretik
menghilangkan retensi garam dan cairan dengan cara menghambat reabsorbsi
natrium di tubulus ginjal. Diuretik menghilangkan retensi natrium pada gagal
jantung dengan menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik di
tubulus ginjal. Diuretika yang digunakan
pada terapi Congestive Heart Failuredibagi menjadi 3 golongan yaitu:
a)
Diuretika Kuat (bumetanide, furosemide,
dan torsemide)
Obat
ini bekerja dengan mencegah rebasorbsi natrium, klorida dan kalium pada segmen
tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa klorida.
Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini.
Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mula kerja dan lama
kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama bekerja pada Ansa
Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat
kotranspor Na+/K+/Cl-dari membran lumen pada pars ascenden ansahenle, karena
itu reabsorbsi Na+/K+/Cl-menurun (NICE, 2011).
Efek
samping yang paling sering dijumpai adalah ketidakseimbangan elektrolit dan
cairan, seperti hipokalsemia dan hipokloremia. Hipotensi ortostatik dapat
timbul. Diuretika kuat juga dikontraindikasikan untuk dipakai paa penderita
gagl ginjal. Gejala-gejala gangguan fungsi ginjal yang berat meliputi oligouria
(penurunan jumlah urin yang sangat jelas), peningkatan nitrogen urea darah dan
peningkatan kretainin darah (NICE, 2011).
Interaksi
obat yang paling utama adalah dengan preparat digitalis, jika pasien
menggunakan digoksin dengan diuretik kuat, bisa terjadi keracunan digitalis,
pasien ini memerlukan kalium tambahan melalui makanan atau obat. Hipokalemia
memperkuat kerja digoksin dan meningkatkan risiko keracunan digitalis (NICE,
2011).
b)
Diuretika tiazid (chlortiazid,
hidrochlortiazid, indapamid, dan metolazone).
Diuretika
tiazid bekerja pada bagian awal tubulus distal (nefron). Obat ini menurunkan
reabsorbsi natrium dan klorida dengan menghambatkontranspoter Na+/Cl-pada
mebran lumen, yang meningkatkan ekskresi air, natrium, dan klorida. Selain itu,
kalium hilang dan kalsium di tahan. Obat ini digunakan dalam pengobatan
hipertensi, gagal jantung, edema, dan pada diabetes insipidus nefrogenik. Efek
samping dan reaksi yang merugikan dari tiazid mencakup ketidakseimbangan
elektrolit (hipokalemia, hipokalsemia, hipomagnesemia dan kehilangan
bikarbonat), hiperglikemia (gula darah meningkat), hiperurisemia (kadar asam
urat meningkat). Efek samping lainmencakup pusing, sakit kepala, mual, muntah,
konstipasi, dan urtikaria (NICE, 2011).
Tiazid
dikontraindikasi pada penderita gagal ginjal. Gejala-gejala gangguan fungsi
ginjal yang berat meliputi oligouria (penurunan jumlah urin yang sangat jelas),
peningkatan nitrogen urea darah dan peningkatan kreatinin darah. Dari berbagai
interaksi obat, yang paling serius adalah interaksi diuretika tiazid jika digunakan
bersama digoksin, sehingga bisa menyebabkan hipokalemia, yang menguatkan ketja
digoksin, sehingga bisa menyebabkan keracunan digitalis. Tanda dan gejal
keracunan digitalis (bradikardia, mual, muntah, perubahan penglihatan) harus
dilaporkan. Tiazid memperkuat kerja obat antihipertensi lainnya, yang mungkin
dipakai secara kombinasi (NICE, 2011).
c)
Diuretika Hemat Kalium (amilorid,
spironolakton, dan triameteren).
Spironolakton
merupakan antagonis aldosteron dengan mekanisme meningkatkan retensi kalium dan
ekskresi natrium di tubulus distal. Biasanya penggunaan spironolakton
dikombinasikan dengan diuretika lain untuk mencegah kemungkinan hilangnya
kalium secara berlebihan (IONI, 2008).
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a.
Riwayat
-
Penyakit jantung atau kondisi yang dapat
mencetuskan gagal jantung
-
Dyspnea atau dyspnea nocturnal
paroksismal
-
Edema perifer
-
Keletihan
-
Kelemahan
-
Insomnia
-
Anoreksia
-
Mual
-
Abdomen terasa penuh (terutama pada
gagal jantung kanan)
-
Penyalahgunaan zat (alkohol, obat,
tembakau)
b.
Temuan pemeriksaan fisik
-
Batuk bersputum
-
Sianosis pada bibir dan dasar kuku
-
Kulit pucat, dingin, dan basah
-
Diaphoresis
-
Distensi vena jugularis
-
Acites
-
Takikardia
-
Pulsus alternans
-
Hepatomegaly dan kemungkinan splenomegaly
-
Penurunanan tekanan nadi
-
Bunyi jantung S3 dan S4
-
Krekles lembab dan bibasilar, ronkhi dan
mengi ekspiratori
-
Penurunan oksimetri nadi
-
Edema perifer
-
Penurunan haluaran urine
c.
Pemeriksaan diagnostic
1)
Laboratorium
-
Immunoassay peptide natriuretic tipe B
meningkat
2)
Pencitraan
-
Foto thoraks menunjukkan peningkatan
tanda vaskularpulmoner, edema interstisial, atau efusi pleura dan kardiomegali
3)
Prosedur diagnostic
-
EKG memperlihatkan regangan atau
pembesaran atau iskemia jantung. Pemeriksaan ini juga dapat memperlihatkan
pembesaran atrium, takikardia, ekstra systole, atau vibrilasi atrial
-
Pemantauan tekanan arteri pulmonal
biasanya menunjukkan peningkatan arteri pulmonal dan tekanan baji arteri
pulmoner, tekanan akhir diastole ventrikel kiri pada gagal jantung kiri dan
peningkatan atrium kanan atau vena sentral pada gagal jantung kanan.
2. Diagnose keperawatan, kriteria
hasil (NOC), dan Intervensi (NIC)
NO
|
Diagnose
keperawatan
|
Hasil
(NOC)
|
Intervensi
(NIC)
|
1
|
Penurunan
curah jantung berhubungan dengan:
-
Perubahan afterload (resistensi vascular)
-
Perubahan frekuensi (irama
jantung)
-
Perubahan kontraktilitas seperti
defek valvular atau katup dan aneurisme ventrikel
|
Efektifitas pompa
jantung:
- Menunjukkan
tanda vital dalam batas yang dapat diterima, disritmia tidak terjadi atau
terkontrol, dan tidak ada kegagalan, mis. Parameter hemodinamika berada dalam
batasan yang dapat diterima dan haluaran urine adekuat
- Melaporkan
penurunan episode dyspnea dan angina
Manajemen diri dari penyakit
jantung:
Berpartisipasi
dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
|
Regulasi hemodinamik
Mandiri:
-
Evaluasi adanya
nyeri dada
-
Catat adanya disritmia jantung
-
Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac
putput
-
Monitor status
pernafasan yang menandakan gagal jantung
-
Monitor balance cairan
-
Monitor respon
pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia
-
Atur periode
latihan dan istirahat untuk menghindari kelelahan
-
Monitor toleransi aktivitas pasien
-
Monitor adanya
dyspneu, fatigue, tekipneu dan ortopneu
- Anjurkan untuk
menurunkan stress
-
Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
-
Monitor TTV saat
pasien berbaring, duduk, atau berdiri
-
Auskultasi TD
pada kedua lengan dan bandingkan
-
Monitor TD, nadi,
RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
-
Monitor jumlah,
bunyi dan irama jantung
-
Monitor frekuensi
dan irama pernapasan
-
Monitor pola pernapasan abnormal
-
Monitor suhu,
warna, dan kelembaban kulit
-
Monitor sianosis perifer
-
Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
-
Identifikasi
penyebab dari perubahan vital sign
-
Jelaskan pada
pasien tujuan dari pemberian oksigen
-
Minimalkan stresslingkungan
Kolaborasi:
-
Beri oksigen
tambahan, jika diindikasikan
-
Beri medikasi
sesuai indikasi: mis. Diuretik, inhibitor ACE, vasodilator, agens inotropik, dll
|
2
|
Intolerans
aktivitas berhubungan dengan:
-
Gaya hidup kurang gerak
-
Kelemahan umum
-
Ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen
|
Endurance:
- Berpartisipasi
dalam aktivitasyang diinginkan; memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri
- Mencapai
peningkatan yang dapat diukur dalam hal toleransi aktivitas yang dibuktikan
dengan penurunan keletihan dan kelemahan, dan tanda vital berada dalam batas
yang dapat diterima selama aktivitas
|
Manajemen energy:
Mandiri:
- Periksa
tanda vital sebelum dan segera setelahaktivitas selama periode akut atau
perburukan gagal jantung terutama jika klien mendapatkan vasodilator, diuretic,
atau penyekat beta
- Dokumentasikan
respons jantung paru terhadap aktivitas. Catat takikardi, disritmia, dyspnea,
diaphoresis, dan pucat
- Kaji
tingkat keletihan dan evaluasi pencetus dan penyebab keletihan yang lain,
misalnya terapi gagal jantung, nyeri, kakheksia, anemia, dan depresi
- Evaluasi
peningkatan intoleransi aktivitas
- Beri
bantuan dalam aktivitas perawatan diri, sesuai indikasi. Selingi aktivitas
dengan periode istirahat.
Kolaboratif
Implementasikan program rehabilitasi
jantung dan aktivitas secara bertahap.
|
3
|
Hypervolemia
b. d
-
Kelebihan asupan natrium
-
Penurunan mekanisme regulator
(penurunan laju filtrasi glomerulus, peningkatan produksi hormone antidiuretic
(ADH), dan retensi natrium dan air)
|
Keparahan kelebihan
cairan:
-
Mendemonstrasikan volume cairan
yang stabil dengan keseimbangan antara asupan dan haluaran, suara napas
bersih, tanda vital berada dalam kisaran yang dapat diterima, dan edema tidak
ada
-
Mengungkapkan pemahaman tentang
diet individual dan pembatasan cairan
|
Manajemen cairan:
Mandiri:
-
Pantau haluaran urine, perhatikan
jumlah dan warna, serta pukul berapa diuresis terjadi
-
Pantau balans cairan dalam 24 jam
-
Pertahankan istirahat di tempat
tidur atau kursi dalam posisi semifowler selama fase akut
-
Timbang BB tiap hari
-
Kaji distensi pembuluh darah di
leher dan perifer. Inspeksi area tubuh yang posisinya tergantung untuk
mendeteksi adanya edema dengan atau tanpa adanya pitting; perhatikan adanya edema anasarka.
-
Ubah posisi dengan sering. Tinggikan
kaki saat duduk. Inspeksi permukaan kulit, pertahankan tetap kering, dan
diberikan bantalan sesuai indikasi
-
Auskultasi bunyi napas,
perhatikan penurunan bunyi napas dan bunyi napas tambahan, mis. Cracles, dan mengi. Perhatikan terjadinya
peningkatan dyspnea, takipnea, orthopnea, dyspnea nocturnal paroksismal, dan
batuk persisten
-
Pantau TD, CVP (jika terpasang)
-
Kaji bising usus. Perhatikan keluhan
anoreksia, mual, distensi abdomen, dan konstipasi.
-
Beri makanan dalam jumlah
sedikit, sering, mudah dicerna.
-
Palpasi abdomen. Perhatikan laporan
nyeri atau nyeri tekan pada kuardan kanan atas
-
Perhatikan adanya peningkatan
letargi, hipotensi, dank ram otot.
Manajemen
cairan/elektrolit:
Kolaborasi:
- Beri
medikasi sesuai indikasi, mis: diuretic, tiazid, penyimpan kalium, suplemen
kalium
- Pertahankan
pembatasan cairan dan natrium sesuai indikasi
- Konsultasikan
dengan ahli gizi
- Pantau
foto ronsen dada
- Pantau
hitung darah lengkap, elektrolit terutama kalium dan natrium
|
4
|
Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-kapiler akibat
penumpukan cairan dan perpindahan cairan ke ruang interstisial atau alveoli.
|
Status pernapasan:
Pertukaran gas
- Menunjukkan
ventilasi dan oksigenasi jaringan yang adekuat dengan nilai AGD dan oksimetri
berada dalam kisaran normal klien dan bebas dari gejala distress pernapasan
|
Manajemen jalan
napas:
Mandiri
- Auskultasi
bunyi napas, perhatikan crecles dan mengi
- Instruksikan
klien batuk efektif dan napas dalam
- Dorong
perubahan posisi dengan sering
- Pertahankan
istirahan di kursi atau tirah baring dalam posisi semi-fowler, dengan kepala
tempat tidur ditinggikan setinggi 30 – 45 derajat
Kolaborasi:
- Pantau
nila AGD dan oksimetri nadi
- Beri
tambahan oksigen, sesuai indikasi
- Beri
medikasi sesuai indikasi, seperti diuretik
|
5
|
Nyeri
kronis b.d:
-
Penyakit fisik kronis atau
kondisi kronik
-
Perubahan kemampuan untuk
melanjutkan aktivitas sebelumnya
|
Control nyeri:
- Mengunkapkan
dan mendemonstrasikan peredaan atau pengendalian nyeri atau ketidaknyamanan
- Mendemonstrasikan
dan memulai modifikasi perilaku gaya hidup dan menggunakan intervensi
terapeurik dengan benar
|
Manajemen nyeri:
Mandiri
- Kaji
keberadaan nyeri
- Catat
kondisi penyerta
- Kaji
efek nyeri pada gaya hidup nyeri, sperti inaktivitas fisik, keletihan berat, pertambahan
atau penurunan berat badan, kesulitan tidur, dan depresi
- Beri
pedoman antisipasi
Kolaborasi:
- Bantu
terapi kondisi pokok (underlying)
atau kondisi penyerta
- Beri
analgesic, sesuai indikasi
|
6
|
Risiko
kerusakan integritas kulit
Factor
risiko:
Gangguan
sirkulasi
|
Perfusi jaringan:
perifer
-
Mempertahankan integritas kulit
-
Mendemonstrasikan perilaku atau
teknik untuk mencegah kerusakan kulit
|
Manajemen tekanan:
Mandiri
-
Inspeksi kulit, perhatikan
tonolan tulang, keberadaan edema, dan area perubahan sirkulasi dan pigmentasi
-
Beri masase lembut di seputar
area yang memerah atau keputihan
-
Dorong perubahan posisi dengan
sering di tempat tidur dan kursi, bantu ROM aktif dan/atau pasif
-
Beri perawatan kulit dengan
sering; minimalkan kontak dengan kelembaban dan ekskresi
-
Hindari rute intramuscular dalam
pemberian medikasi.
Kolaborasi
- Beri
tekanan secara bergantian, kasur terisi udara atau air, dan pelindung siku dan
tumit.
|
Referensi
Bulechek, G. M., Butcher, H. K.,
Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2013). Nursing
Intervention Classification (NIC). 6th Ed. United Kingdom:
Elsevier
Brunton,
L.L.et al.,
Terjemahan E.Y. Sukandar, et al. (2011).
Goodman & Gilman: Manual Farmakologi dan Terapi. Cetakan 2011. Jakarta: EGC
Dosen
Keperawatan Medikal Bedah. (2017). Rencana
Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Diagnosa NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta:
EGC
Gray,
H. H. (2002). Lecture Notes Kardiologi.
Jakarta: Erlangga Medical Series
Hudson,
S. A., McAnaw, J., Reid, F., (2003). Congestive
Heart Failure, in Walker, R., and Edwards, C., Clinical Pharacy and Therapeutic,
3rd Edition, 279288, Churchill Livingstone, United Kingdom
Hunt,
S.A., Abraham, W.T., Chin, M.H., Feldman, A.M., and Francis, G.S., Ganiants,
T.G., Jessup, M., Konstam, M.A., (2009). Diagnosis
and Management of Chronic Heart Failure in the Adult,
http://www.acc.org/clinical/guidelines/failure/index_pkt.pdf,
Kasper,
et al. (2005). Harrison’s Principles of Internal Medicine
16th edition.
United States of America:
McGraw-Hill Companies, inc. P. 1424-1433
Koda-Kimble et
al. (2009). Applied
Therapeutics: The Clinical Use of Drugs
9th edition.
USA: Lippincot William and Wilkins
Moorhead,
S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. United
Kingdom: Elsevier
NANDA
International. (2015). Nursing Diagnoses.
Definitions and Classification 2015 – 2017. 10th Ed.: WILEY
Blackwell
Parker
MG, Keller L, Evenson J, et al. 2005. Torque
Responses in Human Quadriceps
to Burst-Modulated Alterning
Current at 3 Carrier Frequencies.
Journal
of Orthopaedic and Sport Physical Therapy
Selwyn,
A.P., Braunwald E., (2005). Ischemic Heart Disease. In: Kasper, D.L.,Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E.,
Hauser, S.L., Jameson, J. L.,eds.,Harrison’s Principles of Internal Medicine.
16th ed.
USA: McGraw-Hill 1434-1435
Smeltzer & Bare. (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &
Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta: EGC
Sukandar,
E.Y., et al. (2009) Iso Farmakoterapi Farmakope. Jakarta: PT.
ISFI
Lanjutkan dgn materi-materi barunya pak.
ReplyDeleteMantap untuk jadi bahan pembelajarn. 👍😊