ASUHAN
KEPERAWATAN
KLIEN
DENGAN DIABETES MELLITUS
A.
Konsep
Diabetes Melitus
1. Pengerian
Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Smeltzer & Bare, 2012). Seseorang
dapat didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes
melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi disertai dengan kadar gula
darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126 mg/dl (PERKENI, 2015).
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu keadaan hiperglikemia
yang disebabkan penurunan kecepatan insulin oleh sel-sel beta pulau langerhans
dalam pankreas (Guyton & Hall, 2012). American
Diabetes Association (ADA) tahun 2013, mendefinisikan diabetes mellitus adalah
suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia yang terjadi
karena pankreas tidak mampu mensekresi insulin, gangguan kerja insulin, ataupun
keduanya. Dapat terjadi kerusakan jangka panjang dan kegagalan pada berbagai
organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, sertapembuluh darah apabila dalam
keadaaan hiperglikemia kronis.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
jumlah hormon insulin yang tidak mencukupi atau tidak dapat bekerja secara
normal, padahal hormon ini memiliki peran utama dalam mengatur kadar glukosa
(gula) didalam darah.
2. Etiologi DM
Menurut Smeltzer & Bare (2012), DM tipe II disebabkan
kegagalan relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi
insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan
glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi
insulin lain. Berarti sel β pancreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
3. Klasifikasi diabetes Melitus
Diabetes
mellitus dapat diklasifikasikan dalam klasifikasi umum menurut ADA (2013)
sebagai berikut:
a. Diabetes
mellitus tipe 1 atau Insulin Dependent
Diabetes Melitus (IDDM), biasanya mengarah ke defisiensi insulin absolut
yang disebabkan oleh kerusakan pada sel β pancreas oleh proses autoimun atau
idiopatik. Umumnya penyakit ini berkembang ke arah ketoasidosis diabetik yang
menyebabkan kematian. DM tipe 1 terjadi sebanyak 5-10% dari semua DM.
b. Diabetes
mellitus tipe 2 atau Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM), disebabkan oleh resistensi insulin
yang menyebabkan kerusakan progresif pada sekresi hormone insulin. DM tipe 2
juga merupakan salah satu gangguan metabolik dengan kondisi insulin yang
diproduksi oleh tubuh tidak cukup jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di
jaringan tidak berespon terhadap insulin tersebut. DM tipe 2 mengenai 90-95%
pasien dengan DM. Insidensi terjadi lebih umum pada usia 30 tahun, obesitas,
herediter, dan faktor lingkungan. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah
terjadi komplikasi.
c. Diabetes
mellitus gestasional terdiagnosa pada kehamilan trimester kedua atau ketiga dan
biasanya tidak permanen. Terjadi 2 – 5% semua wanita hamil, setelah melahirkan
akan kembali dalam keadaan normal.
d. Diabetes
mellitus tipe lain, seperti diabetes neonatal, adanya penyakit cystic fibrosis, pengaruh obat atau
pasca transplantasi.
4. Karakteristik DM
Pada penderita DM pemeriksaan dapat
dilakukan pada mereka yang memiliki risiko untuk terkena DM seperti usia lebih
dari 45 tahun, Berat Badan Relatif (BBR) >120%, dengan Indeks Massa Tubuh
(IMT) >23 kg/m2, penderita hipertensi (>140/ 90 mmHg), dan yang mempunyai
riwayat penyakit DM karena faktor keturunan, mempunyai riwayat abortus yang
berulang-ulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi lahir lebih dari
4000 gram, kolesterol High Density Lipoproteins (HDL) <35 mg/dl atau kadar
trigliserida >250 mg/dl (Perkeni, 2011). Risiko DM dapat terjadi pada yaitu
pada usia lebih dari 40 tahun, obesitas atau kegemukan, hipertensi, adanya
dislipidemia (gangguan pada lemak), terdapat luka, penyakit kardio vaskuler,
TBC positif yang sulit sembuh (Perkeni, 2011).
5. Patofisiologi DM
Diabetes tipe I.
Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia prosprandial
(sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal
tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa
tersebut muncul dalam urin (glikosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di
eksresikan ke dalam urin, eksresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai
akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliuria) dan rasa
haus (polidipsia) (Smeltzer dan Bare,
2012).
Difisiensi
insulin juga akan menganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan
(polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis
(pemecahan glikosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru
dari asam-asam amino dan substansi lain). Namun pada penderita defisiensi insulin,
proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbilkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang menganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang disebabkannya dapat menyebabkan tanda-tanda
dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau
aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perunahan kesadaran, koma
bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi
gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan
kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer
dan Bare, 2012)
DM tipe 2
merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik utama adalah terjadinya
hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik
dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM tipe 2.
Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti
gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas fisik, diet, dan tingginya kadar asam
lemak bebas (Smeltzer dan Bare, 2012). Mekanisme terjadinya DM tipe 2 umumnya disebabkan
karena resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terjadi
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer dan Bare, 2012).
Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe
2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe
2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu,
ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe
2 yang tidak terkontrol akan menimbulkan masalah akut lainnya seperti sindrom
Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik (HHNK) (Smeltzer dan Bare, 2012).
Akibat
intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan
progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika
gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti:
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama-lama
sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat
tinggi). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit DM selama
bertahun-tahun adalah terjadinya komplikasi DM jangka panjang (misalnya,
kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah
terjadi sebelum diagnosis ditegakkan (Smeltzer dan Bare, 2012)
6. Manifestasi Klinis
Adanya penyakit
diabetes mellitus ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak
disadari oleh penderita. Manifestasi klinis Diabetes Melitus dikaitkan dengan
konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Jika hiperglikemianya berat dan
melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk ekskresi glukosa yaitu
± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia).
Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori (Price dan Wilson, 2012).
Pasien dengan
diabetes tipe I sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan
polidipsia, pliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang
terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit
berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan
pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol
metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya pasien
dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan
tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut
mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka
tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara
absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk
mnenghambat ketoasidosis (Price dan Wilson, 2012).
Gejala dan
tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala
akut dan gejala kronik (PERKENI,
2015):
a. Gejala
akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada
setiap penderita, bahkan mungkin tidakmenunjukkan gejala apa pun sampai saat
tertentu. Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu
banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak kencing (poliuri).
Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul gejala banyak
minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau berat badan turun
dengan cepat (turun 5 – 10 kg dalam waktu 2 – 4 minggu), mudah lelah, dan bila
tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual (PERKENI, 2015).
b. Gejala
kronik penyakit DM
Gejala kronik yang sering dialami
oleh penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk
jarum, rasa tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti
kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama pada wanita, gigi mudah goyah dan
mudah lepas, kemampuan seksual menurun, dan para ibu hamil sering mengalami keguguran
atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4
kg (PERKENI, 2015).
7. Komplikasi
Kadar
glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe 2 akan menyebabkan
berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 terbagi dua berdasarkan lama
terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik (Smeltzer dan Bare,
2012; PERKENI, 2015).
a. Komplikasi
akut
1) Ketoasidosis
diabetic (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM
yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600
mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+)
kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan
anion gap (PERKENI, 2015).
2) Hiperosmolar
non ketotik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan
gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2015).
3) Hiperglikemi
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya
kadar glukosa darah mg/dL. Pasien DM
yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan mengalami keadaan hipoglikemia. Gejala
hipoglikemia terdiri dari berdebar-debar, banyak keringat, gementar, rasa
lapar, pusing, gelisah, dan kesadaran menurun sampai koma (PERKENI, 2015).
b. Komplikasi
Kronik
Komplikasi
jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien DM saat ini sejalan
dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih lama. Penyakit DM yang tidak terkontrol
dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik.
Kategori umum komplikasi jangka
panjang terdiri dari:
1) Komplikasi
makrovaskuler
Komplikasi makrovaskular pada DM
terjadi akibat aterosklerosis dari pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya
arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangiopati tidak spesifik pada DM namun
dapat timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi
epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular
dan penderita DM meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati
umumnya tidak ada hubungan dengan kontrol kadar gula darah yang baik.
Tetapitelah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu
faktor resiko mortalitas kardiovaskular dimana peninggian kadar insulin dapat
menyebabkan terjadinya risiko kardiovaskular menjadi semakin tinggi. Kadar
insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar
5 kali lipat. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar antara lain adalah
pembuluh darah jantung atau penyakit jantung koroner, pembuluh darah otak atau
stroke, dan penyakit pembuluh darah. Hiperinsulinemia juga dikenal sebagai
faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular
(Smeltzer dan Bare, 2012)
2) Komplikasi
mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskular terjadi
akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri
dari retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi
dalam 2 kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan retinopati
proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan stadium awal dengan
ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinopati proliferatif, ditandai
dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia
retina. Seterusnya, nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat
kebocoran selaput penyaring darah. Nefropati diabetik ditandai dengan adanya
proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi.
Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan perubahan fungsi
penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat masuk ke dalam kemih
(albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut dapat menyebabkan
kegagalan ginjal progresif dan upaya preventif pada nefropati adalah kontrol
metabolisme dan kontrol tekanan darah (Smeltzer dan Bare, 2012)
3) Neuropati
Diabetes neuropati adalah kerusakan
saraf sebagai komplikasi serius akibat DM. Komplikasi yang tersering dan paling
penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal dan biasanya
mengenai kaki terlebih dahulu, lalu ke bagian tangan. Neuropati berisiko tinggi
untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan adalah
kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam
hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal. Apabila ditemukan adanya
polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko
amputasi. Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki (PERKENI, 2015).
8. Penatalaksanaan
Tujuan
penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penderita
diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi:
a. Tujuan
jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
b. Tujuan
jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati
dan makroangiopati.
c. Tujuan
akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid (mengukur kadar lemak dalam darah), melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif.
Pada
dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan
latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (24 minggu). Bila setelah itu
kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang
diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti
diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada
keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan
indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila
dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan
khusus untuk itu (PERKENI, 2015
Menurut
Smeltzer dan Bare (2012), tujuan utama penatalaksanaan terapi pada Diabetes
Mellitus adalah menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa darah,
sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk menghindari terjadinya
komplikasi. Tatalaksana diabetes terangkum dalam 4 pilar pengendalian diabetes,
yaitu:
a. Edukasi
Penderita diabetes perlu mengetahui
seluk beluk penyakit diabetes. Dengan mengetahui faktor risiko diabetes, proses
terjadinya diabetes, gejala diabetes, komplikasi penyakit diabetes, serta
pengobatan diabetes, penderita diharapkan dapat lebih menyadari pentingnya pengendalian
diabetes, meningkatkan kepatuhan gaya hidup sehat dan pengobatan diabetes.
Penderita perlu menyadari bahwa mereka mampu menanggulangi diabetes, dan
diabetes bukanlah suatu penyakit yang di luar kendalinya. Terdiagnosis sebagai
penderita diabetes bukan berarti akhir dari segalanya. Edukasi (penyuluhan) secara
individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti
perubahan perilaku yang berhasil.
b. Pengaturan
makan (diet)
Pengaturan makan pada penderita
diabetes bertujuan untuk mengendalikan gula darah, tekanan darah, kadar lemak
darah, serta berat badan ideal. Dengan demikian, komplikasi diabetes dapat dihindari,
sambil tetap mempertahankan kenikmatan proses makan itu sendiri. Pada
prinsipnya, makanan perlu dikonsumsi teratur dan disebar merata dalam sehari.
Seperti halnya prinsip sehat umum, makanan untuk penderita diabetes sebaiknya
rendah lemak terutama lemak jenuh, kaya akan karbohidrat kompleks yang berserat
termasuk sayur dan buah dalam porsi yang secukupnya, serta seimbang dengan kalori
yang dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari penderita.
c. Olah
raga dan latihan
Pengendalian kadar gula, lemak
darah, serta berat badan juga membutuhkan aktivitas fisik teratur. Selain itu,
aktivitas fisik juga memiliki efek sangat baik meningkatkan sensitivitas
insulin pada tubuh penderita sehingga pengendalian diabetes lebih mudah
dicapai. Porsi olahraga perlu diseimbangkan dengan porsi makanan dan obat sehingga
tidak mengakibatkan kadar gula darah yang terlalu rendah. Panduan umum yang
dianjurkan yaitu aktivitas fisik dengan intensitas ringan selama 30 menit dalam
sehari yang dimulai secara bertahap. Jenis olahraga yang dianjurkan adalah
olahraga aerobik seperti berjalan, berenang, bersepeda, berdansa, berkebun,
dll. Penderita juga perlu meningkatkan aktivitas fisik dalam kegiatan
sehari-hari, seperti lebih memilih naik tangga ketimbang lift, dll. Sebelum
olahraga, sebaiknya penderita diperiksa dokter sehingga penyulit seperti tekanan
darah yang tinggi dapat diatasi sebelum olahraga dimulai
d. Obat/terapi
farmakologi
Obat oral ataupun suntikan perlu
diresepkan dokter apabila gula darah tetap tidak terkendali setelah 3 bulan
penderita mencoba menerapkan gaya hidup sehat di atas. Obat juga digunakan atas
pertimbangan dokter pada keadaan-keadaan tertentu seperti pada komplikasi akut diabetes,
atau pada keadaan kadar gula darah yang terlampau tinggi.
PATHWAY DIABETES MELITUS
![]() |
|||
|
B.
Konsep
Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
Riwayat:
-
Oligouria, nokturia
-
Dehidrasi
-
Polydipsia
-
Polipaghia
-
Membrane mukosa kering
-
Turgor kulit buruk
-
Penurunan berat badan dan rasa lapar
-
Lemah, letih
-
Gangguan penglihatan
-
Infeksi kulit dan saluran kemih yang
sering
-
Kulit kering dan gatal
-
Masalah seksual
-
Mati rasa atau nyeri di tangan dan kaki
-
Mual atau penuh setelah makan
-
Diare di malam hari
-
Tipe I: Gejala berkembang cepat
-
Tipe II:
a.
Gejala samar dan bertahan lama yang
berkembang secara bertahap
b.
Riwayat DM dalam keluarga
c.
Kehamilan
d.
Infeksi virus yang berat
e.
Penyakit endokrin lainnya
f.
Stress atau trauma baru
g.
Menggunakan obat yang meningkatkan
glukosa darah (mis. Kortikosteroid)
2.
Temuan
Pemeriksaan Fisik
-
Pembentukan retinopati atau katarak
-
Kangguan kulit khususnya tungkai bawah
-
Pelisutan otot dan penyusutan lemak
subkutan (ttipe I)
-
Turgor kulit buruk
-
Membrane mukosa kering
-
Penurunan nadi perifer
-
Suhu kulit dingin
-
Penurunan reflex tendon profunda
-
Hipertensi ortostatik
-
Bau napas beraroma “buah” pada
ketoasidosis
-
Mungkin terjadi hypovolemia dan syok
pada ketoasidosis serta kondisi hiperglikemik hyperosmolar.
3.
Pemeriksaan
Diagnostik
a.
Laboratorium
-
Kadar gula plasma puasalebih besar atau
sama dengan 126 mg/dL (normal: 70 – 110 mg/dL) pada sedikitnya dua kali
pemeriksaan
-
Kadar GDS ≥200 mg/dL (normal: <140
mg/dL)
-
Gula darah post prandial ≥200 mg/dL
-
Hemoglobin glikosilasi (HbA1c) meningkat
-
Urinalisis dapat menunjukkan aseton atau
glukosa
b.
Prosedur diagnostic
-
Pemeriksaan oftalmik menunjukkan aseton
atau glukosa
-
4.
Diagnose
dan Intervensi Keperawatan
NO
|
Diagnosa
Keperawatan
NANDA
|
Hasil
yang Dicapai
NOC
|
Intervensi
Keperawatan
NIC
|
1
|
Risiko
ketidakstabilan kadar glukosa darah.
Factor
risiko:
-
Kenaikan atau penurunan berat
badan
-
Kurangnya manajemen DM
-
Status kesehatan fisik: stress;
factor infeksi
|
Kadar
glukosa darah:
Mempertahankan
glukosa dalam batas yang memuaskan
Manajemen
diri: Diabetes
-
Mengetahui factor yang
menimbulkan glukosa tidak stabil
-
Mengungkapkan pemahaman tentang
dan kebutuhan energy
-
Mengungkapkan rencana untuk
memodifikasi factor untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi
|
Manajemen
hiperglikemi:
Mandiri:
-
Lakukan pemeriksaan glukosa tusuk
jari secara rutin. Pastikan klien dan orang terdekat klien mampu melakukan
pemantauan glukosa darah secara mandiri.
-
Tentukan kelas obat yang
digunakan dan pastikan klien memanajemen obat secara benar.
-
Tinjau program diet klien dan
pola biasa; bandingkan dengan asupan saat ini.
-
Timbang berat badan setiap hari
atau sesuai yang diindikasikan
-
Identifikasi pilihan makanan,
termasuk pertimbangan etnik dan budaya
-
Sertakan orang terdekat dalam
perencanaan makanan sesuai indikasi.
-
Observasi adanya tanda-tanda
hipoglikemi: perubahan tingkat kesadaran, kulit dingin dan lembab, denyut
jantung cepat, lapar, iritabilitas, cemas, sakit kepala, pusing, dan gemetar.
-
Intake glukosa bila bila
merasakan gejala kekurangan glukosa: permen.
Kolaborasi:
-
Konsultasikan dengan ahli gizi
untuk nutrisi oral
-
Pantau pemeriksaan laboratorium:
glukosa serum, aseton, Ph.
|
2
|
Ketidakefektifan
manajemen kesehatan.
Factor
yang berhubungan:
-
Kerentanan/hambatan yang
dirasakan
-
Kesulitan ekonomi
-
Kompleksitas regimen perawatan
kesehatan
|
Pengetahuan:
Manajemen diabetes
-
Verbalisasi pemahaman tentang
proses penyakit dan potensi komplikasi
-
Mengidentifikasi hubungan tanda
dan gejala terhadap proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan factor
penyebab
Manajemen
Diri: Diabetes
-
Dengan benar melakukan prosedur
penting dan menjelaskan alasan tindakan
-
Memulai perubahan gaya hidup dan
berpartisipasi dalam regimen terapi
|
Fasilitas
pembelajaran:
Independen:
-
Ciptakan lingkungan saling
percaya dengan mendengarkan kekhawatiran yang selalu ada.
-
Kerjasama dengan klien dalam
menentukan tujuan yang saling menguntungkan untuk pembelajaran
-
Pilih aneka strategi penyuluhan,
seperti demonstrasi keterampilan yang diperlukan dan meminta klien untuk
mendemonstrasikan kembali, menggabungkan keterampilan baru ke dalam rutinitas
klien
Penyuluhan:
Proses penyakit
Independen:
-
Diskusikan elemen esensial:
jelaskan tentang rentang glukosa darah normal, gejala diabetes dan regimen
terapi yang didapat
-
Tinjau rencana diet khusu klien
-
Tinjau regimen medikasi
-
Tegakkan latihan teratur
-
Identifikasi gejala hipoglikemi:
kelemahan, pusing, letargi, tremor, sakit kepala, perubahan mental, dan
jelaskan penyebabnya
-
Instruksikan orang terdekat
mengenai penggunaan glucagon darurat
-
Instruksikan pentingnya
pemeriksaan harian rutin pada kaki dan perawatan kaki yang baik.
|
3
|
Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer
Factor
yang berhubungan:
-
hipovolemia,
-
hipervalemia,
-
aliran arteri terhambat,
-
hipoventilasi,
-
penurunan kosentrasi Hb darah
|
Integritas
jaringan kulit dan membrane mukosa.
-
Perawatan kaki yang adekuat
-
Integritas jaringan perifer
adekuat
|
Perawatan
sirkulasi:
- Melakukan sirkulasi perifer secara
komperehensif (mis: periksa nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna dan suhu ekstremitas)
- Mengevaluasi edema perifer dan
tekanannya.
- Perhatikan kulit pada statis luka
ataupun melukai
- Pantau status cairan meliputi
asupan dan keluaran
- Berikan perawatan kaki yang tepat
- Gunakan stoking antiemboli (mis:
stoking elastic atau pneumatic)
- Memberikan pengobatan
antitrombosit atau antikoagulan jika diperlukan
- Rendahkan ekstremitas untuk
meningkatkan sirkulasi arteri dengan tepat
- Anjurkan latihan rentang gerak
aktif atau pasif
- Anjurkan pasien akan pentingnya
pencegahan statis vena (mis: tidak menyilangkan kaki, meninggikan kaki tanpa
menekuk lutut dan latihan
|
4
|
Keletihan
Berhubungan
dengan:
-
Peningkatan kebutuhan
energy_status hipermetabolik, infeksi
-
Perubahan kimia
tubuh_insufisiensi insulin
|
Level
keletihan:
-
Menyatakan peningkatan tingkat
energy
-
Menunjukkan perbaikan kemampuan
berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
|
Manajemen
energy:
Independen:
-
Diskusikan dengan klien perlunya
aktivitas. Rencanakan jadwal dengan klien dan identifikasi aktivitas yang
menimbulkan kelelahan
-
Selang seling aktivitas dengan
periode istirahan dan tidur yang tidak terganggu
-
Pantau denyut, kecepatan
pernapasan, dan tekanan darah sebelum dan setelah aktivitas
-
Diskusikan cara menyimpan energy
ketika mandi, berpindah, dan sebagainya
-
Tingkatkan partisipasi klien
dalam ADL, sesuai toleransi
|
5
|
Ketidakefektifan
koping
Yang
berhubungan dengan:
-
Ketidakadekuatan tingkat persepsi
control
-
Krisis situasi (penyakit
progresif, jangka panjang yang tidak dapat disembuhkan.
|
Keyakinan
kesehatan: Kontrol yang diyakini:
-
Menyatakan perasaan terkendali
-
Beradaptasi terhadap perubahan
kehidupan
-
Menggunakan strategi koping yang
efektif
|
Mengembangkan
koping:
Independen:
-
Dorong klien dan orang terdekat
mengekspresikan perasaan tentang penyakit secara umum
-
Kenali kenormalan perasaan
-
Kaji cara klien menghadapi
masalah di masa lalu: indetifikasi lokus control
-
Beri kesempatan orang yang
terdekat untuk mengekspresikan kekuatiran dan diskusikan cara dia dapat
membantu klien
-
Pastikan harapan dan tujuan klien
dan orang terdekat.
-
Tentukan apakah perubahan dalam
hubungan dengan orang terdekat telah terjadi
-
Dorong klien membuat keputusan
yang berhubungan dengan perawatan, seperti ambulasi, waktu untuk aktivitas,
dan sebagainya
-
Dukung partisipasi dalam
perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif untuk upaya yang
dilakukan.
|
Referensi
American Diabetes Association.
(2010). Diabetes Care. http://care.diabetesjournals.org.
Diakses tanggal 20 Mei 2018
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman,
J. M., Wagner, C. M. (2013). Nursing
Intervention Classification (NIC). 6th Ed. United Kingdom:
Elsevier
Dosen Keperawatan
Medikal Bedah. (2017). Rencana Asuhan
Keperawatan Medikal-Bedah. Diagnosa NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta:
EGC
Guyton
& Hall. (2012). Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
Moorhead,
S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. United
Kingdom: Elsevier
NANDA
International. (2015). Nursing Diagnoses.
Definitions and Classification 2015 – 2017. 10th Ed.: WILEY
Blackwell
PERKENI, (2015). Konsensus Pengelolaanda
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe2 di Indonesia 2015. http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf.
Diakses tanggal 20 Mei 2018
Price, S. A., & Wilson, L. M.
(2012). Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &
Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta: EGC
Mantap. Lanjutkan
ReplyDeleteSangat membantu!!
ReplyDeleteSangat membantu!!
ReplyDelete