Saturday, July 13, 2019

ASKEP CEDERA KEPALA (TRAUMA KAPITIS)



ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA
Ns. EDY SANTOSO, M.Kep

A.   Pengertian
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
Cendera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer Arif dkk, 2000).
Trauma serebral adalah suatu bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan (Krisanty et al, 2009).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif maupun fungsi fisik. Cedera kepala merupakan suatu trauma atau ruda paksa yang mengenai struktur kepala yang dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak atau menimbulkan kelainan struktural (Sastrodiningrat, 2007).

B.   Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunderyaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea/hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).
C.   Mekanisme cedera kepala
1.     Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2.     Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka tembak.
Mekanisme yang berkontribusi terhadap trauma kepala:
1.    Akselerasi: kepala yang diam (tidak bergerak) ditabrak oleh benda yang bergerak.
2.    Deselerasi: kepala membentur benda yang tak bergerak
3.    Deformasi: benturan pada kepala (tidak menyebabkan fraktur tulang tengkorak) menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena yang terdapat di permukaan kortikal sampai ke dura sehingga terjadi perdarahan subdural.

D.   Morfologi cedera Kepala
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1.    Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih intak (Sjamsuhidajat, 2010).
2.    Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).
3.    Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan epidural (Sjamsuhidajat, 2010).
4.    Contusio dan perdarahan intraserebral Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Contusiocerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).
5.    Commotio cerebriCommusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat, 2010).
6.    Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:
a.    Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
b.    Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernosus sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
c.    Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika (Ngoerah, 1991).

E.   Klasifikasi Cedera Kepala
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi.
Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons). Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1.    Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, amnesia kurang dari 30 menit, tidak terdapat kelainan berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2.    Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, penurunan kesadaran 30 menit – 24 jam, terdapat trauma sekunder, ditemukan kelainan pada CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3.    Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS < 9, kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari, (George, 2009).
Tabel GCS
Eye Opening
Mata terbuka spontan
Mata membuka terhadap perintah
Mata membuka setelah dirangsang nyeri
Tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri
Skor
4
3
2
1
Motor Response
Menurut perintah
Dapat melokalisir nyeri
Reaksi menghindar
Gerakan fleksi abnormal
Gerakan ekstensi abnormal
Tidak ada gerakan

6
5
4
3
2
1
Verbal Response
Berorientasi
Bicara kacau/disorientasi
Mengeluarkan kata-kata yang tidak tepat/tidak membentuk kalimat
Mengeluarkan suara tidak ada artinya
Tidak bersuara

5
4
3
2
1

F.    Pathogenesis Cedera Kepala
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan contrecoup. Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007). Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi. Perubahan-perubahan tersebut di atas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury (Iskandar, 2002).

G.   Manifestasi klisis
1.    Peningkatan TIK, dengan manifestasi sebagai berikut:
a.    Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran, gelisah/iritebel, papil edema, muntah proyektil.
b.    Penurunan fungsi neurologis, seperti: perubahan bicara, perubahan reaksi pupil, sensori motoric berubah.
c.    Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia).
2.    Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai berikut:
a.    CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung.
b.    Perdarahan di belakang membrane timpani
c.    Periorbital ekimosis
d.    Bettle’s sign (memar di daerah mastoid)
3.    Kerusakan saraf kranial dan telinga tengah dapat terjadi saat kecelakaan terjadi atau kemudian dengan manifestasi sebagai berikut:
a.    Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus
b.    Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus auditory
c.    Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervus olfaktorius
d.    Pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak akibat kerusakan nervus okulomotor.
e.    Vertigo akibat kerusakan otolit di telinga tengah
f.      Nistagmus karena kerusakan system vestibular.
4.    Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
a.    Sakit kepala – pusing
b.    Retrograde amnesia
c.    Tidak sadar ≥ 5 menit
5.    Kontusio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
Terjadi pada injuri berat, termasuk fraktur servikalis:
a.    Peningkatan TIK
b.    Tanda dan gejala herniasi otak
1)    Kontusio serebri
Manifestasi tergantung area hemisfer otak yang kena. Pada lobus temporal: agitasi, confuse; kontusio frontal: hemiparese, klien sadar; kontusio frontotemporal: aphasia. Tanda dan gejala tersebut refersibel.
2)    Kontusio batang otak
a)    Respon segera menghilang dan pasien koma
b)    Penurunan tingkat kesadaran terjadi berhari-hari, bila kerusakan berat
c)    Pada system reticular terjadi komatous permanen
d)    Pada perubahan tingkat kesadaran:
-        Respirasi: dapat normal/periodic/cepat
-        Pupil: simetris kontriksi dan reaktif
-        Kerusakan pada batang otak bagian atas sampai pupil abnormal
-        Gerakan bola mata: tidak ada.

H.   Pemeriksaan Trauma Kepala
1.    Pemeriksaan fisik
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai berikut:
a.    Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
b.    Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematompada mastoid (tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva tanpa adanya batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna, positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.
c.    Tingkat kesadaran (GCS)
d.    Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007).
2.    Pemeriksaan Penunjang
a.    Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada region temporoparietal pada pasien yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
b.    CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom subdural (Pierce & Neil, 2014).

I.      Tatalaksana Cedera Kepala
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1.    Bedah
a.    Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.
b.    Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada meningen dan otak.
2.    Medikamentosa
a.    Bolus manitol (20%, 200 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
b.    Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c.    Antikonvulsan untuk kejang
d.    Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007)

J.    Komplikasi Cedera Kepala
Komplikasi akibat cedera kepala:
1.    Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status vegetatif.
2.    Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.
3.    Epilepsi pasca trauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pasca trauma yang lama, fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.
4.    Hematom subdural kronik.
5.    Sindrom pasca contusio: nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).

K.   Penatalaksanaan Gawat Darurat
1.    Perawatan Emergensi
a.    Primary survey
1)    Nilai tingkat kesadaran
2)    Lakukan penilaian ABC
A – Airway                :kaji apakah ada muntah, perdarahan, benda asing dalam mulut
B – Breathing         : kaji kemampuan bernafas, peningkatan PCO2 akan memperburuk edema serebri
C – Circulation       : nilai denyut nadi dan perdarahan.
3)    Immobilisasi kepala atau leher dengan collar neck atau alat lain dipertahankan sampai hasil X-Ray membuktikan tidak ada fraktur servikal.
b.    Intervensi primer
1)    Buka jalan nafas dengan teknik “jaw thrust” – kepala jangan ditekuk, isap lender kalau perlu.
2)    Beri O2 4 – 6 liter/menit untuk mencegah anoksia serebri
3)    Hiperventilasi 20 – 25 x/menit meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah otak sehingga edema serebri menurun.
4)    Control perdarahan, jangan beri tekanan pada luka perdarahan di kepala, tutup saja dengan kasa dan diplester. Jangan berusaha menghentikan aliran darah dari lubang telinga atau hidung dengan menymbat/menutup lubang tersebut.
5)    Pasang infus.
c.    Secondary survey
1)    Kaji riwayat trauma
-       Mekanisme trauma
-       Posisi klien saat ditemukan
-       Memori
2)    Tingkat kesadaran
-       Nilai dengan GCS
3)    Ukur tanda-tanda vital:
-       Hipertensi dan bradikardimanandakan peningkatan TIK
-       Nadi irregular atau cepat menandakan disritmia jantung
-       Apnea, perubahan pola nafas terdapat pada cedera kepala
-       Suhu meningkat dihubungkan dengan heat injury (trauma panas).
4)    Respon pupil, apakah simetris atau tidak
5)    Gangguan penglihatan
6)    Sunken Eyes (mata terdorong ke dalam): satu atau keduanya
7)    Aktivitas kejang
8)    Tanda “Battle’s yaitu”blush discoloration” atau memar di belakang telinga (mastoid) menandakan adanya fraktur dasar tengkorak.
9)    Rinorea atau otorea menandakan kebocoran CSF.
10) Periorbitas ecchymosis akan ditemukan pada fraktur anterior basiler.
2.    Penatalaksanaan jalan nafas dan proteksi spinal cord
Pasien dengan trauma kepala, leher, atau trauma wajah juga diduga mengalami trauma tulang belakang, maka pencegahan trauma tulang belakang harus dipertahankan melalui periode pengkajian awal sampai perkembangan trauma dapat dipastikan. Jalan nafas harus dipertahankan tanpa hiperekstensi. Tehnik jaw trust dan maneuver chin-lift direkomendasikan untuk mempertahankan jalan nafas, dan pernafasan mungkin memerlukan bantuan awal dengan suatu unit bag-valve-mask, sejak kekurangan oksigen berkontribusi pada edema serebral. Otak mempunyai kemampuan suplai oksigendalam waktu singkat misalnya sekitar 10 detik), sehingga kebutuhan metabolic jaringan vital menderita pada saat kurangnya ventilasi dan perfusi.
Pasien trauma kepala serius harus ventilasi dengan oksigen tambahan (10 – 12 L/menit) dengan pernafasan 24 x/menit. Jika pasien tidak sadar, nilai normal analisa gas darah harus dipertahankan dan intubasi endotracheal (ET) mungkin diberikan. Perawatan diberikan untuk memastikan plester atau alat lain yang digunakan terpasang dengan ETT tidak melintang atau menekan area jugularis, yang mungkin menghambat aliran vena dari kepala.
Sedasi dan analgesic narkotika mungkin digunakan dalam intubasi pasien untuk mengontrol stimulasi letal, yang dapat meningkatkan TIK. Agen neuromuskuler-blocking juga mungkin diberikan untuk mencegah peningkatan tekanan vena yang berhubungan dengan efek Valsava yang mengimbangi pemberian ventilator.
Hiperkarbia adalah suatu vasodilator serebral yang efektif. Pengontrolan hiperventilasi harus dipertahankan jika seseorang diduga tinggi TIK. Tujuan akhir adalah mempertahankan tekanan parsial oksigen (PO2) lebih dari 70 mmHg dan PaCO2 antara 25 dan 30 mmHg, yang menyebabkan vasokontriksi, sehingga menurunkan volume darah serebral. Nilai PaCO2 sebaiknya tidak rendah terus menerus, akan tetapi, sejak vasokontriksi ekstrim dapat menyebabkan baik iskemia atau infark serebral. Kadar pH seharusnya antara 7,50 – 7,55. Sejak edema paru neurogenic dapat menginduksi perpindahan cairan ke jaringan sirkulasi bertekanan rendah seperti penampang paru selama stimulasi massif setelah trauma, status pernafasan harus secara ketat diobservasi.
Ancaman muntah dan aspirasi setelah muncul setelah trauma. Intubasi Nasogastrik (NGT) awal dan dekompresi sangat penting untuk mencegah hal tersebut, yang dapat memperburuk TIK. Jika terdapat trauma wajah yang dapat mengganggu konfigurasi tulang pada saluran nafas atas (contoh nasal, orbital, atau fraktur maxillary mandibular), alat pelindung harus digunakan untuk mencegah kemungkinan trauma otak iatrogenic lebih lanjut dari pemasangan NGT, yang dapat masuk ke dalam ruang cranium melalui suatu fraktur cribriform plate. Jika terdapat adanya kebocoran CSF dari hidung (rhinorea), atau dari telinga (otorrhea, atau hemotympanum), terdapat kecenderungan suatu fraktur tulang tengkorak basal atau frontal, membuat suatu komunikasi langsung dari struktur jalan nafas atas ke otak.  Aliran CSF tersebut seharusnya tidak dihambat dengan cara apapun. Kadang-kadang pasien akan mengeluh “terasa garam” dalam mulut atau tenggorokan, diperkirakan kebocoran CSF. Suction harus dihindari, karena tindakan ini dapat meningkatkan TIK dan memungkinkan masukknya mikroorganisme ke dalam otak melalui penetrasi pada meningen.
3.    Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital seharusnya secara teratur diukur, memberikan petunjuk adanya syok.
a.    Tekanan darah
Pada awal terjadinya cedera kepala tekanan darah dan nadi relative stabil, tetapi ketika tekanan perfusi serebral menjadi terancam karena berbagai sebab reseptor terstimulasi untuk menaikkan tekanan darah. Elevasi TD dan pelebaran tekanan nadi adalah refleksi proses iskemik mempengaruhi medulla peningkatan TIK, atau disebabkan miokardial dalam banyak kasus.
b.    Nadi
Pasien dengan trauma kepala mayor, nadi biasanya lambat. Jika bradikardi muncul, hal ini menandakan adanya penekanan pada batang otak, suatu massa dalam fossa posterior, atau suatu trauma spinal dimana jalur simpatis asenden terputus. Dalam kasus-kasus peningkatan TIK berat, nadi melambat dan penuh, kadangkala 40 – 50 x/menit. Adanya takikardi menimbulkan hipotensi membutuhkan resusitasi volume. Nadi yang cepat, tidak beraturan mungkin mengikuti dekompensasi peningkatan TIK terminal.
c.    Suhu
Aneurisme ventrikel dan infeksi tertentu dari SSP dapat diikuti dengan peningkatan suhu tubuh. Akan tetapi pada trauma kepala akut, suhu mungkin berfluktuasi, bahkan dapat terjadi hipotermi atau hipertermi.
d.    Pernafasan
Pola pernafasan mungkin sangat menolong pada pengkajian pasien trauma kepala.  Pernafasan cheyene-stokes dikarakteristikan dengan peningkatan dan penurunan kedalaman ekskursi diikuti dengan suatu periode apnea pola yang dipicu karena peninggian sensitivitas medulla terhadap CO2.fase apnea berhubungan dengan penurunan simulasi dari hemisfer serebral. Pernafasan cheyene stokes berhubungan dengan perdarahan ke dalam ganglia basalis, kondisi yang mendorong tekanan pada pusat pernafasan medularis, lesi hemisfer bilateral dalam serebrum, atau suatu disfungsi serebelum, otak tengah dan pons atas. Hipertensi ensefalopati dapat juga mengakibatkan fenomena ini.
Hiperventilasi neurogenic pusat adalah hiperventilasi lanjutan pada RR 40 – 50 x/menit, ini mungkin terjadi pada infark pons atau akibat dari berbagai lesi di pons (seperti hematoma serebelar). Ini juga mungkin diikuti lesi hipotalamus-otak tengah dan beberapa metabolic yang menyebabkan ketidaksadaran, seperti KAD, asidosis laktat daribanyak penyebab, atau uremia.
Pernafasan apneustik (misalnya pernafasan dalam yang cepat diikuti dengan 2 – 3 detik pause) menunjukkan kerusakan struktur pada pusat control pernafasan di pertengahan sampai bawah pons, biasanya menunjukkan akan segera terjadi kematian.
Pernafasan kluster adalah suatu pola pernafasan irregular dengan interval apnea irregular. Hal ini berhubungan dengan lesi di bawah pons atau atas medulla.
Pernafasan ataksik sama dengan pernafasan cheye-stokes kecuali bila periode apnea ireguler. Pernafasan ataksik menunjukkan adanya kerusakan medular atau peningkatan tekanan dalam fossa posterior. Perdarahan serebelar dan meningitis berat juga meningkatkan terjadinya pernafasan ataksik.
4.    Parameter monitor lainnya
Reflex dan system motoric harus juga dievaluasi secara seri. Sejalan dengan pengkajian motoric, kedua sisi harus dites dan dibandingkan. Postur abnormal harus dicatat. Tanda peningkatan TIK harus dicatat, yaitu termasuk:
-       Sakit kepala
-       Muntah proyektil
-       Deviasi mata ke sisi lesi
-       Perubahan kekuatan atau tonus otot
-       Kejang
-       Peningkatan TD dan penurunan tekanan nadi
-       Perubahan pernafasan
-       Takikardi
-       Postur abnormal (contoh: deserebrasi atau dekortikasi).

L.    Rencana Asuhan Keperawatan
1.     Pengkajian
a.    Riwayat
Riwayat trauma baru (jatuh, kecelakaan kendaraan, luka tembak, cedera tembak atau ledakan)
b.    Temuan pemeriksaan fisik
-       Perubahan tingkat kesadaran pada saat kejadian (perasaan aneh, bingung, kunang-kunang)
-       Perubahan penglihatan (pandangan ganda (diplopia), seolah-olah melihat gerakan dinding/lantai atau objek diam)
-       Kelemahan
-       Gangguan keseimbangan
-       Perubahan kepribadian
-       Mual
-       Muntah
-       Amnesia retrograde (lupa seputar kejadian)
-       Perubahan kemampuan berfikir
-       Vertigo, masalah keseimbangan
-       Telinga berdenging, pendengaran terganggu
-       Kesemutan, kebas pada ekstremitas
-       Tidak ada atau perubahan rasa pengecap atau penghidu.
-       Sakit kepala dengan vareasi intensitas dan lokasi biasanya menetap dan lama.
c.    Pemeriksaan diagnostic
1)    Laboratorium
-       GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi dan peningkatan TIK
-       Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang memperberat peningkatan TIK. Peningkatan laju metabolism dan diaphoresis dapat menyebabkan peningkatan natrium (hypernatremia).
2)    Pencitraan
-       CT-scan untuk mengidentifikasi adanya hemoragi, hematoma, kontusio, fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran jaringan otak.
-       MRI lebih sensitive untuk memeriksa deficit neurologis yang tidak terdeteksi oleh CT-scan.
3)    Prosedur diagnostic
-       EEG menunjukkan adanya atau terjadinya gelombang patologis.

2.     Rencana asuhan
Diagnose Keperawatan
(NANDA)
Hasil yang dicapai
(NOC)
Intervensi
(NIC)
Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial b.d edema cerebral akibat hematom intrakranial

·      Circulation status
·      Tissue Prefusion: Cerebral
Kriteria Hasil:
1.   Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan:
-     Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan 120/80 mmHg
-     Tidak ada ortostatik hipertensi
-     Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)
2.     Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
-       Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
-       Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
-       Memproses informasi
-       Membuka keputusan dengan benar
3.     Menunjukkan sensori motorik cranial yang utuh:
-       Tingkat kesadaran membaik
-       Tidak ada gerakan involunter
Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (monitor tekanan intracranial):
-       Berikan informasi kepada keluarga
-       Monitor tekanan perfusi serebral
-       Catat respon pasien terhadap stimulasi
-       Monitor tekanan intracranial dan respon neurology terhadap aktivitas
-       Monitor jumlah drainage cairan cerebrospinal
-       Monitor intake dan output cairan
-       Monitor suhu dan angka WBC
-       Kolaborasi pemberian antibiotik
-       Posisikan pasien pada posisi semi fowler
-       Minimalkan stimulus dari lingkungan

Peripheral sensation management (manajemen sensasi perifer) :
-       Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas atau dingin, tajam atau tumpul
-       Monitor adanya paretese
-       Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi
-       Gunakan sarung tangan untuk proteksi
-       Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
-       Monitor kemampuan BAB
-       Kolaborasi pemberian analgesic
-       Monitor adanya tromboplebitis

Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral.
Faktor risiko:
Trauma kepala
Perfusi jaringan: serebral
-       Mempertahankan atau meningkatkan tingkat kesadaran, kognisi, dan fungsi motoric atau sensorik
-       Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tidak ada tanda peningkatan TIK
Pemantauan neurologis:
-       Tentukan factor yang berhubungan dengan situasi individual, penyebab koma atau penurunan perfusi serebral dan potensial peningkatan TIK.
-       Kaji GCS dalam 48 jam pertama
-       Pantau tanda vital, disritmia jantung
-       Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan
-       Kaji posisi dan gerakan mata, catat apakah berada di posisi tengah ataukah menyimpang ke salah satu sisi atau turun (ke arah bawah). Catat terjadinya kehilangan reflex mata boneka atau reflex okulosefalik
-       Catat ada atau tidaknya reflex berkedip, batuk, muntah, dan Babinski.
Peningkatan perfusi otak:
-       Pantau suhu, dan atur suhu lingkungan. Cegah hipotermi
-       Pantau asupan dan haluaran. Catat turgor dan status membrane mukosa.
-       Pertahankan kepala dan leher pada posisi di tengah atau posisi netral. Hindari menggunakan bantal. Periksa posisi penggunaan kolar
-       Bedrest total
-       Kurangi stimulasi ekstra dan beri tindakan kenyamanan
-       Batasi penggunaan suction. Lakukan hiperventilasi jika diindikasikan.
-       Dorong orang terdekat untuk berbicara dengan klien
-       Palpasi distensi kandung kemih, pertahankan patensi drainase kandung kemih jika menggunakan. Pantau konstipasi
-       Observasi aktivitas kejang dan lindungi klien dari cedera.

Kolaboratif:
-       Tinggikan kepala secara bertahap ke-0 sampai 30 derajat sesuai toleransi atau indikasi. Hindari fleksi punggung lebih dari 90 derajat.
-       Beri cairan iv isotonic mis. Normal salin 0,9% dengan alat control
-       Berikan O2 tambahan dengan alat yang sesuai
-       Pantau gas darah arteri atau oksimetri nadi
-       Beri medikasi sesuai protocol, misalnya diuretic (manitol), steroid, antikonvulsan, analgetik, antipiretik
-       Persiapkan untuk intervensi bedah misalnya kraniotomi.

Pola nafas takefektif b.d kerusakan neuromuskuler
Status pernafasan: ventilasi
Mempertahankan pola pernafasan yang normal atau efektif, terbebas dari sianosis, dengan gas darah arteri atau oksimetri nadi berada dalam kisaran normal klien.
Pemantauan Pernafasan:
-       Pantau frekuensi, irama, dan kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan mis.pernafasan apnestik, ataksik, atau kluster.
-       Catat kompetensi reflex muntah dan menelan serta kemampuan klien untuk melindungi jalan nafasnya sendiri. Gunakan jalan nafas tambahan jika diperlukan
-       Tinggikan kepala tempat tidur jika diperbolehkan dan posisikan klien dalam posisi miring, sesuai indikasi.
-       Dorong nafas dalam jika klien sadar
-       Lakukan pengisapan dengan sangat hati-hati, tidak lebih dari 15 detik
-       Catat karakter, warna, dan bau sekresi
-       Auskultasi suara nafas. Catat adanya ronki, crekels, dan mengi
Kolaboratif:
-       Pantau AGD arteri dan oksimetri nadi
-       Pantau foto ronsen dada
-       Beri ksigen tambahan dengan cara yang tepat
-       Bantu dengan fisioterapi dada jika diindikasikan.
Risiko infeksi
Faktor risiko:
·         Penekanan respons inflamasi akibat penggunaan steroid
·         Penurunan kerja silia, statis cairan tubuh
·         Trauma jaringan, kulit robek, prosedur invasif, kebocoran CSF
Keparahan infeksi
-       Mempertahankan normotermia, terbebas dari tanda-tanda infeksi
-       Mencapai pemulihan luka tepat waktu
Perlindungan dari infeksi:
-       Beri perawatan yang cermat, bersih, atau aseptic. Pertahankan mencuci tangan dengan baik
-       Pantau area kerusakan integritas kulit (luka, garis jahitan, tempat insersi selang invasive), perhatikan karakteristik drainase dan keberadaan inflamasi.
-       Pantau suhu secara rutin. Perhatikan terjadinya menggigil, diaphoresis, dan perubahan mental.
-       Dorong pernafasan dalam dan pengeluaran pulmonal yang agresif. Pantau karakteristik sputum
-       Dorong asupan cairan yang adekuat
-       Pantau warna dan kejernihan urine. Catat keberadaan bau urine yang tidak sedap.
-       Batasi pengunjung
Kolaboratif:
-       Beri antibiotic yang sesuai
-       Ambil specimen sesuai indikasi.

Referensi:
Arif, Mansjoer, dkk, (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. FKUI, Jakarta: Medica Aesculpalus

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC). 6th Ed. United Kingdom: Elsevier

Dosen Keperawatan Medikal Bedah. (2017). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Diagnosa NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC

Krisanti P., Manurung S., Suratun., Wartonah., Sumartini., Dalami E., Rohimah., Setiawati S. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info Media

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. United Kingdom: Elsevier
NANDA International. (2015). Nursing Diagnoses. Definitions and Classification 2015 – 2017. 10th Ed.: WILEY Blackwell
Sastrodiningrat, A.G., (2007). Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat. Universitas Sumatera Utara.
Sjahrir H. (2012) Patofisiologi nyeri kepala. In: Nyeri kepala dan vertigo. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press

2 comments:

  1. Terimakasih untuk share ilmu tentang kesehatannya. Lebih diperbanyak lagi share ilmunya agar mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan yang lebih luas dan bermanfaat👍

    ReplyDelete
  2. terima kasih commentnya dan masukkannya. Akan dilaksanakan dengan sekuat tenaga

    ReplyDelete