ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CEDERA
KEPALA
Ns. EDY SANTOSO, M.Kep
A.
Pengertian
Cedera
kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri,
serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
Cendera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer Arif dkk, 2000).
Trauma serebral adalah suatu bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual,
emosional, sosial dan pekerjaan (Krisanty et al, 2009).
Menurut
Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala merupakan kerusakan
yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari luar, yang dapat
mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif maupun
fungsi fisik. Cedera kepala merupakan suatu trauma atau ruda paksa yang
mengenai struktur kepala yang dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan
otak atau menimbulkan kelainan struktural (Sastrodiningrat, 2007).
B.
Etiologi
Penyebab
cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat
benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunderyaitu cedera yang
terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea/hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang
terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan
dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi (Hickey, 2003).
C.
Mekanisme
cedera kepala
1.
Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan
oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2.
Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan
oleh luka tusukan, atau luka tembak.
Mekanisme
yang berkontribusi terhadap trauma kepala:
1.
Akselerasi: kepala yang diam (tidak bergerak)
ditabrak oleh benda yang bergerak.
2.
Deselerasi: kepala membentur benda yang tak
bergerak
3.
Deformasi: benturan pada kepala (tidak
menyebabkan fraktur tulang tengkorak) menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena
yang terdapat di permukaan kortikal sampai ke dura sehingga terjadi perdarahan
subdural.
D.
Morfologi
cedera Kepala
Berdasarkan
morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1.
Fraktur Kranium
Fraktur
kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan menjadi
fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan lukanya,
dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak telah
menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak
yang masih intak (Sjamsuhidajat, 2010).
2.
Perdarahan Epidural
Hematom
epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Biasanya terletak di area temporal atau temporo parietal yang
disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak (Sjamsuhidajat,
2010).
3.
Perdarahan
Subdural
Perdarahan subdural lebih sering
terjadi daripada perdarahan epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan
korteks cerebri merupakan penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan ini
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih
berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan
epidural (Sjamsuhidajat, 2010).
4.
Contusio
dan perdarahan intraserebral Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi
kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga
darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan
berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan
tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal,
walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Contusiocerebri dapat
terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan
intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).
5.
Commotio
cerebriCommusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang
berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai
kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala,
vertigo, mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat, 2010).
6.
Fraktur basis cranii
Hanya
suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada
dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa
hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik. Gejala
tergantung letak frakturnya:
a.
Fraktur fossa anterior
Darah
keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran “biru” (Brill Hematom atau
Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai
anosmia.
b.
Fraktur fossa media
Darah
keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri
carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernosus sehingga terjadi
hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
c.
Fraktur fossa posterior
Tampak
warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen
magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika
(Ngoerah, 1991).
E.
Klasifikasi
Cedera Kepala
Penilaian
derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan
oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai
secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang
terjadi.
Ada
3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal
respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons). Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
berdasarkan nilai GCS yaitu:
1.
Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS >
13, amnesia kurang dari 30 menit, tidak terdapat kelainan berdasarkan CT scan
otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48
jam.
2.
Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, penurunan
kesadaran 30 menit – 24 jam, terdapat trauma sekunder, ditemukan kelainan pada
CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di
rumah sakit setidaknya 48 jam.
3.
Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu
> 48 jam setelah trauma, score GCS < 9, kehilangan kesadaran lebih dari
24 jam sampai berhari-hari, (George, 2009).
Tabel GCS
Eye
Opening
Mata
terbuka spontan
Mata
membuka terhadap perintah
Mata
membuka setelah dirangsang nyeri
Tidak
membuka mata walaupun dirangsang nyeri
|
Skor
4
3
2
1
|
Motor
Response
Menurut
perintah
Dapat
melokalisir nyeri
Reaksi
menghindar
Gerakan
fleksi abnormal
Gerakan
ekstensi abnormal
Tidak
ada gerakan
|
6
5
4
3
2
1
|
Verbal
Response
Berorientasi
Bicara
kacau/disorientasi
Mengeluarkan
kata-kata yang tidak tepat/tidak membentuk kalimat
Mengeluarkan
suara tidak ada artinya
Tidak
bersuara
|
5
4
3
2
1
|
F.
Pathogenesis
Cedera Kepala
Mekanisme
cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup
dan contrecoup. Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan
adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di daerah yang
letaknya berlawanan dengan lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi
akibat kepala bergerak dan berhenti mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam
tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007). Mekanisme utama pada cedera kepala
ringan adalah shear strain. Kekuatan
rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti
dan tidak perlu adanya cedera coup
dan contrecoup yang jelas. Hal ini
menimbulkan regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan
hilangnya fungsi. Perubahan-perubahan tersebut di atas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury (Iskandar, 2002).
G.
Manifestasi
klisis
1.
Peningkatan TIK, dengan manifestasi sebagai
berikut:
a.
Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran,
gelisah/iritebel, papil edema, muntah proyektil.
b.
Penurunan fungsi neurologis, seperti:
perubahan bicara, perubahan reaksi pupil, sensori motoric berubah.
c.
Sakit kepala, mual, pandangan kabur
(diplopia).
2.
Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai
berikut:
a.
CSF atau darah mengalir dari telinga dan
hidung.
b.
Perdarahan di belakang membrane timpani
c.
Periorbital ekimosis
d.
Bettle’s
sign
(memar di daerah mastoid)
3.
Kerusakan saraf kranial dan telinga tengah
dapat terjadi saat kecelakaan terjadi atau kemudian dengan manifestasi sebagai
berikut:
a.
Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus
optikus
b.
Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus
auditory
c.
Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan
nervus olfaktorius
d.
Pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak
akibat kerusakan nervus okulomotor.
e.
Vertigo akibat kerusakan otolit di telinga
tengah
f.
Nistagmus karena kerusakan system vestibular.
4.
Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai
berikut:
a.
Sakit kepala – pusing
b.
Retrograde
amnesia
c.
Tidak sadar ≥ 5 menit
5.
Kontusio serebri, dengan manifestasi sebagai
berikut:
Terjadi
pada injuri berat, termasuk fraktur servikalis:
a.
Peningkatan TIK
b.
Tanda dan gejala herniasi otak
1)
Kontusio serebri
Manifestasi
tergantung area hemisfer otak yang kena. Pada lobus temporal: agitasi, confuse;
kontusio frontal: hemiparese, klien sadar; kontusio frontotemporal: aphasia.
Tanda dan gejala tersebut refersibel.
2)
Kontusio batang otak
a) Respon
segera menghilang dan pasien koma
b) Penurunan
tingkat kesadaran terjadi berhari-hari, bila kerusakan berat
c) Pada
system reticular terjadi komatous permanen
d) Pada
perubahan tingkat kesadaran:
-
Respirasi: dapat normal/periodic/cepat
-
Pupil: simetris kontriksi dan reaktif
-
Kerusakan pada batang otak bagian atas sampai
pupil abnormal
-
Gerakan bola mata: tidak ada.
H.
Pemeriksaan
Trauma Kepala
1.
Pemeriksaan
fisik
Komponen
utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai berikut:
a.
Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
b.
Tanda fraktur basis cranii: hematom
periorbital bilateral, hematompada mastoid (tanda Battle), hematom subkonjungtiva
(darah di bawah konjungtiva tanpa adanya batas posterior, yang menunjukkan
darah dari orbita yang mengalir ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari
hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna, positif mengandung glukosa),
perdarahan dari telinga.
c.
Tingkat kesadaran (GCS)
d.
Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama
reflek pupil, untuk melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial (Ginsberg,
2007).
2.
Pemeriksaan
Penunjang
a.
Radiografi kranium: untuk mencari adanya
fraktur, jika pasien mengalami gangguan kesadaran sementara atau persisten
setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada
basis cranii fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium
pada region temporoparietal pada pasien yang tidak sadar menunjukkan
kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan arteri meningea
media (Ginsberg, 2007).
b.
CT scan kranial: segera dilakukan jika
terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang
disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis fokal (Ginsberg, 2007). CT
scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan komplikasi
jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom subdural (Pierce & Neil,
2014).
I.
Tatalaksana
Cedera Kepala
Secara
umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran,
fraktur kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat
ditangani hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka
/ laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah
saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
Aspek
spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1.
Bedah
a.
Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera
pada hematom yang mendesak ruang.
b.
Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen
fraktur kranium yang menekan pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini
membutuhkan terapi bedah segera dengan debridement luka dan menaikkan fragmen
tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada meningen dan otak.
2.
Medikamentosa
a.
Bolus manitol (20%, 200 ml) intravena jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan
darurat sebelum evakuasi hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan
kesadaran.
b.
Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis
cranii.
c.
Antikonvulsan untuk kejang
d.
Sedatif dan obat-obat narkotik
dikontraindikasikan, karena dapat memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg,
2007)
J.
Komplikasi
Cedera Kepala
Komplikasi
akibat cedera kepala:
1.
Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa
pasien dengan cedera kepala berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara
fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan
kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.
2.
Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan
antara rongga subarachnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat
fraktur basis cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak
akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
3.
Epilepsi pasca trauma: terutama terjadi pada
pasien yang mengalami kejang awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia
pasca trauma yang lama, fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.
4.
Hematom subdural kronik.
5.
Sindrom pasca contusio: nyeri kepala, vertigo
dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo
dapat terjadi akibat cedera vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).
K.
Penatalaksanaan
Gawat Darurat
1. Perawatan Emergensi
a.
Primary survey
1)
Nilai tingkat kesadaran
2)
Lakukan penilaian ABC
A – Airway :kaji apakah ada muntah, perdarahan, benda
asing dalam mulut
B – Breathing :
kaji kemampuan bernafas, peningkatan PCO2 akan memperburuk edema serebri
C – Circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan.
3)
Immobilisasi kepala atau leher dengan collar neck atau alat lain dipertahankan
sampai hasil X-Ray membuktikan tidak
ada fraktur servikal.
b.
Intervensi primer
1)
Buka jalan nafas dengan teknik “jaw thrust” – kepala jangan ditekuk,
isap lender kalau perlu.
2)
Beri O2 4 – 6 liter/menit untuk mencegah
anoksia serebri
3)
Hiperventilasi 20 – 25 x/menit meningkatkan
vasokontriksi pembuluh darah otak sehingga edema serebri menurun.
4)
Control perdarahan, jangan beri tekanan pada
luka perdarahan di kepala, tutup saja dengan kasa dan diplester. Jangan
berusaha menghentikan aliran darah dari lubang telinga atau hidung dengan
menymbat/menutup lubang tersebut.
5)
Pasang infus.
c.
Secondary survey
1)
Kaji riwayat trauma
- Mekanisme
trauma
- Posisi
klien saat ditemukan
- Memori
2)
Tingkat kesadaran
- Nilai
dengan GCS
3)
Ukur tanda-tanda vital:
- Hipertensi
dan bradikardimanandakan peningkatan TIK
- Nadi
irregular atau cepat menandakan disritmia jantung
- Apnea,
perubahan pola nafas terdapat pada cedera kepala
- Suhu
meningkat dihubungkan dengan heat injury (trauma
panas).
4)
Respon pupil, apakah simetris atau tidak
5)
Gangguan penglihatan
6)
Sunken
Eyes (mata terdorong ke dalam): satu atau keduanya
7)
Aktivitas kejang
8)
Tanda “Battle’s
yaitu”blush discoloration” atau
memar di belakang telinga (mastoid) menandakan adanya fraktur dasar tengkorak.
9)
Rinorea atau otorea menandakan kebocoran CSF.
10)
Periorbitas ecchymosis akan ditemukan pada
fraktur anterior basiler.
2. Penatalaksanaan jalan nafas dan proteksi
spinal cord
Pasien
dengan trauma kepala, leher, atau trauma wajah juga diduga mengalami trauma
tulang belakang, maka pencegahan trauma tulang belakang harus dipertahankan
melalui periode pengkajian awal sampai perkembangan trauma dapat dipastikan.
Jalan nafas harus dipertahankan tanpa hiperekstensi. Tehnik jaw trust dan maneuver chin-lift direkomendasikan untuk
mempertahankan jalan nafas, dan pernafasan mungkin memerlukan bantuan awal
dengan suatu unit bag-valve-mask,
sejak kekurangan oksigen berkontribusi pada edema serebral. Otak mempunyai
kemampuan suplai oksigendalam waktu singkat misalnya sekitar 10 detik),
sehingga kebutuhan metabolic jaringan vital menderita pada saat kurangnya
ventilasi dan perfusi.
Pasien
trauma kepala serius harus ventilasi dengan oksigen tambahan (10 – 12 L/menit)
dengan pernafasan 24 x/menit. Jika pasien tidak sadar, nilai normal analisa gas
darah harus dipertahankan dan intubasi endotracheal (ET) mungkin diberikan.
Perawatan diberikan untuk memastikan plester atau alat lain yang digunakan
terpasang dengan ETT tidak melintang atau menekan area jugularis, yang mungkin
menghambat aliran vena dari kepala.
Sedasi
dan analgesic narkotika mungkin digunakan dalam intubasi pasien untuk
mengontrol stimulasi letal, yang dapat meningkatkan TIK. Agen
neuromuskuler-blocking juga mungkin diberikan untuk mencegah peningkatan
tekanan vena yang berhubungan dengan efek Valsava yang mengimbangi pemberian
ventilator.
Hiperkarbia
adalah suatu vasodilator serebral yang efektif. Pengontrolan hiperventilasi
harus dipertahankan jika seseorang diduga tinggi TIK. Tujuan akhir adalah
mempertahankan tekanan parsial oksigen (PO2) lebih dari 70 mmHg dan PaCO2
antara 25 dan 30 mmHg, yang menyebabkan vasokontriksi, sehingga menurunkan
volume darah serebral. Nilai PaCO2 sebaiknya tidak rendah terus menerus, akan
tetapi, sejak vasokontriksi ekstrim dapat menyebabkan baik iskemia atau infark
serebral. Kadar pH seharusnya antara 7,50 – 7,55. Sejak edema paru neurogenic
dapat menginduksi perpindahan cairan ke jaringan sirkulasi bertekanan rendah
seperti penampang paru selama stimulasi massif setelah trauma, status
pernafasan harus secara ketat diobservasi.
Ancaman
muntah dan aspirasi setelah muncul setelah trauma. Intubasi Nasogastrik (NGT)
awal dan dekompresi sangat penting untuk mencegah hal tersebut, yang dapat
memperburuk TIK. Jika terdapat trauma wajah yang dapat mengganggu konfigurasi
tulang pada saluran nafas atas (contoh nasal, orbital, atau fraktur maxillary
mandibular), alat pelindung harus digunakan untuk mencegah kemungkinan trauma
otak iatrogenic lebih lanjut dari pemasangan NGT, yang dapat masuk ke dalam
ruang cranium melalui suatu fraktur cribriform
plate. Jika terdapat adanya kebocoran CSF dari hidung (rhinorea), atau dari
telinga (otorrhea, atau hemotympanum), terdapat kecenderungan suatu fraktur
tulang tengkorak basal atau frontal, membuat suatu komunikasi langsung dari struktur
jalan nafas atas ke otak. Aliran CSF
tersebut seharusnya tidak dihambat dengan cara apapun. Kadang-kadang pasien
akan mengeluh “terasa garam” dalam mulut atau tenggorokan, diperkirakan
kebocoran CSF. Suction harus dihindari, karena tindakan ini dapat meningkatkan
TIK dan memungkinkan masukknya mikroorganisme ke dalam otak melalui penetrasi
pada meningen.
3. Tanda-tanda vital
Tanda-tanda
vital seharusnya secara teratur diukur, memberikan petunjuk adanya syok.
a.
Tekanan darah
Pada
awal terjadinya cedera kepala tekanan darah dan nadi relative stabil, tetapi
ketika tekanan perfusi serebral menjadi terancam karena berbagai sebab reseptor
terstimulasi untuk menaikkan tekanan darah. Elevasi TD dan pelebaran tekanan
nadi adalah refleksi proses iskemik mempengaruhi medulla peningkatan TIK, atau
disebabkan miokardial dalam banyak kasus.
b.
Nadi
Pasien
dengan trauma kepala mayor, nadi biasanya lambat. Jika bradikardi muncul, hal
ini menandakan adanya penekanan pada batang otak, suatu massa dalam fossa
posterior, atau suatu trauma spinal dimana jalur simpatis asenden terputus.
Dalam kasus-kasus peningkatan TIK berat, nadi melambat dan penuh, kadangkala 40
– 50 x/menit. Adanya takikardi menimbulkan hipotensi membutuhkan resusitasi
volume. Nadi yang cepat, tidak beraturan mungkin mengikuti dekompensasi
peningkatan TIK terminal.
c.
Suhu
Aneurisme
ventrikel dan infeksi tertentu dari SSP dapat diikuti dengan peningkatan suhu
tubuh. Akan tetapi pada trauma kepala akut, suhu mungkin berfluktuasi, bahkan
dapat terjadi hipotermi atau hipertermi.
d.
Pernafasan
Pola
pernafasan mungkin sangat menolong pada pengkajian pasien trauma kepala. Pernafasan cheyene-stokes
dikarakteristikan dengan peningkatan dan penurunan kedalaman ekskursi diikuti
dengan suatu periode apnea pola yang dipicu karena peninggian sensitivitas
medulla terhadap CO2.fase apnea berhubungan dengan penurunan simulasi dari
hemisfer serebral. Pernafasan cheyene stokes berhubungan dengan perdarahan ke
dalam ganglia basalis, kondisi yang mendorong tekanan pada pusat pernafasan
medularis, lesi hemisfer bilateral dalam serebrum, atau suatu disfungsi
serebelum, otak tengah dan pons atas. Hipertensi ensefalopati dapat juga
mengakibatkan fenomena ini.
Hiperventilasi
neurogenic pusat adalah hiperventilasi lanjutan pada RR 40 – 50 x/menit, ini
mungkin terjadi pada infark pons atau akibat dari berbagai lesi di pons
(seperti hematoma serebelar). Ini juga mungkin diikuti lesi hipotalamus-otak
tengah dan beberapa metabolic yang menyebabkan ketidaksadaran, seperti KAD,
asidosis laktat daribanyak penyebab, atau uremia.
Pernafasan
apneustik (misalnya pernafasan dalam yang cepat diikuti dengan 2 – 3 detik pause) menunjukkan kerusakan struktur
pada pusat control pernafasan di pertengahan sampai bawah pons, biasanya
menunjukkan akan segera terjadi kematian.
Pernafasan
kluster adalah suatu pola pernafasan irregular dengan interval apnea irregular.
Hal ini berhubungan dengan lesi di bawah pons atau atas medulla.
Pernafasan
ataksik sama dengan pernafasan cheye-stokes kecuali bila periode apnea ireguler.
Pernafasan ataksik menunjukkan adanya kerusakan medular atau peningkatan
tekanan dalam fossa posterior. Perdarahan serebelar dan meningitis berat juga
meningkatkan terjadinya pernafasan ataksik.
4. Parameter monitor lainnya
Reflex
dan system motoric harus juga dievaluasi secara seri. Sejalan dengan pengkajian
motoric, kedua sisi harus dites dan dibandingkan. Postur abnormal harus
dicatat. Tanda peningkatan TIK harus dicatat, yaitu termasuk:
-
Sakit kepala
-
Muntah proyektil
-
Deviasi mata ke sisi lesi
-
Perubahan kekuatan atau tonus otot
-
Kejang
-
Peningkatan TD dan penurunan tekanan nadi
-
Perubahan pernafasan
-
Takikardi
-
Postur abnormal (contoh: deserebrasi atau
dekortikasi).
L.
Rencana
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a.
Riwayat
Riwayat
trauma baru (jatuh, kecelakaan kendaraan, luka tembak, cedera tembak atau
ledakan)
b.
Temuan pemeriksaan fisik
-
Perubahan tingkat kesadaran pada saat
kejadian (perasaan aneh, bingung, kunang-kunang)
-
Perubahan penglihatan (pandangan ganda
(diplopia), seolah-olah melihat gerakan dinding/lantai atau objek diam)
-
Kelemahan
-
Gangguan keseimbangan
-
Perubahan kepribadian
-
Mual
-
Muntah
-
Amnesia retrograde (lupa seputar kejadian)
-
Perubahan kemampuan berfikir
-
Vertigo, masalah keseimbangan
-
Telinga berdenging, pendengaran terganggu
-
Kesemutan, kebas pada ekstremitas
-
Tidak ada atau perubahan rasa pengecap atau
penghidu.
-
Sakit kepala dengan vareasi intensitas dan
lokasi biasanya menetap dan lama.
c.
Pemeriksaan diagnostic
1)
Laboratorium
-
GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi
atau oksigenasi dan peningkatan TIK
-
Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan
ketidakseimbangan yang memperberat peningkatan TIK. Peningkatan laju metabolism
dan diaphoresis dapat menyebabkan peningkatan natrium (hypernatremia).
2)
Pencitraan
-
CT-scan untuk mengidentifikasi adanya
hemoragi, hematoma, kontusio, fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran
jaringan otak.
-
MRI lebih sensitive untuk memeriksa deficit
neurologis yang tidak terdeteksi oleh CT-scan.
3)
Prosedur diagnostic
-
EEG menunjukkan adanya atau terjadinya
gelombang patologis.
2. Rencana asuhan
Diagnose Keperawatan
(NANDA)
|
Hasil yang dicapai
(NOC)
|
Intervensi
(NIC)
|
Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial b.d edema
cerebral akibat hematom intrakranial
|
·
Circulation status
·
Tissue Prefusion:
Cerebral
Kriteria Hasil:
1.
Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai
dengan:
- Tekanan systole dan diastole dalam rentang
yang diharapkan 120/80 mmHg
- Tidak ada ortostatik hipertensi
- Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)
2.
Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai
dengan:
-
Berkomunikasi
dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
-
Menunjukkan
perhatian, konsentrasi dan orientasi
-
Memproses
informasi
-
Membuka
keputusan dengan benar
3.
Menunjukkan sensori motorik cranial yang utuh:
-
Tingkat
kesadaran membaik
-
Tidak
ada gerakan involunter
|
Intrakranial Pressure
(ICP) Monitoring (monitor tekanan intracranial):
-
Berikan informasi
kepada keluarga
-
Monitor tekanan
perfusi serebral
-
Catat respon pasien
terhadap stimulasi
-
Monitor tekanan
intracranial dan respon neurology terhadap aktivitas
-
Monitor jumlah
drainage cairan cerebrospinal
-
Monitor intake dan
output cairan
-
Monitor suhu dan angka
WBC
-
Kolaborasi pemberian
antibiotik
-
Posisikan pasien pada
posisi semi fowler
-
Minimalkan stimulus
dari lingkungan
Peripheral sensation
management (manajemen sensasi perifer) :
-
Monitor adanya daerah
tertentu yang hanya peka terhadap panas atau dingin, tajam atau tumpul
-
Monitor adanya
paretese
-
Instruksikan keluarga
untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi
-
Gunakan sarung tangan
untuk proteksi
-
Batasi gerakan pada
kepala, leher dan punggung
-
Monitor kemampuan BAB
-
Kolaborasi pemberian
analgesic
-
Monitor adanya
tromboplebitis
|
Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral.
Faktor
risiko:
Trauma kepala
|
Perfusi jaringan: serebral
-
Mempertahankan atau
meningkatkan tingkat kesadaran, kognisi, dan fungsi motoric atau sensorik
-
Mendemonstrasikan
tanda vital stabil dan tidak ada tanda peningkatan TIK
|
Pemantauan neurologis:
-
Tentukan factor yang berhubungan dengan situasi individual, penyebab
koma atau penurunan perfusi serebral dan potensial peningkatan TIK.
-
Kaji GCS dalam 48 jam pertama
-
Pantau tanda vital, disritmia jantung
-
Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan
-
Kaji posisi dan gerakan mata, catat apakah berada di posisi tengah
ataukah menyimpang ke salah satu sisi atau turun (ke arah bawah). Catat
terjadinya kehilangan reflex mata boneka atau reflex okulosefalik
-
Catat ada atau tidaknya reflex berkedip, batuk, muntah, dan Babinski.
Peningkatan perfusi otak:
- Pantau suhu, dan atur suhu lingkungan.
Cegah hipotermi
- Pantau asupan dan haluaran. Catat
turgor dan status membrane mukosa.
- Pertahankan kepala dan leher pada
posisi di tengah atau posisi netral. Hindari menggunakan bantal. Periksa
posisi penggunaan kolar
- Bedrest total
- Kurangi stimulasi ekstra dan beri
tindakan kenyamanan
- Batasi penggunaan suction. Lakukan
hiperventilasi jika diindikasikan.
- Dorong orang terdekat untuk berbicara
dengan klien
- Palpasi distensi kandung kemih,
pertahankan patensi drainase kandung kemih jika menggunakan. Pantau konstipasi
- Observasi aktivitas kejang dan
lindungi klien dari cedera.
Kolaboratif:
- Tinggikan kepala secara bertahap ke-0
sampai 30 derajat sesuai toleransi atau indikasi. Hindari fleksi punggung
lebih dari 90 derajat.
- Beri cairan iv isotonic mis. Normal
salin 0,9% dengan alat control
- Berikan O2 tambahan dengan alat yang
sesuai
- Pantau gas darah arteri atau oksimetri
nadi
- Beri medikasi sesuai protocol,
misalnya diuretic (manitol), steroid, antikonvulsan, analgetik, antipiretik
- Persiapkan untuk intervensi bedah
misalnya kraniotomi.
|
Pola nafas takefektif b.d kerusakan neuromuskuler
|
Status pernafasan: ventilasi
Mempertahankan pola
pernafasan yang normal atau efektif, terbebas dari sianosis, dengan gas darah
arteri atau oksimetri nadi berada dalam kisaran normal klien.
|
Pemantauan Pernafasan:
- Pantau frekuensi, irama, dan kedalaman
pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan mis.pernafasan apnestik,
ataksik, atau kluster.
- Catat kompetensi reflex muntah dan
menelan serta kemampuan klien untuk melindungi jalan nafasnya sendiri.
Gunakan jalan nafas tambahan jika diperlukan
- Tinggikan kepala tempat tidur jika
diperbolehkan dan posisikan klien dalam posisi miring, sesuai indikasi.
- Dorong nafas dalam jika klien sadar
- Lakukan pengisapan dengan sangat
hati-hati, tidak lebih dari 15 detik
- Catat karakter, warna, dan bau sekresi
- Auskultasi suara nafas. Catat adanya
ronki, crekels, dan mengi
Kolaboratif:
- Pantau AGD arteri dan oksimetri nadi
- Pantau foto ronsen dada
- Beri ksigen tambahan dengan cara yang
tepat
- Bantu dengan fisioterapi dada jika
diindikasikan.
|
Risiko infeksi
Faktor risiko:
·
Penekanan respons inflamasi akibat penggunaan
steroid
·
Penurunan kerja silia, statis cairan tubuh
·
Trauma jaringan, kulit robek, prosedur invasif,
kebocoran CSF
|
Keparahan infeksi
-
Mempertahankan
normotermia, terbebas dari tanda-tanda infeksi
-
Mencapai pemulihan
luka tepat waktu
|
Perlindungan dari infeksi:
- Beri perawatan yang cermat, bersih,
atau aseptic. Pertahankan mencuci tangan dengan baik
- Pantau area kerusakan integritas kulit
(luka, garis jahitan, tempat insersi selang invasive), perhatikan
karakteristik drainase dan keberadaan inflamasi.
- Pantau suhu secara rutin. Perhatikan
terjadinya menggigil, diaphoresis, dan perubahan mental.
- Dorong pernafasan dalam dan
pengeluaran pulmonal yang agresif. Pantau karakteristik sputum
- Dorong asupan cairan yang adekuat
- Pantau warna dan kejernihan urine.
Catat keberadaan bau urine yang tidak sedap.
- Batasi pengunjung
Kolaboratif:
- Beri antibiotic yang sesuai
- Ambil specimen sesuai indikasi.
|
Referensi:
Arif,
Mansjoer, dkk, (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. FKUI, Jakarta:
Medica Aesculpalus
Bulechek, G. M., Butcher, H. K.,
Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2013). Nursing
Intervention Classification (NIC). 6th Ed. United Kingdom:
Elsevier
Dosen
Keperawatan Medikal Bedah. (2017). Rencana
Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Diagnosa NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta:
EGC
Krisanti P., Manurung
S., Suratun., Wartonah., Sumartini., Dalami E., Rohimah., Setiawati S. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Trans Info Media
Moorhead,
S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. United
Kingdom: Elsevier
NANDA
International. (2015). Nursing Diagnoses.
Definitions and Classification 2015 – 2017. 10th Ed.: WILEY
Blackwell
Sastrodiningrat,
A.G., (2007). Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam Menentukan Prognosa
Cedera Kepala Berat. Universitas Sumatera Utara.
Sjahrir
H. (2012) Patofisiologi nyeri kepala. In: Nyeri kepala dan vertigo. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press
Terimakasih untuk share ilmu tentang kesehatannya. Lebih diperbanyak lagi share ilmunya agar mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan yang lebih luas dan bermanfaat👍
ReplyDeleteterima kasih commentnya dan masukkannya. Akan dilaksanakan dengan sekuat tenaga
ReplyDelete