ASUHAN
KEPERAWATAN
KLIEN
DENGAN HIPERTENSI
A. KONSEP MEDIS
1.
Pengertian
Hipertensi
atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal tekanan darah dalam
pembuluh darah arteri yang mengangkut darah dari jantung dan memompa keseluruh
jaringan dan organ–organ tubuh secara terus–menerus lebih dari suatu periode
(Irianto, 2014). Hal ini terjadi bila arteriol–arteriol konstriksi. Konstriksi
arterioli membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding
arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut
dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah (Udjianti, 2010).
Hipertensi
dapat didifinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya
diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg (Syamsudin, 2011).
Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 160
mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg (Smeltzer dan Bare, 2002). Hipertensi
merupakan penyebab utama gagal jantung, stroke, infak miokard, diabetes dan
gagal ginjal (Corwin, 2009).
Hipertensi
disebut juga sebagai “pembunuh diam–diam” karena orang dengan hipertensi sering
tidak menampakan gejala, Institut Nasional Jantung, Paru dan Darah
memperkirakan separuh orang yang menderita hipertensi tidak sadar akan
kondisinya. Penyakit hipertensi ini diderita, tekanan darah pasien harus
dipantau dengan interval teratur karena hipertensi merupakan kondisi seumur
hidup (Smeltzer dan Bare, 2002).
2.
Etiologi
Menurut
Corwin (2009), Berdasarkan
penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan
a. Hipertensi
esensial atau hipertensi primer.
Merupakan
90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial yang didefinisikan
sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya (Idiopatik).
Beberapa
faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial seperti
berikut ini:
1) Genetik:
individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi, beresiko tinggi
untuk mendapatkan penyakit ini. Faktor genetik ini tidak dapat dikendalikan,
jika memiliki riwayat keluarga yang memliki tekanan darah tinggi.
2) Jenis
kelamin dan usia: laki – laki berusia 35- 50 tahun dan wanita menopause
beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi. Jika usia bertambah maka tekanan
darah meningkat faktor ini tidak dapat dikendalikan serta jenis kelamin
laki–laki lebih tinggi dari pada perempuan.
3) Diet:
konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan dengan
berkembangnya hipertensi. Faktor ini bisa dikendalikan oleh penderita dengan
mengurangi konsumsinya karena dengan mengkonsumsi banyak garam dapat
meningkatkan tekanan darah dengan cepat pada beberapa orang, khususnya dengan
pendeita hipertensi, diabetes, serta orang dengan usia yang tua karena jika
garam yang dikonsumsi berlebihan, ginjal yang bertugas untuk mengolah garam
akan menahan cairan lebih banyak dari pada yang seharusnya didalam tubuh.
Banyaknya cairan yang tertahan menyebabkan peningkatan pada volume darah
seseorang atau dengan kata lain pembuluh darah membawa lebih banyak cairan.
Beban ekstra yang dibawa oleh pembuluh darah inilah yang menyebabkan pembuluh
darah bekerja ekstra yakni adanya peningkatan tekanan darah didalam dinding
pembuluh darah. Kelenjar adrenal memproduksi suatu hormon yang dinamakan
Ouobain. Kelenjar ini akan lebih banyak memproduksi hormon tersebut ketika
seseorang mengkonsumsi terlalu banyak garam. Hormon ouobain ini berfungsi untuk
menghadirkan protein yang menyeimbangkan kadar garam dan kalsium dalam pembuluh
darah, namun ketika konsumsi garam meningkat produksi hormon ouobain menganggu
kesimbangan kalsium dan garam dalam pembuluh darah. Kalsium dikirim kepembuluh
darah untuk menyeimbangkan kembali, kalsium dan garam yang banyak inilah yang
menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan tekanan darah tinggi. Konsumsi garam
berlebih membuat pembuluh darah pada ginjal menyempit dan menahan aliran darah.
Ginjal memproduksi hormone rennin dan angiostenin agar pembuluh darah utama
mengeluarkan tekanan darah yang besar sehingga pembuluh darah pada ginjal bisa
mengalirkan darah seperti biasanya. Tekanan darah yang besar dan kuat ini
menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Konsumsi garam per hari yang
dianjurkan adalah sebesar 1500 – 2000 mg atau setara dengan satu sendok teh.
Perlu diingat bahwa sebagian orang sensitif terhadap garam sehingga
mengkonsumsi garam sedikit saja dapat menaikan tekanan darah. Membatasi
konsumsi garam sejak dini akan membebaskan anda dari komplikasi yang bisa
terjadi.
4) Berat
badan: Faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga berat badan dalam
keadaan normal atau ideal. Obesitas (>25% diatas BB ideal) dikaitkan dengan
berkembangnya peningkatan tekanan darah atau hipertensi.
5) Gaya
hidup: Faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup dengan pola hidup
sehat dengan menghindari faktor pemicu hipertensi itu terjadi yaitu merokok,
dengan merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap dalam waktu sehari
dan dapat menghabiskan berapa putung rokok dan lama merokok berpengaruh dengan
tekanan darah pasien. Konsumsi alkohol yang sering, atau berlebihan dan terus
menerus dapat meningkatkan tekanan darah pasien sebaiknya jika memiliki tekanan
darah tinggi pasien diminta untuk menghindari alkohol agar tekanan darah pasien
dalam batas stabil dan pelihara gaya hidup sehat penting agar terhindar dari
komplikasi yang bisa terjadi.
b. Hipertensi
sekunder
Hipertensi
sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi
sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena suatu
kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid,
hipertensi endokrin, hipertensi renal, kelainan saraf pusat yang dapat
mengakibatkan hipertensi dari penyakit tersebut karena hipertensi sekunder yang
terkait dengan ginjal disebut hipertensi ginjal (renal hypertension). Gangguan
ginjal yang paling banyak menyebabkan tekanan darah tinggi karena adanya
penyempitan pada arteri ginjal, yang merupakan pembuluh darah utama penyuplai
darah ke kedua organ ginjal. Bila pasokan darah menurun maka ginjal akan
memproduksi berbagai zat yang meningkatkan tekanan darah serta ganguuan yang
terjadi pada tiroid juga merangsang aktivitas jantung, meningkatkan produksi
darah yang mengakibtkan meningkatnya resistensi pembuluh darah sehingga
mengakibtkan hipertensi. Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder antara
lain: penggunaan kontrasepsi oral, coarctation aorta, neurogenik (tumor otak,
ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan volume intravaskuler,
luka bakar, dan stress karena stres bisa memicu sistem saraf simapatis sehingga
meningkatkan aktivitas jantung dan tekanan pada pembuluh darah
3.
Klasifikasi
Menurut WHO
(2013), batas normal tekanan darah adalah tekanan darah sistolik kurang dari
120 mmHg dan tekanan darah diastolik kurang dari 80 mmHg. Seseorang yang
dikatakan hipertensi bila tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg
Berdasarkan The Joint National Commite VIII (2014)
tekanan darah dapat diklasifikasikan berdasarkan usia dan penyakit tertentu.
Diantaranya adalah:
Batasan Tekanan Darah (mmHg)
|
Kategori
|
≥150/90
mmHg
|
Usia
≥60 tahun tanpa penyakit diabetes dan cronic kidney disease
|
≥140/90
mmHg
|
Usia
19-59 tahun tanpa penyakit penyerta
|
≥140/90
mmHg
|
Usia
≥18 tahun dengan penyakit ginjal
|
≥140/90
mmHg
|
Usia
≥18 tahun dengan penyakit diabetes
|
Berdasarkan American Heart Association (2014)
menggolongkan hasil pengukuran tekanan darah menjadi:
Kategori tekanan darah
|
Sistolik
|
Diastolic
|
Normal
|
<120
mmHg
|
<
80 mmHg
|
Prehipertensi
|
120-139
mmHg
|
80-89
mmHg
|
Hipertensi
stage 1
|
140-159
mmHg
|
90-99
mmHg
|
Hipertensi
stage 2
|
≥
160 mmHg
|
≥
100 mmHg
|
Hipertensi
stage 3 (krisis)
|
≥
180mmHg
|
≥
110 mmHg
|
Klasifikasi
hipertensi berdasarkan penyebabnya yaitu hipertensi primer dan hipertensi
sekunder (Smeltzer dan Bare, 2002, Udjianti, 2010). Hipertensi primer adalah
peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya. Dari 90% kasus
hipertensi merupakan hipertensi primer. Beberapa faktor yang diduga berkaitan
dengan berkembangnya hipertensi primer adalah genetik, jenis kelamin, usia,
diet, berat badan, gaya hidup. Hipertensi sekunder adalah peningkatan tekanan
darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal
atau gangguan tiroid. Dari 10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder.
Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan
kontrasepsi oral, kehamilan, peningkatan volume intravaskular, luka bakar dan
stres (Udjianti, 2010).
4.
Patofisiologi
Tekanan
arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah jantung)
dengan total tahanan prifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh dari
perkalian antara stroke volume dengan heart rate (denyut jantug). Pengaturan
tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon.
Empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah antara
lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin
angiotensin dan autoregulasi vaskular (Udjianti, 2010). Mekanisme yang
mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di vasomotor, pada
medulla diotak. Pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis
ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan
dalam bentuk implus yang bergerak kebawah melalui sistem saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Titik neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Padila,
2013).
Berbagai
faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi (Padila, 2013). Meski etiologi hipertensi masih belum
jelas, banyak faktor diduga memegang peranan dalam genesis hiepertensi seperti
yang sudah dijelaskan dan faktor psikis, sistem saraf, ginjal, jantung pembuluh
darah, kortikosteroid, katekolamin, angiotensin, sodium, dan air (Syamsudin,
2011).
Sistem
saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi,
kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokontriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi.
Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respon vasokonstriktor pembuluh darah (Padila, 2013).
Vasokonstriksi
yang mengakibatkan penurunan aliran keginjal, menyebabkan pelepasan rennin.
Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium
dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler.
Semua faktor ini cendrung mencetuskan keadaan hipertensi (Padila, 2013).
5.
Manifestasi
klinik
Pemeriksaan
fisik pada pasien yang menderita hipertensi tidak dijumpai kelainan apapun
selain tekanan darah yang tinggi. Tetapi dapat ditemukan perubahan pada retina,
seperti pendarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan
pada kasus berat terdapat edema pupil (edema pada diskus optikus) (Smeltzer dan
Bare, 2002).
Tahapan
awal pasien kebanyakan tidak memiliki keluhan. Keadaan simtomatik maka pasien
biasanya peningkatan tekanan darah disertai berdebar–debar, rasa melayang
(dizzy) dan impoten. Hipertensi vaskuler terasa tubuh cepat untuk merasakan
capek, sesak nafas, sakit pada bagian dada, bengkak pada kedua kaki atau perut
(Setiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata, Syam, 2014). Gejala yang muncul sakit
kepala, pendarahan pada hidung, pusing, wajah kemerahan, dan kelelahan yang
bisa terjadi saat orang menderita hipertensi (Irianto, 2014).
Hipertensi
dasar seperti hipertensi sekunder akan mengakibatkan penderita tersebut
mengalami kelemahan otot pada aldosteronisme primer, mengalami peningkatan
berat badan dengan emosi yang labil pada sindrom cushing, polidipsia, poliuria.
Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi,
banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy) (Setiati, Alwi,
Sudoyo, Simadibrata, dan Syam, 2014). Saat hipertensi terjadi sudah lama pada
penderita atau hipertensi sudah dalam keadaan yang berat dan tidak diobati gejala
yang timbul yaitu sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah,
pandangan menjadi kabur (Irianto, 2014).
Semua
itu terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal. Pada
penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan
mengakibatkan penderita mengalami koma karena terjadi pembengkakan pada bagian
otak. Keadaan tersebut merupakan keadaan ensefalopati hipertensi (Irianto,
2014).
6.
Penatalaksanaan
Hipertensi
a) Pengaturan
diet
Mengkonsumsi
gizi yang seimbang dengan diet rendah garam dan rendah lemak sangat dianjurkan
bagi penderita hipertensi untuk dapat mengendalikan tekanan darahnya dan secara
tidak langsung menurunkan resiko terjadinya komplikasi hipertensi. Selain itu
juga perlu mengkonsumsi buah-buahan segar sepeti pisang, sari jeruk dan sebagainya yang tinggi kalium dan
menghindari konsumsi makanan awetan dalam kaleng karena meningkatkan kadar
natrium dalam makanan (Vitahealth, 2005).
Modifikasi
gaya hidup yang dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Mengurangi
asupan lemak jenuh dan mengantinya dangan lemak polyunsaturated atau
monounsaturated dapat menurunkan resiko tersebut. Meningkatkan konsumsi ikan,
terutama ikan yang masih segar yang belum diawetkan dan tidak diberi kandungan
garam yang berlebih (Syamsudin, 2011).
b) Perubahan
gaya hidup menjadi lebih sehat
Gaya hidup dapat
merugikan kesehatan dan meningkatkan resiko komplikasi hipertensi seperti
merokok, mengkonsumsi alkohol, minum kopi, mengkonsumsi makanan cepat saji
(junk food), malas berolahraga (Junaidi, 2002), makanan yang diawetkan didalam
kaleng memiliki kadar natrium yang tinggi didalamnya. Gaya hidup itulah yang
meningkatkan resiko terjadinya komplikasi hipertensi karena jika pasien
memiliki tekanan darah tinggi tetapi tidak mengontrol dan merubah gaya hidup
menjadi lebih baik maka akan banyak komplikasi yang akan terjadi (Vitahealth,
2005).
Penurunan berat
badan merupakan modifikasi gaya hidup yang baik bagi penderita penyakit
hipertensi. Menurunkan berat badan hingga berat badan ideal dengan munggurangi
asupan lemak berlebih atau kalori total.
Kurangi konsumsi garam dalam konsumsi harian juga dapat mengontrol tekanan
darah dalam batas normal. Perbanyak buah dan sayuran yang masih segar dalam
konsumsi harian (Syamsudin, 2011).
c) Menejemen
Stres
Stres atau
ketegangan jiwa (rasa tertekan, rasa marah, murung, dendam, rasa takut, rasa
bersalah) merupakan faktor terjadinya komplikasi hipertensi. Peran keluarga
terhadap penderita hipertensi diharapkan mampu mengendalikan stres, menyediakan
waktu untuk relaksasi, dan istrirahat (Lumbantobing, 2003). Olahraga teratur
dapat mengurangi stres dimana dengan olahraga teratur membuat badan lebih
rileks dan sering melakukan relaksasi (Muawanah, 2012).
Ada 8 tehnik
yang dapat digunakan dalam penanganan stres untuk mencegah terjadinya
kekambuhan yang bisa terjadi pada pasien hipertensi yaitu dengan cara: scan
tubuh, meditasi pernafasan, meditasi kesadaran, hipnotis atau visualisasi
kreatif, senam yoga, relaksasi otot progresif, olahraga dan terapi musik
(Sutaryo, 2011).
d) Mengontrol
kesehatan
Penting
bagi penderita hipertensi untuk selalu memonitor tekanan darah. Kebanyakan
penderita hipertensi tidak sadar dan mereka baru menyadari saat pemeriksaan
tekanan darah. Penderita hipertensi dianjurkan untuk rutin memeriksakan diri
sebelum timbul komplikasi lebih lanjut. Obat antihipertensi juga diperlukan
untuk menunjang keberhasilan pengendalian tekanan darah (Sudoyo, Setiyohadi,
Alwi, Simadibrata, dan Setiati, 2010). Keteraturan berobat sangat penting untuk
menjaga tekanan darah pasien dalam batas normal dan untuk menghindari
komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit hipertensi yang tidak terkontrol
(Annisa, Wahiduddin, dan Jumriani, 2013).
e) Olahraga
teratur
Olahraga secara
teratur dapat menyerap atau menghilangkan endapan kolestrol pada pembuluh darah
nadi. Olahraga yang dimaksud adalah latihan menggerakan semua nadi dan otot
tubuh seperti gerak jalan, berenang, naik sepeda, aerobik. Oleh karena itu
olahraga secara teratur dapat menghindari terjadinya komplikasi hipertensi
(Corwin, 2009).
Latihan fisik
regular dirancang untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan pasien dimana
latihan ini dirancang sedinamis mungkin bukan bersifat isometris (latihan
berat) latihan yang dimaksud yaitu latihan ringan seperti berjalan dengan cepat
(Syamsudin, 2011).
f) Manajemen
pengobatan hipertensi (Farmakologi hipertensi)
1) Prinsip
pengobatan dengan antihipertensi adalah sebagai berikut:
(a)
Tujuan pengobatan hipertensi yaitu untuk
mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi.
(b)
Manfaat terapi hipertensi menurunkan
tekanan darah dengan antihipertensi yang telah terbukti menurunkan morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular, yaitu stroke, iskemia jantung, gagal jantung
kongestif, dan memberatnya hipertensi.
(c)
Memutuskan untuk memulai pengobatan
hipertensi tidak hanya ditentukan dengan tingginya tekanan darah tetapi adanya
faktor rsiko penyakit kardiovaskuler lainnya.
(d)
Mulai pengobatan dengan suatu obat dosis
rendah (jika tekanan darah tidak dikendalikan). Penderita hipertensi pada tahap
awal atau tahap 1 memulai dengan jenis obat antihipertensi diuretik, β- bloker,
penghambat ACE, antagonis Kalsium dan α - bloker dengan memodifikasi pola hidup
serta menjonsumsi obat monoterapi antihipertensi.
(e)
Mulai dengan satu obat juga bisa
mengobati dan atau tidak mengganggu suatu kondisi yang ada contoh obat yang
bisa digunakan yaitu jenis diuretik: diuretik tiazid (hidroklorotiazid,
klortalidon, bendroflumetiazid, indapamid, Xipamid), beta bloker
(kardioselektif: asebutolol, atenolol, bisopronol, metoprolol, Nonselektif:
alprenolol, karteolol, nedolol,oksprenolol), Alfa bloker: Doxazosin, prazosin,
terazosin, terazosin, bunazosin, labetalol, Penghambat ACE: kaptropil, lisinopril,
enalapril, benazepril, delapril, fosinopril, kuinapril, perinderopil, ramipril,
silazapril, Antagonis kalsium: Verapamil, diltiazem, nifedipin).
(f)
Tambahkan obat kedua dari kelas obat
yang berbeda (pelengkap) jika tekanan darah tidak dikontrol dengan dosis sedang
untuk agen pertama, obat antihipertensi lainnya yang bisa digunakan yaitu
vasodilator langsung, adrenolitik sentral (α2 agonis) dan penghambat saraf
adrenergik ini semua bukan jenis obat monoterapi tahapan pertama antihipertensi
tetapi merupakan obat antihipertensi tambahan.
(g)
Mulai dengan obat yang mungkin paling
mudah ditoleransi oleh pasien. Kepatuhan jangka panjang berkaitan dengan
tolerabilitas dan khasiat obat pertama yang digunakan. Rekomendasi yang
diberikan WHO menganjurkan lima jenis obat yaitu diuretik, β- bloker, penghambat
ACE, antagonis Kalsium dan α - bloker.
(h)
Gunakan terapi diuretik jika ada dua
obat yang digunakan, berlaku untuk hampir semua kasus.
(i)
Gunakan diuretik tiazid hanya dengan
dosis rendah 25mg/ hari untuk hidroklorotiazida atau obat yang ekuivalen, kecuali
ada alasan yang mendesak.
(j)
Gunakan terapi kombinasi dosis rendah,
jika diperlukan, sebagai terapi awal.
(k)
Suatu diuretik dengan penyekat β (beta),
ACE inhibitor , atau antagonis angiotensin II.
(l)
Suatu kalsium antagonis denga ACE inhibitor
atau penyekat β (beta).
(m) Satu
atau dua obat akan mengendalikan tekanan darah pada 90% pasien hipertensi. Cara
untuk mendapatkan tekanan darah diastolik < 90 mmHg, sekitar 70% kasus
memerlukan dua obat.
(n)
Jika terjadi komplikasi yang terjadi
jika hipertensi dengan diabetes kombinasi obat memiliki resistensi insulin.
Pada kasus ini digunakan suatu penghambat ACE atau β-bloker selektif. Jika
terdapat kontraindikasi terhadap kelompok ini, dianjurkan untuk obat-obat lain
seperti alfa-bloker dan angiotensin kalsium. Komplikasi yang disertai gagal
jantung dengan diuretika, β-bloker, atau ACE inhibitor. Hipertensi dengan
angina pectoris dengan β-bloker, atau antagonis kalsium. Reniopati diabetes
dengan hipertensi bisa menggunakan ACE inhibitor. Hipertensi disertai infark
jantung menggunakan β-bloker, atau ACE Inhibitor.
2) Obat
Antihipertensi
Antihipertensi
adalah agen yang menurunkan tekanan darah tinggi (Dorland, 2012). Rekomendasi
obat antihipertensi menurut World Health Organization (WHO) 2003 dan The Joint
National Committee (JNC VIII) tahun 2014 adalah:
(a)
Diuretik adalah obat yang menghambat
reabsorbsi natrium dan air di bagian asenden ansa henle (Dorland, 2012).
Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih
banyak. Menghambat reabsorpsi garam di tubulus distal dan membantu reabsopsi
kalium. Jika pada peningkatan ekskesi air, terjadi juga peningkatan ekskresi
garam–garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika atau natriuretika (Gray,
Dawkins, Morgan, Simpson, 2005). Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
respon diuretik. Pertama, diuretik mereabsorpsi sedikit sodium akan memberi
efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada
daerah yang mereabsorpsi banyak sodium. Kedua, status fisiologi organ akan
memberikan respons yang berbeda dengan diuretik. Misalnya dekompensasi jantung,
sirosis hati, dan gagal ginjal. Ketiga, interaksi anatara obat dengan reseptor
(Syamsudin, 2011). Jenis diuretika berdasarkan cara kerjanya menurut Sutedjo
(2008):
-
Menghambat reabsorbsi Natrium dan air
dari Tubulus Ginjal dan Ansa Henle, misalnya: Tiazid dan Derifatnya
(Chlortalidon, Hidroklorotiazid, Indopamid, Sipamid) merupakan Diuretika
potensi sedang mampu mengesresikan 5-10% Natrium yang difiltrasikan Glomerulus,
Diuretika Loop atau High Celling (Furosemid, Bumetanide,Asam Etakrinat)
Diuretik kuat dibanding Tiazid, dapat mengekresikan 15-30% Natrium yang
difiltrasikan Glomerulus, dan bekerja banyak pada Anse Henle Asenden (Loop).
-
Diuretik osmotik yaitu menarik cairan
jaringan peritubuler menuju tubulus dan menambah jumlah kencing karena adanya
perbedaan tekanan osmotis antara intratubuler dan peritubuler.
-
Antagonis Aldosteron (spironolakton)
digunakan untuk diuretik, pengurangan oedema, hiperaldosteron primer maupun
sekunder dan jenis obat deuretik lainnya.
(b)
Penyekat α (α - Blocker)
Obat
golongan ini bekerja dengan menghambat reseptor α, tetap hambatan reseptor α
(alpha) tergantung dari perbedaan profil farmakokinetiknya. Obat golongan ini
bekerja dengan menghambat efek vasokonstriktor epinefrin dan norepinefrin. Efek
ini menyebabkan vasodilatasi arteriola dan resistensi vascular perifer yang
lemah. Kombinasi efek penurunan resistensi vascular perifer dan penurunan
kembalinya pembuluh vena menyebabkan terjadinya hipotensi ortostatik khususnya
pada dosis awal (first dose effect). Efek antihipertensi dari penyekat α dapat
menurunkan tekanan darah 10/10 mmHg dan meningkatkan kadar HDL. Prazosin dapat
digunakan pada penderita asma sebab memiliki efek sebagai relaksan ringan pada
otot polos bronkus. Penyekat α dapat digunakan pada hipertensi dengan prostatis
sebab penyekat α dapat mengurangi gejala urinary hesitancy dan spasme leher
kandung kemih yang berhubungan dengan hipertrofi prostat.
(c)
Penyekat b (b- Blocker)
Golongan
obat ini memiliki efek kronotropik dan inotropik negative yang menyebabkan
penurunan tekanan darah dan menurunkan curah jantung dan resistensi vascular
perifer. Efek penghambatan terhadap reseptor β2 yang terdapat dipermukaan
membrane sel jukstaglomrul dapat menyebabkan penurunan sekresi renin yang
berperan didalam sistem renin angiotensin aldosteron dan menurunkan tekanan
darah.
(d)
ACE Inhibitor
Angiotensin
converting enzim (ACE) inhibitor memiliki efek dalam penurunan tekanan darah
melalui penurunan resistansi perifer tanpa disertai dengan perubahan curah
jantung, denyut jantung, maupun laju filtrasi glomerolus. Penurunan tekanan
darah melalui penghambatan sistem renin angiotensin aldosteron (RAA). Renin
merupakan enzim yang disekresi terutama dari sel jukstaglomeruler di bagian
arteriol aferen ginjal dan menyebabkan perangsangan pada sitem RAA sehingga
menurunkan tekanan darah, penurunan konsentrasi ion Na+ sehingga dapat
menurunkan tekanan darah, nyeri, dan stres. Pada sistem RAA, kerja ACE
inhibitor adalah menghambat enzim ACE yaitu suatu enzim yang dapat menguraikan
angiotensin I menjadi angitensin II. Angiotensin II merupakan suatu
vasokonstriktor yang pontensial merangsang korteks adrenal untuk menyitesis dan
menyekresi aldosteron dan secara langsung menekan pelepasan renin. Enzim ACE
juga dapat mendegradasi bradikinin dari bentuk aktif. ACE Inhibitor dapat
menyebabkan bradikinin tidak terdegradasi dan terakumulasi di saluran
pernafasan dan paru sehingga menimbulkan batuk kering. Batuk kering merupakan
efek samping yang paling sering terjadi, insidennya sampai 10 – 20% lebih
sering pada wanita dan terjadi pada malam hari.
(e)
Antagonis Reseptor Angiotensin II
Obat-bat
yang mempengaruhi jalur sistem renin angiotensin (RAS) antara lain adalah ACE
inhibitor dan A II RA. Tampaknya A II RA merupakan obat yang mempunyai prospek
yang baik karena obat ini mampu memblok kerja semua angiotensin II yang
terbentuk baik melalui jalur ACE atau non-ACE. A II RA dapat secara selektif
memblok kerja Angiotensin II pada reseptor AT, sehingga A II RA disamping
menurunkan tekanan darah juga mempunyai kemampuan melindungi organ-organ lain
(end organ protection). Terdapat dua tipe reseptor yaitu AT1 dan AT2 dengan
efek kerja yang berbeda. Angiotensin II yang seharusnya bekerja pada reseptor
AT1 akan diblokade oleh A II RA sehingga terjadi penurunan tekanan darah,
penurunan retensi air dan sodium, serta penurunan aktivitas seluler yang
merugikan (antaralain hiperetrofi sel dan lain-lain). Angiotensin II yang
terakumulasi akan kerja di reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi dan
antiproliferasi. Akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergis dengan
efek hambatan pada reseptor AT1.
(f)
Antagonis Kalsium
Penghambat
kanal kalsium merupakan senyawa heterogen yang memiliki efek bervariasi pada
otot jantung, nodus, SA, konduksi AV, pembuluh darah perifer, dan sirkulasi
koroner. Senyawa penghambat kanal kalsium tersebut adalah nifedipin,
nikardipin, nimodipin, felodipin, isradipin, amlodipin, verapamil, diltiazem,
bepridil, dan mibefradil. Ion kalsium berperan penting dalam mengatur kontraksi
otot polos dan rangka, serta tampilan jantung normal dan sakit. Antagonis
kalsium banyak digunakan untuk pengobatan hipertensi dengan cara mengambat
masuknya ion kalsium kedalam sel otot polos melalui penghambatan kanal ion
kalsium yang bergantung pada tegangan (tipe I). Ada dua macam kanal ion kalsium
pada membrane sel eksitabel yaitu voltage operated channel (VCO) yang terbuka
oleh depolarisasi dan receptor operated channel (ROC) yaitu kalsium yang
terbuka oleh neurotransmitter tanpa terjadi depolarisasi. Selanjutnya VOC dapat
dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu kanal N(neuronal), T(transien), dan L
(long lasting). Kanal N terutama terutama terdapat pada jaringan saraf,
sedangkan kanal T terdapat pada pacemaker dan jaringan konduksi. Kanal N dan T
tidak sensitive terhadap antagonis kalsium sedangkan kanal L sangat sensitive
terhadap antagonis kalsium dan terdapat pada otak, jantung, otot polos, serta
otot rangka. Kanal L terdiri atas lima subunit yaitu α1, α2,β,γ dan δ sedangkan
reseptor antagonis kalsium terdapat pada subunit α1.
Terapi
Farmakologi menurut Departemen Kesehatan (DepKes, 2006) Pharmaceutical care
untuk penyakit hipertensi menjelaskan ada 9 kelas obat antihipertensi :
diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI),
penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai
obat antihipertensi utama.
7.
Komplikasi
Hipertensi yang
tidak teratasi, dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya menurut Price dan
Wilson (2006), Corwin (2009), Vitahealth (2005), Setiati, Alwi, Sudoyo,
Simadibrata, dan Syam (2014), Irianto (2014) seperti:
a. Payah
Jantung
Payah jantung (Congestive heart
failure) adalah kondisi jantung tidak mampu lagi memompa darah yang dibutuhkan
tubuh. Kondisi ini terjadi karena kerusakan otot jantung atau sistem listrik
jantung.
b. Stroke
Hipertensi adalah faktor penyebab
utama terjadi stroke, karena tekanan darah yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan pembuluh darah yang sudah lemah menjadi pecah. Bila hal ini terjadi
pada pembuluh darah otak, maka terjadi pendarahan otak yang dapat berakibat
kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat sumbatan dari gumpalan darah yang
macet dipembuluh yang sudah menyempit.
c. Kerusakan
ginjal
Hipertensi dapat menyempitkan dan
menebalkan aliran darah yang menuju ginjal, yang berfungsi sebagai penyaring
kotoran tubuh. Dengan adanya gangguan tersebut, ginjal menyaring lebih sedikit
cairan dan membuangnya kembali kedarah.
d. Kerusakan
pengelihatan
Hipertensi dapat menyebabkan
pecahnya pembuluh darah di mata, sehingga mengakibatkan pengelihatan menjadi
kabur atau buta. Pendarahan pada retina mengakibatkan pandangan menjadi kabur,
kerusakan organ mata dengan memeriksa fundus mata untuk menemukan perubahan
yang berkaitan dengan hipertensi yaitu retinopati pada hipertensi. Kerusakan
yang terjadi pada bagaian otak, jantung, ginjal dan juga mata yang
mengakibatkan penderita hipertensi mengalami kerusanan organ mata yaitu
pandangan menjadi kabur.
Komplikasi yang
bisa terjadi dari penyakit hipertensi menurut Departemen Kesehatan (DepKes,
2006) adalah tekanan darah tinggi dalam jangka waktu yang lama akan merusak
endotel arteri dan mempercepat atherosclerosis. Komplikasi dari hipertensi
termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh
darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit
serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner
(infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a.
Riwayat:
-
Pada banyak kasus tidak ada gejala dan
penyakit muncul kebetulan atau selama skrining TD rutin
-
Gejala yang terlihat adalah efek
hipertensi pada system organ
-
Bangun tidur dengan sakit kepala di
daerah oksipital yang menghilang dalam beberapa jam
-
Pusing, letih, konfusi
-
Epistaksis
-
Hematuria
-
Penglihatan kabur
b.
Temuan
pemeriksaan fisik:
-
Nadi kuat
-
Bunyi jantung S4
-
Edema perifer pada tahap lanjut
-
Hemoragi,eksudat, dan edema papil pada
mata pada tahap lanjut jika terjadi hipertensi retinopati
-
Massa abdomen berdenyut menunjukkan
adanya aneurisme abdomen
-
Peningkatan TD minimal dua kali
pengukuran berturut-turut
-
Bising pada aorta abdomen dan arteri
femoralis atau karotis
c.
Pemeriksaan
Diagnostik
1)
Laboratorium
-
Urinalisis: dapat ditemukan protein, sel
darah merah, atau sel darah putih menandakan penyakit ginjal, atau glukosa yang
menunjukkan diabetes mellitus.
-
Kadar kalium serum <3,5 mEq/L
(normal:3,5 – 5,0 mEq/L)2 menunjukkan disfungsi adrenal
(hiperaldosteronisme primer)
-
Kadar nitrogen urea darah normal (
normal: 5 – 25 mg/dL)2 atau meningkat >20mg/dL dan kadar
kreatinin serum normal (normal: 0,5 – 1,5 mg/dL)2 atau >1,5
mg/dLmenunjukkan penyakit ginjal
2)
Pencitraan
-
Foto thoraks menunjukkan kardiomegali
-
Arteriografi ginjal menunjukkan stenosis
arteri ginjal
3)
Prosedur diagnostic
-
Elektrocardiografi (EKG) menunjukkan
hipertropi atau iskemia ventrikel kiri
-
Oftalmoskopi menunjukkan luka pada
arterio-vena, encefalopati hipertensi, dan edema.
-
Pemeriksaan menggunakan kaptopril oral
dapat dilakukan untuk menguji hipertensi renovaskuler
2.
Diagnose
Keperawatan dan Rencana Asuhan Keperawatan
a.
Nyeri akut b.d agens fisik (peningkatan
TIK)
Kriteria NOC:
Control nyeri:
-
Laporan nyeri atau ketidaknyamanan
mereda atau terkontrol
-
Mengatakan metode untuk mengurangi nyeri
-
Mematuhi regimen farmakologis yang
diresepkan.
Intervensi
(NIC)
Manajemen nyeri
Mandiri:
-
Tentukan spesifikasi nyeri – lokasi
-
Dorong dan pertahankan tirah baring
selama fase akut, jika diindikasikan
-
Beri atau rekomendasikan tindakan
nonfarmakologis untuk meredakan sakit kepala, seperti menempelkan washlap
dingin di dahi, menggosok punggung dan leher, ruangan tenang bercahaya redup,
teknik relaksasi sepertiimajinasi terbimbing dan distraksi
-
Hilangkan atau minimalkan aktivitas yang
membuat vasokontriksi yang dapat memperburuk sakit kepala seperti mengedan saat
defekasi, batuk lama, dan membungkuk
-
Bantu klien berjalan sesuai kebutuhan
Kolaborasi:
-
Beri analgetik, jika diindikasikan
-
Beri agens anti-ansietas seperti:
lorazepam, alprazolam, dan diazepam
b.
Risiko penurunan curah jantung
Factor risiko:
-
Perubahan afterload (mis. Peningkatan
resistensi vaskuler sistemik, vasokontriksi)
-
Perubahan kontraktilitas(mis. Hipertropi
ventrikel atau rigiditas, iskemi miokardium)
Kriteria
(NOC):
-
Berpartisipasi dalam aktivitas yang
mengurangi TD dan beban kerja jantung
-
Mempertahankan TD dalam kisaran normal
individu
-
Mendemonstrasikan irama dan frekuensi
jantung stabil dalam kisaran normal.
Intervensi
(NIC)
Regulasi hemodinamik
Mandiri:
-
Ukur TD di kedua lengan. Perhatikan
terjadinya peningkatan tekanan sistolik dan diastolic
-
Perhatikan adanya dan kualitas nadi
sentral dan perifer
-
Auskultasi tonus jantung dan suara napas
-
Observasi warna kulit, kelembaban, suhu
tubuh, dan waktu pengisian kapiler (CRT)
-
Perhatikan edema dependen dan edema umum
-
Beri lingkungan yang tenang dan nyaman,
batasi pengunjung dan waktu lamanya berkunjung
-
Pertahankan pembartasan aktivitas selama
situasi krisis seperti tirah baring atau istirahat di kursi
-
Bantu klien melakukan aktivitas
perawatan diri sesuai kebutuhan
-
Beri tindakan kenyamanan seperti masase
punggung dan leher, tinggikan kepala
-
Instruksikan atau ajarkan teknik
relaksasi, imajinasi terbimbing dan distraksi
-
Pantau respons terhadap medikasi
pengendalian tekanan darah.
Kolaborasi:
-
Beri medikasi sesuai indikasi: diuretic,
beta-bloker, inhibitor ACE, dll (sesuai indikasi)
-
Implementasikan pembatasan diet sesuai
indikasi seperti mengurangi kalori dan menghindari karbohidrat murni, natrium,
lemak, dan kolesterol
-
Persiapkan pembedahan jika diindikasikan
c.
Intolerans aktivitas b.d kelemahan umum;
ketidakseimbangan antara suplay dan kebutuhan oksigen
Kriteria (NOC)
Endurance:
-
Berpartisipasi dalam aktivitas yang
diperlukan dan diinginkan
-
Melaporkan peningkatan yang dapat
terukur dalam toleransi aktivitas
-
Mendemonstrasikan penurunan tanda-tanda
fisiologis intoleransi
Intervensi
(NIC):
Manajemen energy
Mandiri:
-
Kaji respons klien terhadap aktivitas,
catat frekuensi nadi yang lebih cepat >20kali/menit dari frekuensi saat
istirahat: peningkatan TD (sistolik meningkat >40 mmHg atau diastolic
meningkat >20 mmHg) selama dan setelah aktivitas, dyspnea atau nyeri dada,
keletihan dan kelemahan berlebihan, dan diaphoresis, pening, dan sinkop.
-
Ajari klien teknik penghematan energy
sepertimenggunakan kursi saat mandi, duduk saat menyikat gigi atau menyisir
rambut, dan melaksanakan aktivitas dengan kecepatan yang lebih lambat.
d.
Ketidakefektifan koping b.d
ketidakadekuatan sumber yang ada; ketidakadekuatan tingkat kepercayaan dalam
kemampuan untuk koping; ketidakadekuatan tingkat persepsi control; krisis
situasi
Kriteria (NOC)
Koping:
-
Mengidentifikasi perilaku koping yang
tidak efektif dan akibatnya
-
Mengungkapkan kesadaran tentang
kemampuan dan kekuatan kopingnya sendiri
-
Mengidentifikasi situasi yang berpotensi
menyebabkan stress dan melangkah untuk menghindari atau memodifikasi situasi
stress tersebut
-
Mendemonstrasikan penggunaan
keterampilan koping yang efektif
Intervensi
(NIC):
Peningkatan Koping:
Mandiri:
-
Kaji efektifitas strategi koping dengan
mengobservasi perilaku, seperti kemampuan mengungkapkan perasaan dan
kekuatiran, dan keinginan berpartisipasi dalam rencana terapi
-
Catat laporan gangguan tidur,
peningkatan keletihan, gangguan konsentrasi, iritabilitas, penurunan toleransi
terhadap sakit kepala, dan ketidakmampuan melakukan koping atau menyelesaikan
masalah
-
Bantu klien mengidentifikasi stressor
spesifik dan kemungkinan strategi mengatasi stressor tersebut
-
Masukkan klien dalam perencanaan asuhan
dan dorong partisipasi maksimal dalam rencana terapi dan dengan tim
multidisiplin
-
Dorong klien untuk mengevaluasi
prioritas dan tujuan personal dalam hidup
-
Bantu klien mengidentifikasi dan mulai
membuat rencana untuk mengubah gaya hidup yang diperlukan. Bantu menyesuaikan
dan bukan mengabaikan, tujuan personal dan keluarga.
Referensi:
AnnisaA. F. N,
Wahiduddin, Ansar, J. (2013). Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat
Hipertensi pada Lansia di Puskesmas Pattingalloang Kota Makassar. Makassar:
Universitas Hasanuddin, diaskes dari http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9370/A.%20Fitria%20Nur%20Annisa_K11110020.pdf?sequence=1
Corwin,J.E.
(2009). Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta: EGC
Dosen
Keperawatan Medikal Bedah Indonesia. (2017). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Diagnosis NANDA-I, Intervensi
NIC, Hasil (NOC). Jakarta: EGC
Gray, H. H.,
Dawkins, K. D., Morgan, J. M., Simpson, I. A. (2005). Lecture Notes Kardiologi. Jakarta: Erlangga Medical Series
Irianto, K
(2014). Memahami Berbagai Macam Penyakit.
Bandung: Alfabeta
Junaidi, I.
(2002). Panduan praktis pencegahan dan
pengobatan stroke. Jakarta: Gramedia.
Muawanah.
(2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Manajemen Stres Terhadap Tingkat Kekambuhan
Pada Penderita Hipertensi di Panti Wreda
Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Jakarta:
Nuha Medika. Medical Book.
Setiati S, et
al. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing
Smeltzer, S. C,
Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Vol. 2. E/8. Jakarta: ECG
Sutaryo. (2011).
Bagaimana menjaga kesehatan jantung.
Yogyakarta: Cinta Buku.
Sutedjo, A.Y.
(2008). Mengenal Obat-Obatan Secara Mudah
& Aplikasinya dalam Perawatan. Yogyakarta: Amara Books
Syamsudin.
(2011). Buku Ajar Farmakoterapi
Kardovaskular dan Renal. Jakarta: Salemba Medika
The Joint
National Committee (JNC VIII) Hypertension Guidelines An in Depth Guide.
Diaskes 20 Mei 2015 di http://www.ajmc.com/journals/evidence-based-diabetes-management/2014/January-2014-2014/The-JNC-8-Hypertension-Guidelines-An-In-Depth-Guide
Udjianti, W. J.
(2010). Keperawatan Kardiovaskuler.
Jakarta: Salemba Medika
Vitahealth,
(2005). Hipertensi (Informasi lengkap
untuk penderita & keluarga). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
WHO (Would
Health Organization). (2003). ADHERENCE TO LONG-TERM THERAPIES Evidence for
action.Diaskes pada 13 Agustus 2015 di http://www.who.int/chp/knowledge/publications/adherence_introduction.pdf
😃lanjutin
ReplyDelete😃lanjutin
ReplyDelete