ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN STROKE
Ns. EDY SANTOSO, M.Kep
A. KONSEP
PENYAKIT
1. Pengertian
Stroke merupakan kelainan otak
secara fungsional ataupun struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis
dari pembuluh darah serebral dari seluruh sistem pembuluh darah otak (Doenges,
2000). Stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral, dan suatu gangguan
neurologis fokal yang timbul akibat sekunder dari suatu proses patologi pada
pembuluh darah serebral (Price & Wilson,1994). Stroke merupakan kehilangan
fungsi otak akibat terhentinya suplai darah kebagian otak (Smeltzer & Bare,
2012).
Stroke adalah sindrom klinis yang
timbul awal mendadak, progresif, cepat berupa defisit neurologis vokal atau
global yang berlangsung selama 24 jam. Efek yang akan terjadi yakni biasanya
akan langsung menimbulkan kematian. Dan hal tersebut semata-mata disebabkan
oleh pendarahan otak non traumatik (Mansjoer, 2001). Stroke mengacu kepada
setiap neurologik mendadak akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah
melalui sistem suplai arteri otak (Price dan Wilson, 2006).
Stroke
merupakan tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak
baik lokal maupun menyeluruh yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan bisa
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO,
2015).
2. Epidemiologi
stroke
Stroke penyebab kematian ketiga di
dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker baik di negara maju maupun
negara berkembang. Satu dari 10 kematian disebabkan oleh stroke (American Heart
Association, 2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15 juta orang terserang
stroke setiap tahunnya, satu pertiga meninggal dan sisanya mengalami kecacatan
permanen (Stroke forum, 2015). Stroke merupakan penyebab utama kecacatan yang
dapat dicegah (Ralph et all, 2013).
Data dari Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia memperlihatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian
nomor satu pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Menurut Yayasan Stroke
Indonesia, setiap tahun diperkirakan 500.000 penduduk mengalami serangan stroke
dan 25% di antaranya (125.000 penduduk) meninggal, sisanya mengalami cacat
ringan maupun berat.
Di Indonesia, kecenderungan
prevalensi stroke per 1000 orang mencapai 12,1 dan setiap 7 orang yang
meninggal, 1 diantaranya terkena stroke (Depkes, 2013). Pada suatu survei di RS
Vermont, stroke pada usia muda merupakan 8,5% dari seluruh pasien rawat; stroke
perdarahan intraserebral didapatkan pada 41% pasien, dengan penyebab tersering
adalah aneurisma, AVM (arteriovenous malformation), hipertensi, dan tumor.
Perdarahan subaraknoid didapatkan pada 17% pasien, dan stroke iskemik terjadi
pada 42% pasien. Angka kejadian stroke iskemik pada usia di bawah 45 tahun
hanya sekitar 5% dari seluruh kejadian dari stroke iskemik (Primara &
Amalia, 2015).
3. Etiologi
Stroke terbagi dalam 3 penyebab
antara lain:
a. Trombosis serebral
Aterosklerosis serebral dan
perlambatan sirkulasi serebral merupakan penyebab utama dari trombosis serebral
dan merupakan penyebab umum dari stroke (Smeltzer & Bare, 2002). Trombosis
ditemukan angka 40% dari semua kasus stroke yang telah dibuktikan oleh ahli
patologi. Biasanya ada kaitannya dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah
akibat aterosklerosis (Price 2005).
b. Emboli Serebri
Embolisme serebri merupakan urutan
kedua dari berbagai penyebab utama stroke. Penderita stroke embolisme biasanya
sangat mudah dibandingkan dengan penderita trombosis. Kebanyakan emboli serebri
berasal dari suatu trombus dalam jantung sehingga masalah yang dihadapi
sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit jantung (Prince 2005, 2013).
c. Hemoragik
Hemoragik
biasanya terjadi di luar durameter (hemoragik ekstra dural atau epidural) di
bawah durameter (hemoragik subdural), diruang subarachnoid (hemoragik subarachnoid
atau dalam substansial otak (hemoragik intra serebral) (Price 2005).
4. Klasifikasi
stroke
Stroke
dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala klinisnya, yaitu:
1. Stroke
Hemoragik adalah perdarahan serebral dan perdarahan subarachnoid, yang
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah ke otak pada area otak tertentu.
Biasanya ini terjadi apabila saat melakukan aktivitas, namun bisa juga terjadi
saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun. Stroke hemoragik merupakan
disfungsi neurologis fokal yang akut dan biasanya disebabkan oleh pendarahan
primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma
kapitis, tetapi disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan
kapiler (Widjaja 1994). Perdarahan otak dibagi dua yaitu:
1) Perdarahan
Intraserebral merupakan pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) karena
hipertensi yang mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk
masa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan tekanan
intrakranial terjadi begitu cepat, yang dapat mengakibatkan kematian mendadak
karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena
hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons dan sereblum (Rohani,
2000).
2) Perdarahan
Subarachnoid merupakan perdarahan yang berasal dari pecahnya aneurisma berry
atau AVM yang pecah berasal dari pembuluh darah sirkulasi dan cabang-cabangnya
yang terdapat di luar parenkim otak (Juwono 1993). Pecahnya arteri dan
keluarnya ke ruang subarachnoid menyebabkan tekanan intrakranial meningkat
mendadak, meregangnya struktur peka nyeri dan vasospasme pembuluh darah
serebral yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan
kesadaran) maupun fokal (hemiparase, gangguan hemi sensorik, afasia, dll (Rohani,
2000).
2. Stroke
Non Hemoragik (Stroke Infark) merupakan iskemia atau emboli dan trombosis
serebral, yang terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau
di pagi hari. Dalam hal tersebut tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia
yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Menurut
perjalanan penyakit atau stadiumnya:
1) TIA
(Transient Ischaemic Attack)
Gangguan
neurologis yang terjadi selama beberapa menit atau sampai beberapa jam saja.
Gejala yang timbul akan hilang dengan sendirinya dan sempurna dalam waktu
kurang dari 24 jam.
2) Stroke Involusi
Stroke yang terjadi masih terus
berkembang, dimana gangguan neurologis terlihat maka akan semakin berat dan
bertambah buruk. Proses dapat berjalan selama 24 jam atau beberapa hari.
3) Stroke Komplit
Gangguan neurologi yang timbul sudah
menetap atau permanen. Stroke komplit biasanya diawali oleh serangan TIA
berulang.
3. Patofisiologi
Otak
mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dengan berat hanya 2% dari berat
badan, menggunakan 20% oksigen total dari 20% darah yang beredar. Pada keadaan
oksigenisasi cukup terjadi metabolisme aerobik dari 1 mol glukosa dengan
menghasilkan energi berupa 38 mol adenosin trifosfat (ATP) yang diantaranya
digunakan untuk mempertahankan pompa ion (Na-K pump), transport
neurotransmitter (glutamate, dll) ke dalam sel, sintesis protein, lipid dan
karbohidrat, serta transfer zat-zat dalam sel, sedang menghasilkan energi 2 ATP
dari 1 mol glukosa (Alireza, 2009). Keadaan normal aliran darah otak
dipertahankan oleh suatu mekanisme otoregulasi kuang lebih 58 ml/100 gr/menit
dan dominan pada daerah abu-abu, dengan mean arterial blood presure (MABP)
antara 50-160 mmHg.
Mekanisme
ini gagal bila terjadi perubahan tekanan yang berlebihan dan cepat atau pada
stroke fase akut. Jika MABP kurang dari 50 mmHg akan terjadi iskemia sedang,
jika lebih dari 160 mmHg akan terjadi gangguan sawar darah otak dan terjadi
edema serebri atau ensefalopati hipertensif. Selain itu terdapat mekanisme
otoregulasi yag peka terhadap perubahan kadar oksigen dan karbondioksida. Kenaikan
kadar karbondioksida darah menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan kenaikan
oksigen menyebabkan vasokontriksi. Nitrik-oksid merupakan vasodilator lokak
yang dilepaskan oleh sel endotel vaskuler (Arbour et all, 2005).
Gangguan
aliran darah otak akibat oklusi mengakibatkan produksi energi menurun, yang
pada gilirannya menyebabkan kegagalan pompa ion, cedera mitokondria, aktivasi
leukosit (dengan pelepasan mediator inflamasi), generasi radikal oksigen, dan
kalsium dalam sel, stimulasi phospolipase dan protease, diikuti oleh pelepasan
prostaglandin dan leukotrien kerusakan DNA dan sitoskeleton, dan akhirnya
terjadi kerusakan membran sel. Perubahan komponen genetik mengatur unsur
kaskade untuk mengubah tingkat cedera. AMPA (alpha amino 3 hidroksi 5 metil 4
isoxazole asam propionat) dan NMDA (N-metil d aspartat).
Tujuan utama dari intervensi adalah
untuk memulihkan aliran darah nrmal otak sesegera mungkin dan melindungi neuron
karena mengganggu atau memperlambat cascade iskemik. Studi menggunakan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dan positron-emission tomography (PET) menunjukkan
bahwa iskemia akan cepat menghasilkan kerusakan jaringan otak yang permanen
(ischemic core) dan dikelilingi oleh hipoksia tetapi berpotensi untuk
diselamatkan (penumbra) bila segera dilakukan intervensi secepat mungkin. Otak
sangat tergantung kepada oksigen dan otak tidak mempunyai cadangan oksigen
apabila tidak adanya suplai oksigen maka metabolisme di otak mengalami
perubahan, kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam waktu 3
sampai 10 menit. Iskemia dalam waktu lama menyebabkan sel mati permanen dan
berakibat menjadi infark otak yang disertai odem otak sedangkan bagian tubuh
yang terserang stroke secara permanen akan tergantung kepada daerah otak mana
yang terkena. Stroke itu sendiri disebabkan oleh adanya arteroskelorosis
(Junaidi, 2011).
Arteroskelorosis terjadi karena
adanya penimbunan lemak yang terdapat di dinding-dinding pembuluh darah
sehingga menghambat aliran darah kejaringan otak. Arterosklerosis juga dapat
menyebabkan suplai darah kejaringan serebral tidak adekuat sehingga menyebakan
resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (Nurarif et all, 2013).
Secara patologi stroke dibedakan
menjadi sebagai berikut:
a. Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan atau stroke
hemoragik adalah perdarahan yang tidak terkontrol di otak. Perdarahan tersebut
dapat mengenai dan membunuh sel otak, sekitar 20% stroke adalah stroke
hemoragik. Jenis perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh
darah otak, baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan
intrakranial, pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat
hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya
pembuluh darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak
tersebut. Perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital
pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal (Misbach, 2007).
b. Stroke
Iskemik
Stroke
iskemik terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu
oleh oklusi. Penyakit serebrovaskular iskemik terutama disebabkan oleh
trombosis, emboli dan hipoperfusi fokal, yang semuanya dapat menyebabkan
penurunan atau gangguan dalam aliran darah otak (CBF) yang mempengaruhi fungsi
neurologis akibat perampasan glukosa dan oksigen. Sekitar 45% dari stroke
iskemik disebabkan oleh trombus arteri kecil atau besar, 20% adalah emboli
berasal, dan lain-lain memiliki penyebab yang tidak diketahui. Stroke iskemik
fokal disebabkan oleh gangguan aliran darah arteri ke daerah tergantung dari
parenkim otak oleh trombus atau embolus. Dengan kata lain, stroke iskemik
didefinisikan sebagai onset akut, (menit atau jam), dari defisit neurologis
fokal konsisten dengan lesi vaskular yang berlangsung selama lebih dari 24 jam.
Stroke
iskemik adalah penyakit yang kompleks dengan beberapa etiologi dan manifestasi
klinis. Dalam waktu 10 detik setelah tidak ada aliran darah ke otak, maka akan
terjadi kegagalan metabolisme jaringan otak. EEG menunjukkan penurunan
aktivitas listrik dan seacara klinis otak mengalami disfungsi (Nemaa, 2015).
Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang
diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K+
ATP-ase, sehingga membran potensial akan menurun.13 K+ berpindah ke ruang
ekstraselular, sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini
menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif (Wijaya, 2012). Sehingga
terjadi membran depolarisasi.
Saat
awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural
ruang menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila
perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah
berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit. Akibat kekurangan oksigen
terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya
ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai
pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi
(Trent MW, 2011). Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan
kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah
iskemik.
Terdapat dua patologi utama stroke
iskemik adalah:
1) Trombosis
Aterosklerosis
adalah salah satu obstruksi vaskular yang terjadi akibat perubahan patologis
pada pembuluh darah, seperti hilangnya elastisitas dan menyempitnya lumen
pembuluh darah. Aterosklerosis ini merupakan respon normal terhadap injury yang
terjadi pada lapisan endotel pembuluh darah arteri. Proses aterosklerosis ini
lebih mudah terjadi pada pembuluh darah arteri karena arteri lebih banyak
memiliki sel otot polos dibandingkan vena. Proses aterosklerosis ditandai oleh
penimbunan lemak yang terjadi secara lambat pada dinding-dinding arteri yang
disebut plak, sehingga dapat memblokir atau menghalangi sama sekali aliran
pembuluh darah ke otak. Akibat terjadinya aterosklerosis ini bisa juga
disebabkan oleh terbentuknya bekuan darah atau trombus yang teragregasi
platelet pada dinding pembuluh darah dan akan membentuk fibrin kecil ya ng
menjadikan sumbatan atau plak pada pembuluh darah, ketika arteri dalam otak
buntu akibat plak tersebut, menjadikan kompensasi sirkulasi dalam otak akan
gagal dan perfusi terganggu, sehingga akan mengakibatkan kematian sel dan mengaktifkan
banyak enzim fosfolipase yang akan memacu mikroglia memproduksi Nitrit Oxide
secara banyak dan pelepasan sitokin pada daerah iskemik yang akan menyebabkan
kerusakan atau kematian sel (Lakhan et al, 2009).
Apabila
bagian trombus tadi terlepas dari dinding arteri dan ikut terbawa aliran darah
menuju ke arteri yang lebih kecil, maka hal ini dapat menyebabkan sumbatan pada
arteri tersebut, bagian dari trombus yang terlepas tadi disebut emboli.
2) Emboli
Hampir
20%, stroke iskemik disebabkan emboli yang berasal dari jantung. Sekali stroke
emboli dari jantung terjadi, maka kemungkinan untuk rekuren relatif tinggi. Risiko
stroke emboli dari jantung meningkat dengan bertambahnya umur, karena
meningkatnya prevelansi fibrilasi atrial pada lansia. Umumnya prognosis stroke
kardioemboli buruk dan menyebabkan kecacatan yang lebih besar. Timbulnya
perdarahan otak tanpa tanda-tanda klinis memburuk dan terjadi 12-48 jam setelah
onset stroke emboli yang disertai infark besar.
4.
Factor Risiko
Seseorang
menderita stroke karena memiliki perilaku yang dapat meningkatkan faktor risiko
stroke. Gaya hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan tinggi lemak
dan tinggi kolesterol, kurang aktivitas fisik, dan kurang olahraga,
meningkatkan risiko terkena penyakit stroke. Gaya hidup sering menjadi penyebab
berbagai penyakit yang menyerang usia produktif, karena generasi muda sering
menerapkan pola makan yang tidak sehat dengan seringnya mengkonsumsi makanan
tinggi lemak dan kolesterol tapi rendah serat. Selain banyak mengkonsumsi
kolesterol, mereka mengkonsumsi gula yang berlebihan sehingga akan menimbulkan
kegemukan yang berakibat terjadinya penumpukan energi dalam tubuh (Dourman,
2013).
Menurut
hasil penelitian Bhat, et.al (2008), merokok merupakan faktor risiko stroke pada
wanita muda. Merokok berisiko 2,6 kali terhadap kejadian stroke pada wanita
muda. Merokok dapat meningkatkan kecenderungan sel-sel darah menggumpal pada
dinding arteri, menurunkan jumlah HDL, menurunkan kemampuan HDL dalam
menyingkirkan kolesterol LDL yang berlebihan, serta meningkatkan oksidasi lemak
yang berperan dalam perkembangan arterosklerosis. Mutmainna dkk (2013) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa faktor risiko kejadian stroke pada usia muda
adalah perilaku merokok, riwayat diabetes mellitus, riwayat hipertensi, riwayat
hiperkolesterolemia. Variabel jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko
kejadian stroke pada dewasa awal. Sedangkan hasil penelitian Handayani (2013)
menyebutkan bahwa insiden stroke lebih tinggi terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan.
Berdasarkan
Guideline Pencegahan Stroke Primer oleh Goldstein (2009), faktor risiko stroke
dibagi menjadi dua yaitu, faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang
dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
a.
Usia
Stroke
dapat terjadi pada semua orang dan pada semua usia, termasuk anak-anak.
Kejadian penderita stroke iskemik biasanya berusia lanjut (60 tahun keatas) dan
resiko stroke meningkat seiring bertambahnya usia dikarenakan mengalaminya
degeneratif organ-organ dalam tubuh (Nurarif et all, 2013). Status umur
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan ibu. Semakin bertambah umur maka
penalaran dan pengetahuan semakin bertambah.
Tingkat
kematangan seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
kecemasan dimana individu yang matang mempunyai daya adaptasi yang besar
terhadap stresor yang muncul. Sebaliknya individu yang berkepribadian tidak
matang akan bergantung dan peka terhadap rangsangan sehingga sangat mudah
mengalami gangguan kecemasan (Maslim, 2004).
Berikut
kategori umur menurut Depkes RI (2009):
1)
Usia Muda 18-40 tahun
2)
Usia Tua 41- 65 tahun
b.
Jenis kelamin
Pria
memiliki kecenderungan lebih besar untuk terkena stroke pada usia dewasa awal
dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan 2:1. Insiden stroke lebih tinggi
terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rata-rata 25%-30% Walaupun
para pria lebih rawan daripada wanita pada usia yang lebih muda, tetapi para
wanita akan menyusul setelah usia mereka mencapai menopause. Hal ini, hormon
merupakan yang berperan dapat melindungi wanita sampai mereka melewati
masa-Masa melahirkan anak (Burhanuddin, Wahidudin, Jumriani, 2012).
Usia
dewasa awal (18-40 Tahun) perempuan memiliki peluang yang sama juga dengan
laki-laki untuk terserang stroke. Hal ini membuktikan bahwa resiko laki-laki
dan perempuan untuk terserang stroke pada usia dewasa awal adalah sama. Pria
memiliki risiko terkena stroke iskemik atau perdarahan intra sereberal lebih
tinggi sekitar 20% daripada wanita. Namun, wanita memiliki resiko perdarahan
subaraknoid sekitar 50%. Sehingga baik jenis kelamin laki-laki maupun perempuan
memiliki peluang yang sama untuk terkena stroke pada usia dewasa awal 18-40
Tahun (Handayani, 2013).
c.
Genetik (herediter)
Beberapa
penelitian menunjukkan terdapat pengaruh genetik pada risiko stroke. Namun,
sampai saat ini belum diketahui secara pasti gen mana yang berperan dalam
terjadinya stroke.
d.
Ras dan etnis
Insiden
stroke lebih tinggi pada orang berkulit hitam daripada berkulit putih setelah
dilakukan kontrol terhadap hipertensi, dan diabetes mellitus.
Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi:
a.
Hipertensi
Hipertensi
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak sehingga timbul perdarahan otak.
Hipertensi dapat mempengaruhi hampir seluruh organ tubuh, terutama otak,
jantung, ginjal, mata, dan pembuluh darah perifer. Kemungkinan terjadinya
komplikasi tergantung kepada seberapa besar tekanan darah itu, seberapa lama
dibiarkan, seberapa besar kenaikan dari kondisi sebelumnya, dan kehadiran
faktor risiko lain. Oleh karena itu, hipertensi diklasifikasikan oleh AHA, 2017
sebagai berikut:
Kategori
|
Sistolik
|
|
Diastolic
|
Normal
|
< 120 mmHg
|
dan
|
<
80 mmHg
|
Meningkat
|
120-129 mmHg
|
dan
|
<
80 mmHg
|
Hipertensi
|
|||
Stage
1
|
130-139 mmHg
|
atau
|
80-89
mmHg
|
Stage
2
|
≥ 140 mmHg
|
atau
|
≥
90 mmHg
|
Insiden
stroke dapat bertambah dengan meningkatnya tekanan darah dan berkurang bila
tekanan darah dapat dipertahankan di bawah 140/90 mmHg, baik pada stroke
iskemik, perdarahan intrakranial, maupun perdarahan subaraknoid.
b.
Hiperkolestrolemia
Secara
alamiah tubuh kita lewat fungsi hati membentuk kolesterol sekitar 1000 mg
setiap hari dari lemak jenuh. Selain itu, tubuh banyak dipenuhi kolesterol jika
mengkonsumsi makanan berbasis hewani, kolesterol inilah yang menempel pada
permukaan dinding pembuluh darah yang semakin hari semakin menebal dan dapat
menyebabkan penyempitan dinding pembuluh darah yang disebut aterosklerosis.
Bila di daerah pembuluh darah menuju ke otot jantung terhalang karena
penumpukan kolesterol maka akan terjadi serangan jantung. Sementara bila yang
tersumbat adalah pembuluh darah pada bagian otak maka sering disebut stroke
(Burhanuddin et all, 2012).
Kolestrol
merupakan zat di dalam aliran darah di mana semakin tinggi kolestrol semakin
besar kolestrol tertimbun pada dinding pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
saluran pembuluh darah menjadi lebih sempit sehingga mengganggu suplai darah ke
otak. Hiperkolestrol akan meningkatkanya LDL (lemak jahat) yang akan
mengakibatkan terbentuknya arterosklerosis yang kemudian diikuti dengan
penurunan elastisitas pembuluh darah yang akan menghambat aliran darah
(Junaidi, 2011).
c.
Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes
melitus mempercepat terjadinya arteriskelorosis baik pada pembuluh darah kecil
maupun pembuluh darah besar atau pembuluh darah otak dan jantung. Kadar glukosa
darah yang tinggi akan menghambat aliran darah dikarenakan pada kadar gula
darah tinggi terjadinya pengentalan darah sehingga menghamabat aliran darah ke
otak. Hiperglikemia dapatmenurunkan sintesis prostasiklin yang berfungsi
melebarkan saluran arteri, meningkatkanya pembentukan trombosis dan menyebabkan
glikolisis protein pada dinding arteri. Diabetes melitus juga dapat menimbulkan
perubahan pada sistem vaskular (pembuluh darah dan jantung), diabetes melitus
mempercepat terjadinya arteriosklerosis yang lebih berat, lebih tersebar
sehingga risiko penderita stroke meninggal lebih besar.
Pasien
yang memiliki riwayat diabetes melitus dan menderita stroke mungkin diakibatkan
karena riwayat diabetes melitus diturunkan secara genetik dari keluarga dan
diperparah dengan pola hidup yang kurang sehat seperti banyak mengkonsumsi
makanan yang manis dan makanan siap saji yang tidak diimbangi dengan
berolahraga teratur atau cenderung malas bergerak (Burhanuddin et all, 2012).
d.
Penyakit Jantung
Penyakit
atau kelainan jantung dapat mengakibatkan iskemia pada otak. Ini disebabkan
karena denyut jantung yang tidak teratur dapat menurunkan total curah jantung
yang mengakibatkan aliran darah di otak berkurang (iskemia). Selain itu terjadi
pelepasan embolus yang kemudian dapat menyumbat pembuluh darah otak. Ini
disebut dengan stroke iskemik akibat trombosis. Seseorang dengan penyakit atau
kelainan jantung beresiko terkena atroke 3 kali lipat dari yang tidak memiliki
penyaki atau kelainan jantung. (Hull, 1993)
e.
Obesitas
Obesitas
merupakan faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler dan stroke
(Wahjoepramono, 2005). Jika seseorang memiliki berat badan yang berlebihan,
maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh, sehingga
dapat meningkatkan tekanan darah (Patel, 1995). Obesitas dapat juga mempercepat
terjadinya proses aterosklerosis pada remaja dan dewasa muda (Madiyono, 2003).
Oleh karena itu, penurunan berat badan dapat mengurangi risiko terserang
stroke. Penurunan berat badan menjadi berat badan yang normal merupakan
cerminan dari aktivitas fisik dan pola makan yang baik.
f.
Merokok
Merokok
adalah penyebab nyata kejadian stroke yang lebih banyak terjadi pada usia
dewasa awal dibandingkan lebih tua. Risiko stroke akan menurun setelah berhenti
merokok dan terlihat jelas dalam periode 2-4 tahun setelah berhenti
merokok.Perlu diketahui bahwa merokok memicu produksi fibrinogen (faktor
penggumpal darah) lebih banyak sehingga merangsang timbulnya aterosklerosis
(Pizon & Asanti, 2010).
Arteriskle
rosis dapat menyebabkan pembuluh darah menyempit dan aliran darah yang lambat
karena terjadi viskositas (kekentalan). Sehingga dapat menimbulkan tekanan
pembuluh darah atau pembekuaan darah pada bagian dimana aliran melambat dan
menyempit. Merokok meningkatkan juga oksidasi lemak yang berperan pada
perkembangan arteriskelorosis dan menurunkan jumlah HDL (kolestrol baik) atau
menurunkan kemampuan HDL dalam menyingkirkan kolesterol LDL yang berlebihan
(Burhanuddin et all, 2012)
5.
Manifestasi klinis
Pada
penyakit stroke gambaran klinis berdasarkan pada pembuluh darah yang mengalami
gangguan menurut Rosjidi dkk (2009) adalah:
a. Gangguan
pembuluh darah vertebrobasilaris
1) Kehilangan
keseimbangan
2) Nistagmus
3) Vertigo
4) Gangguan
menelan
5) Gangguan
gerak bola mata hingga diplopia (dua tampilan dari satu objek)
b. Gangguan
Pembuluh Darah Karotis:
1) Gangguan
rasa kelemahan pada daerah wajah/muka salah satu sisi dan disertai dengan
gangguan rasa di lengan dan tungkai satu sisi
2) Gangguan
gerak/lumpuh satu sisi dari bagian tubuh
3) Gangguan
bicara (afasia)
4) Mulut
asimetris
5) Disatria
(pelo)
6) Inkontinensia
urine
7) Kesadaran
menurun
6.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Radiologi
1) Elektroensefalogram (EEG)
Mengidentifikasi penyakit yang
didasarkan pada pemeriksaan pada gelombang otak dan memungkinkan memperlihatkan
daerah lesi yang spesifik. Pada pasien stroke biasanya dapat menunjukkan apakah
terdapat kejang yang menyerupai dengan gejala stroke dan perubahan
karakteristik EEG yang menyertai stroke yang sering mengalami perubahan (Hello
sehat, 2018).
2) Sinar X
Menggambarkan pada perubahan
kelenjar lempeng pineal pada daerah yang berlawanan dari masa yang meluas,
klasifikasi karotis internal yang terdapat pada trombosis serebral.
3) Angiografi serebral
Pemeriksaan ini membantu
untukmenentukan penyebab stroke secara spesifik antara lain perdarahan, obstruksi
arteri, olkusi/rupture
4) CT-Scan
Pemindaian yang memperlihatkan
secara spesifik adanya edema, adanya hematoma, iskemia dan adanya infark pada
stroke. Hasil pemeriksaan tersebut biasanya terdapat pemadatan divertikel kiri
dan hiperdens lokal.
5) Fungsi
Lumbal
Tekanan
normal dan biasanya ada trombosis, emboli dan TIA (Transient Ischaemia Attack). Sedangkan tekanan yang meningkat dan
cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid atau
intrakranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis berhubungan
dengan proses inflamasi.
6) Magnetic Resonance Imaging
(MRI)
Pemeriksaan
yang menggunakan gelombang magnetik dengan menentukan besar atau luas
perdarahan yang terjadi pada otak. Hasil dari pemeriksaan ini digunakan untuk
menunjukan adanya daerah yang mengalami infark, hemoragik, dan malinformasi
arteriovena.
7) Ultrasonografi
Doppler
Mengidentifikasi
penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis/ aliran darah/ muncul
plaque/aterosklerosis).
8) Pemeriksaan
Thorax
Memperlihatkan
keadaan jantung dan menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
berlawanan dari masa yang meluas.
b. Laboratoriuma.
1) Pemeriksaan
Darah Lengkap
Seperti
Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Eritrosit. Semua itu berguna untuk mengetahui
apakah pasien menderita anemia, sedangkan leukosit untuk melihat sistem imun
pasien. Jika kadar leukosit pada pasien di atas normal, berarti ada penyakit
infeksi yang sedang menyerang.
2) Test
Darah Koagulasi
Tes
ini terdiri dari 4 pemeriksaan yaitu prothrombin
time, partial thromboplastin
(PTT), Internasional Normalized Ratio
(INR) dan agregasi trombosit. Keempat tes ini berguna untuk mengukur seberapa
cepat darah menggumpal. Pada pasien stroke biasanya ditemukan PT/PTTdalam
keadaan normal.
3) Tes
Kimia Darah
Tes
ini digunakan untuk melihat kandungan gula darah, kolesterol, asam urat dll. Seseorang
yang terindikasi penyakit stroke biasanya memiliki gula darah yang tinggi.
Apablia seseorang memiliki riwayat penyakit diabetes yang tidak diobati maka
hal tersebut dapat menjadi faktor pemicu resiko stroke (Robinson, 2014).
7.
Pengobatan
Pada
penderita stroke dapat diobati atau diselamatkan dengan cara melakukan
pengobatan yang tepat dan akurat pada waktu terjadi serangan, khususnya
strokeyang bukan pendarahan. Pengobatan yang biasanya diberikan pada pasien
stroke adalah pemberian oksigen dan dipasang infus untuk memasukkan cairan dan
zat makanan. Adapun cara untuk mengurangi tekanan dan pembengkakan didalam otak
pada penderita stroke akut, biasanya diberikan manitol atau kortikosteroid.
Sedangkan penderita stroke yang berat sangat biasanya memerlukan respirator
yang sesuai untuk mempertahankan pernafasan (Dourman, 2013).
Adapun
beberapa penanganan stroke menurut (Lippincott Williams dan Wilkinson, 2011)
antara lain:
a. Diagnosa
medis awal pada tipe stroke yang dipasangkan dengan penanganan obat baru yang
dapat menurunkan risiko kelumpuhan jangka panjang
b. Pembedahan
dilakukan untuk meningkatkan sirkulasi serebral bagi penderita stroke trombolik
atau embolik meliputi endartektomi.
c. Penanganan
stroke yang berguna secara medikasi:
1) Alteplase
(activase: activator plasminogen jaringan rekombinan), efektif untuk penanganan
darurat stroke embolik.
2) Penggunaan
aspirin jangka panjang atau ticlopidinen (ticlid), sebagai agens anti-keping
darah untuk mencegah stroke rekuren.
3) Antikoagulan
(heparin dan warfarin) digunakan untuk menangani Transient Ischemic Attack (TIA) yang lamban dan tidak responsif
terhadap obat anti-keping darah.
4) Antihipertensi,
antiaritmik, dan antidiabetik yang digunakan untuk menangani faktor risiko yang
berkaitan dengan stroke.
8.
Pencegahan
Pencegahan
pada kejadian stroke pada dasarnya dikelompokkan dalam 2 golongan besar yaitu
pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan yang bersifat primer,
jika penyakit stroke belum terjadi sedangkan pencegahan yang bersifat sekunder
dilakukan dengan perawatan atau pengobatan pada penyakit dasarnya.
a. Pencegahan
Primer
Langkah
utama yang dilakukan dalam mencegah stroke adalah memodifikasi segala dalam
gaya hidup, memodifikasi faktor risiko dan kemudian dilakukan terapi dengan
obat untuk mengatasi penyakit dasarnya bila perlu. Menjalani hidup dengan pola
makan yang sehat, mengelola stress, cukup istirahat, dan mengurangi kebiasaan
yang dapat merugikan tubuh
b. Pencegahan
sekunder
Pada
penderita stroke biasanya memilikibanyak faktor risiko. Faktor risiko yang
harus diobati, yaitu: tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung
koroner, kadar asam urat darah tinggi, kegemukan, peminum alkohol, stress dan
lain-lain. Dalam hal ini penderita juga harus berhenti merokok, minum alkohol,
rajin dalam melakukan olah raga dan lain-lain.
9.
Komplikasi
Menurut Srikandi, (2009)
terdapat beberapa komplikasi dari penyakit stroke antara lain:
a.
Dekubitus;
b.
Penekanan tekanan
intrakranial;
c.
Malnutrisi;
d.
Aspirasi;
e.
Infeksi saluran kencing;
f.
Pneumonia
10. Prognosis
Stroke
dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut (Harsono, 1996 dalam Masriadi, 2016):
a. Tingkat
kesadaran: sadar 16% meninggal, somnolen 39% meninggal, stupor 71% meninggal,
dan bila koma 100% meninggal.
b. Usia:
angka kematian meningkat tajam usia 70 tahun atau lebih.
c. Jenis
kelamin: laki-laki lebih banyak (16%) yang meninggal daripada perempuan (39%).
d. Tekanan
darah: tekanan darah tinggi prognosis jelek.
e. Lain-lain:
cepat dan tepatnya pertolongan.
B. ASUHAN
KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat
-
Berbagai
gambaran klinis, tergantung pada arteri yang terkena, tingkat kerusakan, serta
luasnya sirkulasi koalteral
-
Satu
atau lebih factor risiko yang ada
-
Awitan
tiba-tiba hemiparese atau hemiplegia
-
Awitan
bertahap rasa pening, gangguan mental, atau kejang
-
Penurunan
kesadaran atau afasia yang tiba-tiba
b. Temuan
pemeriksaan fisik
-
Pada
stroke di hemisfer kiri, tanda dan gejalanya di sisi kanan
-
Pada
stroke di hemisfer kanan, tanda dan gejalanya di sisi kiri
-
Pada
stroke yang menyebabkan kerusakan saraf kranial, tanda dan gejala di sisi yang
sama
-
Perubahan
tingkat kesadaran
-
Dengan
pasien yang sadar, kecemasan menyertai kesulitan komunikasi dan mobilitas
-
Inkontinensia
urine
-
Hemiparesis
atau hemiplegia di salah satu sisi tubuh
-
Penurunan
reflex tendon profunda
-
Pada
hemiplegia sisi kiri, mengalami masalah yang berhubungan dengan visuospasi
-
Kemunduran
fungsi sensorik.
2. Rencana
Asuhan Keperawatan
Diagnosis Keperawatan
NANDA
|
Hasil Yang Dicapai
NOC
|
Intervensi
NIC
|
Risiko
ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Factor
risiko:
Embolisme, aneurisme cerebral,
hipertensi, tumor otak, masa protrombin/tromboplastin parsial
|
Perfusi jaringan: Otak
- Mempertahankan atau meningkatkan
tingkat kesadaran, kognisi, dan fungsi motoric dan sensorik
- Mendemonstrasikan tanda vital stabil
dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
- Tidak menunjukkan perburukan lebih
lanjut atau pengulangan kejadian defisit
|
Peningkatan perfusi
cerebral:
Independent
-
Tentukan
factor yang berhubungan dengan situasi individual, penyebab koma, penurunan
perfusi serebral, dan kemungkinan peningkatan TIK
-
Pantau
dan dokumentasikan status neurologis dengan sering dan bandingkan nilai dasar
-
Evaluasi
pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaktivitas terhadap cahaya
-
Dokumentasikan
perubahan penglihatan, seperti laporan pandangan kabur dan perubahan lapang
visual atau persepsi kedalaman
-
Kaji
fungsi yang lebih tinggi, termasuk bicara, jika klien sadar
-
Kaji
rigiditas nukal, kedutan,peningkatan kegelisahan, iritabilitas dan awitan
aktivitas kejang
-
Posisikan
kepala sedikit ditinggikan dan dalam posisi netral
-
Pertahankan
tirah baring, beri lingkungan yang tenang, dan batasi pengunjung atau
aktivitas sesuai indikasi. Beri periode istirahat antara aktivitas perawatan,
batasi durasi prosedur
-
Cegah
mengejan saat defekasi atau menahan nafas
Kolaboratif
-
Beri oksigen tambahan, sesuai indikasi
-
Beri
medikasi, sesuai indikasi, mis; trombolitik intravena, antikoagulan, agens
antitrombosit, antihipertensi, antikonvulsan
-
Pantau
studi laboratorium.
|
Hambatan
mobilitas fisik yang
berhubungan dengan:
□ Kerusakan neuromuskuler; penurunan
kekuatan/control otot; penurunan daya tahan
□ Kerusakan/gangguan sensori persepsi
atau kognitif
|
Konsekuensi
imobilitas: Fisiologis
- Mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terganggu atau yang terpengaruh
- Mempertahankan posisi fungsi yang
optimal sebagaimana dibuktikan dengan tidak terjadi kontraktur dan footdrop
- Mendemonstrasikan teknik dan
perilaku yang memampukan pelaksanaan kembali aktivitas
- Mempertahankan integritas kulit
|
Pemberian
posisi
Independent
-
Kaji
kemampuan fungsi dan luas hambatan pada saat pertama kali dan secara teratur
-
Ubah
posisi minimal setiap 2 jam
-
Posisikan
tengkurap satu atau dua kali sehari jika klien dapat menoleransinya.
-
Sanggah
ekstremitas dalam posisi fungsional; gunakan papan kaki selama periode
paralisis flaksid, pertahankan posisi kepala netral.
-
Gunakan
mitela lengan ketika klien berada dalam posisi duduk tegak, sesuai indikasi
-
Evaluasi
penggunaan dan perlunya bantuan posisi dan bebat selama paralisis spastik
Letakkan bantal di bawah aksila
untuk mengabduksi lengan.
Elevasikan lengan dan tangan.
Letakkan gulungan tangan yang keras
dalam telapak tangan dengan jari dan ibu jari berhadapan.
Letakkan lutut dan pinggul dalam
posisi ekstensi.
Pertahankan tungkai dalam posisi
netral dengan trochanter roll.
Hentikan penggunaan papan kaki, jika
tepat.
-
Observasi
warna, edema, atau tanda lain dari perburukan sirkulasi pada sisi yang
terganggu
-
Inspeksi
kulit secara teratur, terutama di atas tonjolan tulang. Secara perlahan
masase setiap area kemerahan.
Kolaboratif
-
sediakan kasur anti decubitus
-
Rujuk
pada ahli rehabilitasi medik
|
Hambatan
komunikasi verbal yang
berhubungan dengan:
□ Kelemahan system musculoskeletal
□ Penurunan sirkulasi ke otak,
perubahan SSP
|
Komunikasi:
- Mengindikasikan pemahaman tentang
masalah komunikasi
- Menetapkan metode komunikasi yang
dapat mengekspresikan kebutuhan
- Menggunakan sumber dengan tepat.
|
Peningkatan
komunikasi: deficit bicara
Independent
-
Kaji
tipe dan derajat disfungsi, seperti afasia reseptif.
Bedakan afasia dari disartria.
Dengarkan kesalahan dalam percakapan
dan berikan umpan balik.
Minta klien mengikuti perintah
sederhana, seperti “tutup mata anda”, “tunjuk ke pintu”, ulangi kata-kata
atau kalimat sederhana.
Tunjuk benda-benda dan minta klien
menyebutkan nama benda tersebut.
Minta klien menghasilkan suara
sederhana, seperti “sh”, “ket”
Minta klien menuliskan nama dan/atau
kalimat pendek. Jika tidak mampu menulis, minta klien membaca sebuah kalimat
pendek.
-
Beri
catatan di ruang jaga perawat dan kamar klien tentang gangguan bicara. Beri
bel panggilan khusus jika perlu
-
Beri
metode komunikasi alternative, seperti menulis. Beri isyarat visual—gestur,
gambar—daftar “kebutuhan” dan demonstrasi.
-
Antisipasi
dan berikan kebutuhan klien
-
Bicara
secara langsung dengan klien, bicara secara perlahan dan jelas. Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban
ya/tidak di awal, lanjut ke pertanyaan kompleks sesuai dengan respons klien.
-
Bicara
dengan volume normal dan hindarai berbicara terlalu cepat. Beri waktu yang
cukup untuk klien berespons. Bicara tanpa memberi tekanan untuk mendapat
respons.
-
Dorong
orang terdekat dan orang yang menjenguk untuk tetap berupaya berkomunikasi
dengan klien.
-
Hindari
berbicara merendahkan klien atau membuat komentar yang menunjukkan
superioritas.
Kolaboratif
-
Konsultasi
atau rujuk klien ke ahli terapi wicara.
|
Deficit
perawatan diri (mandi, berpakaian, makan, eliminasi) yang berhubungan dengan:
□ Kerusakan neuromuskuler, kelemahan,
kerusakan status mobilitas
□ Kerusakan persepsi atau kognitif
□ Nyeri, ketidaknyamanan
|
Perawatan
diri: Status
- Mendemonstrasikan perubahan teknik
dan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
- Melaksanakan aktivitas perawatan
diri dalam tingkat kemampuan sendiri
- Mengidentifikasi sumber personal dan
komunitas yang dapat memberikan bantuan sesuai kebutuhan.
|
Bantuan
perawatan diri:
Independent
-
Kaji
kemampuan dan tingkat deficit (skala 0 – 4) untuk melaksanakan tugas
sehari-hari.
-
Hindari
melakukan hal-hal untuk klien yang dapat klien lakukan sendiri, beri bantuan
sesuai kebutuhan.
-
Pertahankan
sikap suportif yang tegas. Beri waktu yang cukup kepada klien untuk mencapai
tugas.
-
Beri
umpan balik positif untuk upaya dan pencapaian.
-
Buat
rencana untuk deficit visual yang ada, seperti berikut:
Letakkan
makanan dan perlengkapan makan pada nampan di sisi tubuh klien yang tidak
terganggu.
Atur
tempat tidur sehingga sisi tubuh klien yang tidak terganggu menghadap ruangan
ke sisi tubuh klien yang terganggu pada dinding.
Posisikan
furniture menempel pada dinding, di luar dari alur lalu-lalang.
-
Dorong
orang dekat untuk membiarkan klien melakukan tindakan sebanyak mungkin untuk
dirinya sendiri.
-
Kaji
kemampuan klien untuk mengomunikasikan kebutuhan untuk berkemih dan kemampuan
menggunakan pispot berkemih atau pispot defekasi.
Kolaboratif
-
Beri
supositoria dan pelunak feses
-
Konsultasi
dengan tim rehabilitasi, seperti ahli terapi fisik atau okupasi
|
Ketidakefektifan
koping yang
berhubungan dengan:
□ Ketidakadekuatan tingkat kepercayaan
dalam kemampuan untuk melakukan koping
□ Krisis situasi, ketidakadekuatan
tingkat persepsi kontrol
|
Koping:
- Mengungkapkan penerimaan diri
sendiri dalam situasi
- Berbicara atau berkomunikasi dengan
orang dekat mengenai situasi dan perubahan yang telah terjadi
- Mengungkapkan kesadaran tentang
kemampuan koping diri sendiri
- Memenuhi kebutuhan psikologis
sebagaimana dibuktikan dengan ekspresi
perasaan, identifikasi pilihan, dan penggunaan sumber yang benar.
|
Peningkatan
koping:
Independent
-
Kaji
luasnya perubahan persepsi dan derajat disabilitas terkait. Gunakan skala
pengukuran (mis. Skor pengukuran kemandirian fungsi (Fungtional independence Measure/FIM)), jika tepat (Hamilton,
1987)
-
Identifikasi
makna kehilangan dan disfungsi atau perubahan pada klien. Catat kemampuan
untuk memahami peristiwa dan beri penilaian realistis tentang situasi.
-
Tentukan
stressor dari luar, termasuk keluarga, pekerjaan, sosial, & kebutuhan
keperawatan dan asuhan kesehatan di masa depan.
-
Dorong
klien untuk mengekspresikan perasaan, termasuk sikap bermusuhan, atau rasa
marah, penyangkalan, depresi dan sensasi keputusasaan
-
Catat
apakah klien menyebut sisi yang terganggu sebagai ”itu” atau menyangkal sisi
yang terganggu, dan mengatakan bahwa sisi itu telah “mati”.
-
Terima
pernyataan perasaan tentang penyingkapan tubuh; tetap sesuai fakta mengenai
realita bahwa klien dapat tetap menggunakan sisi yang tidak terganggu dan
belajar mengendalikan sisi yang terganggu. Gunakan kata-kata seperti lemah,
terganggu, dan kanan kiri, yang menggabungkan sisi tubuh tubuh tersebut
sebagai bagian dari tubuh secara keseluruhan.
-
Identifikasi
metode sebelumnya tentang menangani masalah kehidupan. Tentukan keberadaan
dan kualitas system pendukung.
-
Tekankan
dan berikan pesan positif untuk pencapaian kecil baik dalam pemulihan fungsi
maupun kemandirian.
-
Dukung
perilaku atau upaya seperti peningkatan ketertarikan dan partisipasi dalam
aktivitas rehabilitasi.
-
Pantau
gangguan tidur, peningkatan kesulitan berkonsentrasi, pernyataan tidak mampu
melakukan koping, letargi, dan menarik diri
Kolaboratif
-
Rujuk
untuk mendapatkan evaluasi dan konseling neuropsikologis, jika diindikasikan.
|
Gangguan
menelan yang
berhubungan dengan:
□ Kerusakan neuromuskuler—penurunan
reflex muntah, paralisis wajah, gangguan perseptual
□ Keterlibatan saraf kranial
|
Status
menelan:
- Mendemonstrasi kan metode pemberian
makan yang tepat bagi situasi individual, dengan mencegah aspirasi.
- Mempertahankan berat badan yang
diinginkan.
|
Terapi
menelan:
Independent
-
Tinjau
patologi individual dan kemampuan menelan, perhatikan luasnya paralisis,
kejelasan bicara, keterlibatan wajah dan lidah, kemampuan untuk melindungi
jalan nafas dan episode batuk atau tersedak; keberadaan suara napas tambahan
dan jumlah serta karakter secresi oral.
-
Timbang
berat badan secara periodik sesuai indikasi.
-
Sediakan
perlengkapan pengisap (suction) di samping tempat tidur terutama selama
saat-saat pertama upaya makan
-
Jadwalkan
aktivitas dan medikasi untuk memberikan waktu minimal 30 menit istirahat
sebelum makan.
-
Beri
lingkungan yang menyenangkan yang terbebas dari distraksi seperti TV
-
Bantu
klien dengan control kepala atau menopang kepala, dan posisikan berdasarkan
disfungsi spesifik.
-
Letakkan
klien dalam posisi duduk tegak selama dan setelah makan, dengan tepat.
-
Bumbui
makanan dengan herba, cabai, dan jus lemon sesuai dengan pilihan klien, dalam
batasan diet.
-
Sajikan
makanan dengan suhu biasa dan air selalu dingin
-
Stimulasi
bibir untuk menutup atau secara manual buka mulut dengan memberi sedikit
tekanan pada bibir atau bagian bawah dagu, jika diperlukan.
-
Letakkan
makanan dengan konsistensi tepat di sisi mulut yang tidak terganggu.
-
Sentuh
bagian pipidengan spatel lidah atau tempelkan es pada lidah yang lemah.
-
Beri
makan dengan perlahan, beri waktu selama 30 – 45 menit untuk makan.
-
Tawarkan
makanan padat dan cair pada waktu berbeda.
-
Batasi
atau hindari penggunaan sedotan umum minuman/cairan
-
Dorong
orang dekat untuk membawakan makanan pavorit
-
Pertahankan
posisi tegak selama 45 – 60 menit setelah makan.
-
Pertahankan
pencatatan asupan makanan dan cairan secara akurat; catat jumlah kalori jika
diindikasikan
-
Dorong
partisipasi dalam program latihan atau aktivitas.
Kolaboratif
-
Beri
cairan intravena (iv), nutria parenteral, atau pemberian makan melalui slang.
-
Koordinasikan
pendekatan multi-dispilin untuk mengembangkan rencana terapi yang memenuhi
kebutuhan individual.
|
Kealpaan
unilateral yang
berhubungan dengan hemiplegi kiri akibat strok pada hemisfer kanan;
hemianopsis.
|
Adaptasi
terhadap disabilitas fisik:
- Mengidentifikasi tindakan adaptif
atau protektif untuk situasi individual
- Mendemonstrasikan perubahan
perilaku, gaya hidup yang diperlukan untuk meningkatkan keamanan fisik.
|
Manajemen
kealpaan tubuh unilateral:
Independent
-
Tegaskan
klien tentang realita disfungsi dan kebutuhan untuk mengompensasi, hindari
partisi-pasi dalam penyangkalan yang digunakan klien
-
Instrusikan
klien dan pemberi asuhan/orang dekat dalam strategi terapi yang difokuskan
pada perhatian pada sisi yang diabaikan
Dekati
klien dari sisi yang tidak terganggu.
Dorong
klien untuk memiring-kan kepala dan mata untuk “memindai” lingkungan.
Diskusikan
sisi yang terganggu sambil menyentuh, memanipu-lasi, dan mengusap sisi yang
terganggu; beri benda-benda dengan ukuran, berat, dan tekstur yang bervariasi
untuk dipegang oleh klien.
Minta
klien melihat dan memegang sisi yang terganggu, bahwa melintasi bagian tengah
tubuh selama melaksanakan aktivitas asuhan.
Bantu
klien memposisikan ekstremitas yang terganggu secara cermat dan
memvisualisasi penempatan secara rutin atau menggunakan cermin untuk menyesuaikan
penempatan.
-
Instruksikan
orang dekat/pemberi asuhan untuk memantau kesejaja-ran ekstremitas dan untuk
meng-inspeksi kulit secara teratur.
-
Diskusikan
masalah keamanan lingkungan dan bantu dalam mengembangkan renvcana untuk
memperbaiki factor risiko.
-
Dorong
kontinuitas aktivitas rehabilitasi dan terapi neuropsiko-logis yang
diprogramkan, sesuai indikasi.
|
Referensi
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner,
C. M. (2013). Nursing Intervention
Classification (NIC). 6th Ed. United Kingdom: Elsevier
Doenges,
Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman
Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi
III. Alih Bahasa: I Made
Kriasa. Jakarta: EGC
Dosen Keperawatan Medikal Bedah.
(2017). Rencana Asuhan Keperawatan
Medikal-Bedah. Diagnosa NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC
Mansjoer,
Arif. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid I. Jakarta: FKUI
Moorhead, S., Johnson,
M., Maas, M. L., Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. United Kingdom: Elsevier
NANDA International.
(2015). Nursing Diagnoses. Definitions
and Classification 2015 – 2017. 10th Ed.: WILEY Blackwell
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC
Primara,
A. B. & Amalia, L., (2015). Stroke
pada Usia Muda. Cermin
Dunia Kedokteran
Ralph,
L. et al., (2013). Public Health Burden
of Stroke. American Stroke
Association, Volume XII
Smeltzer & Bare. (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth.
Edisi 8 Vol 2. Jakarta: EGC