KONSEP KESIAPSIAGAAN PERAWAT PADA BENCANA
Ns. EDY SANTOSO, M.Kep
Definisi bencana
Bencana
merupakan peristiwa yang menimbulkan kerusakan yang serius terhadap kehidupan
atau infrastuktur yang ada di masyarakat lokal. Dalam kasus yang sama, besarnya
kerusakan dapat menghambat masyarakat untuk berespon (Robert, & Elaine, 2010).
Central Board Secondary Education
[CBSE] (2006) mendefinisikan bencana adalah gangguan
serius yang mengganggu fungsi masyarakat, yang menyebabkan gangguan materi,
ekonomi, kerugian sosial dan lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat yang
terkena dampak untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri.
Bencana
adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada
skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena (WHO, 1999). Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 24 tahun 2007
tentang penanggulangan bencana mendefinisikan bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerusakan harta benda, dan dampak psikologis.
World Health
Organization (WHO) mendefinisikan bencana alam
sebagai "hasil dari gangguan ekologi atau ancaman yang melebihi kemampuan
penyesuaian masyarakat yang terkena dampak". Bencana alam termasuk gempa
bumi, banjir, tornado, badai, letusan gunung berapi, badai es, tsunami, dan
fenomena geologi atau meteorologi lainnya. Bencana buatan manusia adalah yang
penyebab langsung utamanya adalah tindakan manusia, disengaja atau sebaliknya.
Bencana buatan manusia termasuk terorisme biologi dan biokimia, tumpahan bahan
kimia, radiologi (nuklir), kebakaran, ledakan, kecelakaan transportasi, konflik
bersenjata, dan tindakan perang (Veenema, 2007).
Kalsifikasi bencana
Berdasarkan
potensi penyebab bencana di wilayah negara Indonesia dapat dikelompokkan dalam
3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana
sosial. Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung
berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/lahan karena
faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan
kejadian antariksa/benda-benda angkasa. Bencana nonalam antara lain kebakaran
hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan
konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan
dan kegiatan keantariksaan. Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan sosial
dan konflik sosial dalam masyarakat yang sering terjadi (UU 24 tahun 2007).
Ethiopian Disaster Preparedness and
Prevention Commission ((DPPC), 2016)) mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari:
1)
Natural hazard, yaitu hazard akibat proses alam yang
manusia tidak atau sedikit memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata
ruang dan wilayah, prasyarat bangunan, dan sebagainya. Natural hazard terdiri dari beragam bentuk: (1) Geophysical Hazard,
seperti: gempa bumi, tsunami, aktivitas vulkanik, tanah longsor; (2) Hidro-meteorogical Hazard, seperti: banjir,
tanah longsor, angin topan, kekeringan, kebakaran hutan, gelombang panas,
badai debu/pasir, longsoran salju; (3) biological
hazard, seperti: wabah penyakit, penularan penyakit pada tumbuhan atau
hewan, kejadian infeksi yang luas.
2)
Human made hazard, yaitu hazard sebagai akibat
aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini
mencakup: (1) Technological hazard
sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang berbahaya, dan kegagalan
infrastruktur. Bentuk dari hazard ini
adalah polusi air dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya. (2) Environmental
degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia sehingga
merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat terganggunya
ekosistem, (3) Konflik, yaitu hazard karena perilaku kelompok
manusia kepada kelompok yang lain
sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.
Klasifikasi
bencana menurut DepKes RI (1999) dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: (1) Bencana
Alam, antara lain: letusan vulkanik, gempa bumi, tanah longsor, banjir,
serangan hama tanaman pangan, wabah, kemarau panjang, kebakaran hutan,
gelombang tsunami, gelombang panas, dan gas alam beracun; (2) Bencana karena tindakan
manusia, antara lain: perang, letusan gas bumi, kecelakaan radiasi, polusi
keracunan, kebakaran gedung/gedung runtuh, kecelakaan transportasi darat, laut,
udara dan kerusuhan sosial (terorisme, SARA).
Disaster Management continuum
Bencana
tidak dapat dianggap sebagai event
point-in-time, tetapi terdiri dari beberapa fase, di mana pada setiap fase
memerlukan tindakan untuk mengurangi dampak dari bencana. Fase bencana terdiri
dari prabencana, bencana, dan pascabencana. Tahap prabencana merupakan kegiatan
yang dirancang untuk mencegah atau mengurangi dampak potensial dari bencana
serta mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi darurat bencana. Semua kegiatan
yang dilakukan dalam penanggulangan bencana atau keadaan darurat merupakan
kegiatan pada fase bencana.
Pemulihan dan rehabilitasi merupakan fase pascabencana. Perawat memiliki peran yang sangat penting dalam setiap tahap bencana (ICN, 2009). Model
Manajemen Keperawatan Bencana (Jennings 2004 cit ICN, 2009)
Kontinum Manajemen Bencana
Fase Bencana
Bencana
|
Respons
|
Pascabencana
|
Pemulihan
|
Rekonstruksi/Rehabilitasi
|
Prabencana
|
Pencegaha/mitigasi
|
Preparedness
|
Model Disaster Kontinum
Sumber: WHO & ICN (2009)
Model
ini dirancang sebagai alat untuk perawat kesehatan masyarakat.
Sebuah
bencana dapat terjadi kapan saja. Pemerintah dan masyarakat perlu memahami konsekuensi
dari bencana itu dan
selalu siap untuk menghadapinya,
karena peristiwa bencana memiliki potensi untuk mempengaruhi bangsa,
infrastruktur pemerintah dan semua aspek kehidupan (Pawlowski, 2012).
Bencana
merupakan peristiwa alam yang terjadi secara berulang, sehingga dapat
digambarkan dalam suatu siklus penanggulangan bencana (disaster cycles). Siklus bencana umumnya disebut sebagai kontinum
bencana, atau siklus manajemen darurat. Siklus bencana ini terdiri dari tiga
fase utama,
preimpact (sebelum), dampak (selama), dan postimpact (setelah), dan dijadikan dasar dalam penanggulangan bencana. (Veenema, 2007).
preimpact (sebelum), dampak (selama), dan postimpact (setelah), dan dijadikan dasar dalam penanggulangan bencana. (Veenema, 2007).
Tahapan dasar
dari program manajemen bencana terdiri
dari 5 tahapan yaitu kesiapsiagaan, mitigasi, respon,
pemulihan, dan evaluasi (Kim & Proctor, 2002; Landesman, 2001 dalam
Veenema, 2007). Dimana, suatu fase yang terlihat tumpang tindih, tetapi
masing-masing fase memiliki kegiatan yang berbeda.
Kesiapsiagaan
mengacu pada upaya perencanaan yang dirancang dalam merespon sebelum
terjadinya bencana. Perencanaan bencana meliputi mengevaluasi potensi
kerentanan (penilaian risiko) dan kecenderungan terjadinya bencana. Peringatan dini
(forecasting) untuk mencari indikator
yang memprediksi lokasi, waktu, dan besarnya bencana di masa yang akan datang (Veenema, 2007).
Mitigasi
mencakup tindakan yang diambil untuk mengurangi efek berbahaya akibat bencana dengan mengurangi
dampaknya terhadap kesehatan manusia, fungsi masyarakat, infrastruktur dan ekonomi. Kegiatan-kegiatan pencegahan meliputi
mencegah bencana terjadi, dan setiap tindakan yang diambil adalah untuk mencegah penyakit makin berlanjut, cacat, atau
kematian. Mitigasi biasanya membutuhkan sejumlah besar pemikiran, perencanaan,
dan pelaksanaan tindakan sebelum bencana terjadi (Veenema, 2007).
Fase tanggap
adalah tindakan nyata dari manajemen bencana. Tanggap bencana, atau manajemen
darurat, adalah kegiatan yang dilakukan
untuk mengatasi bencana. Fase tanggap bencana berfokus terutama pada memberikan bantuan darurat yaitu
menyelamatkan nyawa, memberikan pertolongan pertama, meminimalkan dan
memulihkan sistem yang rusak seperti komunikasi dan transportasi, dan memberikan
perawatan serta penyediaan kebutuhan pokok bagi korban (makanan, air, dan
tempat tinggal) (Veenema, 2007).
Kegiatan
pemulihan berfokus pada stabilisasi dan mengembalikan keadaan masyarakat
seperti keadaan sebelum terjadi bencana, seperti membangun kembali bangunan
yang rusak dan memperbaiki infrastruktur, merelokasi
penduduk, melakukian intervensi kesehatan mental.
Rehabilitasi dan rekonstruksi melibatkan berbagai kegiatan untuk mencegah efek
jangka panjang dari bencana pada masyarakat (Veenema,
2007).
Evaluasi adalah
tahap perencanaan bencana dan sangat penting untuk diperhatikan. Setelah
bencana, evaluasi dilakukan untuk menentukan tingkat keberhasilan, apakah ada
masalah, dan mengidentifikasi hambatan-hambatan yang ditemukan. Perencanaan
bencana di masa mendatang harus didasarkan pada bukti empiris yang berasal dari
peristiwa bencana sebelumnya (Veenema,
2007).
Siklus manajemen
darurat bencana serta kegiatan pada masing-masing fase bencana dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 1: Disaster Nursing Timeline
Model Veenema, 2007
(Veenema,
2007)
Fase Bencana
|
Prabencana
|
Bencana
|
Pascabencana
|
|
WAKTU
0
|
(0-24
jam) (24-72 jam)
|
Lebih dari 72 jam
|
Kontinum bencana
|
Perencanaan/ kesiapsiagaan
Pencegahan
Peringatan
|
Respon
Manajemen kedaruratan
Mitigasi
|
Pemulihan
Rehabilitasi
Rekonstruksi
Evaluasi
|
Nursing
Action
|
1.
Berpartisipasi
dalam membangun perencanaan bencana di masyarakat
2.
Berpartisipasi
di masyarakat dalam pengkajian risiko: analisa elemen bahaya, mapping bahaya, analisis kelompok
rentan
3.
Menginisiasi
tindakan pencegahan bencana: mencegah atau menghilangkan bahaya,
menggerakkan/ mereloksi penduduk yang berisiko, meningkatkan kesadaran
publik, pembentukan sistem tanggap bahaya.
4.
Mengadakan
pelatihan-pelatihan
|
1.
Mengaktifkan rencana tanggap
bencana: pemberitahuan dan respon awal, menjadi pemimpin saat kejadian, mendirikan posko, membangun komunikasi, memperbaiki kerusakan
dan penilaian kebutuhan di tempat kejadian, pencarian, penyelamatan dan evakuasi,
melakukan kunjungan ke rumah sakit dan posko-posko kesehatan, triase dan
transport pasien
2. Memperkecil
bahaya yang sedang terjadi
3. Mengaktifkan
agen rencana bencana
4. Membangun
kebutuhan hubungan saling membantu
5.
Mengintegrasikan
sumber-sumber daya
6.
Triase
berkelanjutan
|
1.
Memberikan
pelayanan keperawatan dan pelayanan medis secara terus menerus
2.
Surveylance
penyakit yang terus menerus
3.
Monitor
keamanan makanan dan air yang tersedia
4.
Menarik
diri dari lokasi bencana
5.
Memulihkan
infrastruktur kesehatan masyarakat
6.
Re-triase
dan transport pasien ke fasilitas perawatan yang tepat
7.
Menyatukan
kembali
|
Nursing Action
|
bencanaan dan
melaksanakan latihan
5.
Mengidentifikasi
kebutuhan pendidikan dan pelatihan untuk semua perawat
6.
Mengembangkan
database keperawatan bencana untuk
pemberitahuan, mobilisasi dan triase perawat gawat darurat
7.
Mengembangkan
rencana evaluasi pada semua elemen respon keperawatan bencana
|
dan
penyediaan asuhan keperawatan
7.
Membangun
tempat penampungan yang aman, pengiriman makanan dan persediaan air yang
memadai
8.
Menyediakan
kebutuhan sanitasi dan pembuangan sampah
9.
Mengaktifkan
surveylance penyakit
10.
Membangun
pengendalian vektor
11.
Mengevaluasi
kebutuhan atau mengaktifkan staf perawat tambahan (rencana perawat tanggap
bencana)
|
anggota
keluarga
8.
Memantau
kesehatan fisik jangka panjang dari korban
9.
Memantau
status kesehatan mental dari korban
10.
Menyediakan
waktu yang cukup untuk staf beristirahat
11.
Tindakan
respon keperawatan bencana dievaluasi
12.
Merevisi
rencana kesiapsiagaan bencana yang sudah ada.
|
Sumber: Veenema, 2007
Model Veenema ini
menggunakan terminologi yang sama dengan Jennings
Disaster Nursing Management Model tetapi menggabungkan kegiatan dalam tiga
kategori yang terkait dengan timeline
dari bencana.
Menurut
DepKes (2007), tahap-tahap penanganan mengikuti pendekatan tahapan siklus
penanganan bencana (disaster management
cycle), yang dimulai dari waktu sebelum terjadinya bencana berupa kegiatan
pencegahan, mitigasi (pelunakan/pengurangan dampak) dan kesiapsiagaan. Pada
saat terjadinya bencana berupa kegiatan tanggap darurat dan selanjutnya pada
saat setelah terjadinya bencana berupa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pencegahan dilakukan sebagai upaya
mencegah timbulnya krisis akibat bencana sedangkan untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan sebelum bencana terjadi dilakukan kegiatan mitigasi. Kegiatan
mitigasi perlu dievaluasi untuk perbaikan secara berkala dengan melibatkan
program dan sektor terkait, agar sesuai dengan kondisi yang berkembang di
wilayah setempat (Depkes, 2007).
Kesiapsiagaan merupakan upaya-upaya yang difokuskan kepada pengembangan
rencana-rencana untuk menghadapi bencana. Tujuan dari usaha kesiapsiagaan
adalah: (1) meminimalkan jumlah korban, (2) mengurangi penderitaan korban, (3)
mencegah munculnya masalah kesehatan pasca bencana, (4) memudahkan upaya
tanggap darurat dan pemulihan yang cepat (Depkes, 2007).
Tanggap
darurat merupakan upaya-upaya yang dilakukan segera sesudah terjadinya suatu
bencana. Tindakan yang dilakukan umumnya ditujukan untuk menyelamatkan jiwa
korban dan melindungi harta benda serta menangani kerusakan dan pengaruh
terhadap bencana lainnya (kejadian lanjutan). Penanganan darurat pada kejadian
bencana pada dasarnya dilaksanakan dalam waktu yang terbatas, yaitu sekitar 2 –
3 minggu sesudah bencana terjadi (Depkes, 2007).
Upaya
pemulihan merupakan kegiatan yang dilakukan segera setelah bencana mereda atau
masa tanggap darurat telah terlampaui agar masyarakat kembali mampu
melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan upaya rekonstruksi
adalah kegiatan kegiatan untuk membangun kembali berbagai sarana, prasarana dan
pelayanan umum yang rusak akibat bencana agar lebih baik dari sebelumnya.
Kegiatan rekonstruksi harus direncanakan dengan teliti dan seksama dengan
mengikutsertakan berbagai disiplin ilmu, instansi, dan swasta secara terpadu
dan terintegrasi (Depkes, 2007).
Kesiapsiagaan (preparedness) dalam menghadapi bencana
a.
Definisi
kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007). Rangkaian kegiatan yang
dimaksud misalnya: penyiapan sarana komunikasi, pos komando, penyiapan lokasi
evakuasi, Rencana Kontinjensi, dan sosialisasi peraturan/pedoman penanggulangan
bencana.
Konsep kesiapsiagaan bencana meliputi
tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan jiwa saat terjadi
bencana, seperti tindakan protektif saat gempa, tumpahan zat/bahan berbahaya,
atau serangan teroris. Kesiapsiagaan termasuk tindakan yang dirancang untuk
meningkatkan kemampuan dalam melakukan tindakan darurat untuk melindungi sarana/prasarana
yang mengalami kerusakan saat terjadinya bencana, serta kemampuan untuk
terlibat dalam pasca bencana dan kegiatan pemulihan awal (Sutton & Tierney, 2006). Kesiapsiagaan
bencana mengacu pada langkah-langkah yang diambil untuk mempersiapkan dan
mengurangi efek dari bencana. Artinya, untuk memprediksi dan jika mungkin,
mencegah terjadinya bencana, mengurangi dampaknya terhadap masyarakat yang rentan, dan menanggapi secara efektif untuk mengatasi
dampak dari bencana (IFRC & RCS,
2016).
b.
Tujuan
kesiapsiagaan
Tujuan dari
kesiapsiagaan adalah untuk mengembangkan rencana darurat, untuk melatih
personil di semua tingkatan dan di semua sektor, untuk mendidik masyarakat yang
berisiko, dan untuk memantau serta mengevaluasi langkah-langkah ini secara teratur
(Tekeli-Yeşil, 2006).
Menurut Sutton & Tierney (2006), dimensi
kesiapsiagaan bencana dan aktivitasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel
2: Preparedness Dimensions and Activities
Dimensi
Kesiapsiagaan
|
Aktivitas
yang Berhubungan
|
Pengetahuan tentang adanya bahaya
|
Mengenal bahaya, dampak, dan
penilaian kerentanan; Menggunakan perangkat lunak untuk mengestimasi
kerugian, skenario, data sensus; Memahami potensi dampak pada fasilitas,
struktur, infrastruktur, populasi; Memberikan informasi bahaya kepada para pemangku
kepentingan.
|
|
|
Manajemen,
petunjuk, dan koordinasi
|
Memberikan tanggung
jawab; Mengembangkan pembagian kerja dan visi bersama dari peran dan tanggung
jawab yang berhubungan dengan respon; Pembentukan komite kesiapsiagaan,
jaringan; Mengadopsi prosedur manajemen yang dibutuhkan dan direkomendasikan;
Memberikan pelatihan, melakukan latihan, dan mendidik masyarakat.
|
|
|
Perencanaan
respon formal dan informal serta perjanjian
|
Mengembangkan
perencanaan menghadapi bencana, rencana evakuasi, memorandum of understanding (MoU), perjanjian saling membantu,
kemitraan kolaboratif, perjanjian berbagi sumber daya.
|
|
|
Sumber
pendukung
|
Peralatan dan
perlengkapan untuk mendukung kegiatan respon; Memastikan kapasitas bertahan;
Merekrut staf; Mengidentifikasi sumber daya yang sebelumnya tidak diketahui;
Mengembangkan kemampuan logistik.
|
|
Life Safety
Protection
|
Mempersiapkan
anggota keluarga, karyawan, orang lain untuk mengambil tindakan segera untuk
mencegah kematian dan cedera, misalnya, dengan mengungsi, berlindung di
tempat yang mempunyai struktur bangunan yang aman, mengambil tindakan
darurat
untuk mengurangi dampak bencana terhadap kesehatan dan keselamatan.
|
Property
Protection
|
Bertindak
secara benar untuk mencegah kehilangan atau kerusakan harta benda; melindungi
persediaan, mengamankan catatan kritis; Memastikan bahwa fungsi kritis dapat
dipertahankan selama bencana.
|
Emergency
Coping and Restoration of Key Functions
|
Mengembangkan
kapasitas untuk berinovasi; Mengembangkan kemampuan untuk mandiri selama
bencana; Memastikan kapasitas untuk melakukan restorasi darurat dan
langkah-langkah pemulihan dini
|
Mempersiapkan
rencana pemulihan
|
Mempersiapkan
rencana pemulihan; tata cara pembangunan; Mendapatkan asuransi yang memadai;
Mengidentifikasi sumber bantuan pemulihan
|
Sumber: Sutton & Tierney,
2006
Manajemen kesiapan bencana sangat
menentukan keberhasilan manajemen bencana pada fase acute respons (DepKes RI, 1999). Tahapan preparedness mencakup enam
kegiatan pokok, yaitu:
1) Pengembangan
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
SPGDT adalah
sebuah sistem koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) yang didukung oleh
berbagai kegiatan dari multi profesi untuk melakukan kegiatan pelayanan terpadu
pada penderita
gawat darurat baik dalam situasi setiap hari maupun dalam situasi bencana
(KemenKes RI, 2006). Sistem ini merupakan pelayanan pasien gawat darurat mulai
dari tempat kejadian samapai pada sarana pelayanan kesehatan dengan berpedoman
pada respon cepat yang penekanannya pada time
saving is life and limb saving.
2) Pengembangan
Sumber Daya
Kesiapsiagaan sumber daya menurut
BNPB, 2015 pada masing-masing kementerian terkait meliputi: (1) Sarana, (2) Prasarana,
(3) Sumber daya manusia yang kompeten, dan (4) Tersedianya Standar Operasional
Prosedur (SOP) yang ditetapkan oleh masing-masing kementerian terkait. Sumber daya manusia (SDM) merupakan
faktor penting dalam suatu organisasi. Walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak,
namun dapat dikatakan sulit diatur, sangat komplek, namun yang paling penting adalah perlunya manajemen yang efektif
dari seorang manajer bencana (Shapiro, et al. 2013).
Tersedianya SDM
dalam jumlah yang cukup dengan mutu dan motivasi yang tinggi serta kemampuan
antar disiplin, antar profesi, maupun antar sektor akan menentukan keberhasilan
dalam penanganan keadaan gawat darurat (DepKes RI, 1999). SDM ini dapat dilihat
dari pengetahuan dan tingkat pendidikannya. Pengetahuan merupakan hasil dari
tahu setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.
Pengeinderaan terjadi melalui panca indera. Pengetahuan juga dapat diperoleh melalui
pendidikan, pengalaman diri sendiri, maupun pengalaman orang lain, media massa
maupun lingkungan (Notoatmojo, 2003).
3) Pengembangan
Subsistem Komunikasi
Sistem komunikasi pada penanggulangan
penderita gawat darurat didasari oleh time
saving is live in limb saving. Kasus kegawat daruratan sering terjadi pada
kehidupan sehari-hari maupun dalam kondisi bencana yang menimbulkan koban baik
individu maupun korban massal. Meningkatnya kasus kegawatdaruratan, perubahan
epidemiologi penyakit, serta kondisi geografis Indonesia yang berbentuk
kepulauan dengan sarana komunikasi dan transportasi yang berbeda-beda juga
melatar belakangi
pentingnya sistem komunikasi yang baik dalam penanggulangan penderita gawat
darurat.
Komunikasi
dalam pelayanan kasus gawat darurat sehari-hari memerlukan subsistem komunikasi
yang terdiri dari jaring penyampaian informasi, jaring koordinasi dan jaring
pelayanan gawat darurat yang seluruh kegiatannya berlangsung dalam satu sistem
terpadu. Jaring komunikasi adalah suatu komando untuk mengkomunikasikan
informasi dalam suatu kejadian bencana. Komunikasi tersebut diharapkan menjadi
penghubung antara semua fase penanganan gawat darurat sehari-hari maupun dalam
situasi bencana dengan tata cara komunikasinya yang singkat, jelas, dan benar (DepKes
RI, 2006).
4) Pengembangan
Subsistem Transportasi
Evakuasi dan
transportasi merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan gawat darurat
bencana. Dengan evakuasi dan transportasi yang baik dan tepat dapat membantu
penangnan penderita gawat darurat dengan baik. Evakuasi adalah transportasi
yang terutama ditujukan dari rumah sakit lapangan menuju ke rumah sakit rujukan
atau transportasi antar rumah sakit dikarenakan ada bencana yang terjadi pada
satu rumah sakit dimana pasien harus dievakuasi ke rumah sakit lain (DepKes RI,
2006).
Transportasi situasi bencana terbagi menjadi
dua jenis, yaitu transportasi
untuk penolong dan transportasi untuk korban bencana. Transportasi untuk
penolong dari tim setempat untuk memobilisasi semua kendaraan yang dimiliki
oleh instansi kesehatan setempat baik milik pemerintah maupun swasta agar
segera sampai di tempat terjadinya bencana. Transportasi untuk korban dengan
menggunakan ambulans yang ada (ambulans darat, laut, udara) ataupun sarana lain
yang diperlukan sesuai kebutuhan dalam situasi dan kondisi setempat (DepKes RI,
1999).
5) Latihan-latihan
gabungan
Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Bencana (SPGDB) perlu dilakukan evaluasi secara periodik.
Evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu saat terjadinya bencana. Namun, karena
bencana jarang terjadi maka evaluasi dilakukan saat latihan-latihan atau
simulasi bencana. Dengan demikian SPGDB sudah dapat ditingkatkan mutunya jauh
sebelum bencana terjadi (DepKes RI, 1999).
Simulasi dapat
digunakan untuk menguji sebuah
ketentuan-ketentuan baik berupa prosedur tetap (protap), petunjuk pelaksanaan
(juklak), maupun petunjuk teknis (juknis). Pengujian terhadap ketentuan
tersebut agar dapat diketahui apakah semua rancangan dapat diimplementasikan
pada kenyataan yang sebenarnya di lapangan (DepKes RI, 2006).
6) Kerjasama
lintas sektor
Kesiapsiagaan
terhadap bencana adalah aktivitas yang melibatkan multisektor secara berkesinambungan. Aktivitas
tersebut membentuk suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem nasional
yang bertanggungjawab dalam pengembangan perencanaan dan program pengelolaan
bencana.
c.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana meliputi
kemampuan kognitif, sikap (affektif),
dan psikomotor (skill) dalam
manajemen bencana (ICN, 2007). Pengetahuan perawat tentang penanggulangan
bencana sangat penting dalam persiapan penanggulangan bencana. Persiapan mampu
mendukung kompetensi perawat dalam manajemen bencana. Sikap (attitude) sangat mempengaruhi perawat
bencana terutama dalam memberikan pertolongan. Selain itu sikap dapat mendukung
kemauan perawat dalam meningkatkan pengetahuannya (Chan, 2010). Pengalaman
perawat sebagai relawan juga berpengaruh pada kesiapan menghadapi bencana.
Perawat yang mempunyai pengalaman sebagai relawan bencana lebih siap dan
memiliki respon yang lebih efektif untuk ditempatkan pada keadaan darurat atau
bencana (Zagelbaum, 2014).
Faktor
lain yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat adalah kesiapan institusi
kesehatan meliputi Puskesmas atau rumah sakit,
dukungan dalam peningkatan kompetensi perawat meliputi
pelatihan-pelatihan manajemen bencana, adanya kebijakan (guidelines) yang jelas sehingga perawat tidak disorientasi dalam
penangan bencana, dan sarana prasarana yang tersedia dalam manajemen bencana (Chapman, 2008). Perencanaan yang jelas
oleh institusi pelayanan kesehatan, koordinasi
antar instansi , dan pendidikan kompetensi yang berkelanjutan mempengaruhi
kesiapsiagaan perawat bencana.
Identifikasi faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat bermanfaat dalam
penyusunan program-program pemerintah yang berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan
bencana dan perawat memahami faktor-faktor yang perlu diperhatikan (Magnaye,
2011).
Peran
perawat dalam situasi bencana
The International
Council
of
Nurses ((ICN),
(2009)) menyatakan bahwa perawat menjalankan perannya di semua
kontinum manajemen bencana. Peran perawat yang paling nyata nampak selama fase
tanggap bencana, ketika perawat memprioritaskan membantu untuk mempertahankan
kehidupan dan pemeliharaan kesehatan.
Keperawatan
bencana membutuhkan penerapan pengetahuan keperawatan dan keterampilan dasar di
mana perawat bencana bekerja dalam
lingkungan yang sulit dengan sumber daya yang kurang. Perawat harus mampu
beradaptasi dengan melakukan praktik keperawatan dalam situasi bencana untuk
meminimalkan bahaya kesehatan dan kerusakan yang mengancam jiwa akibat bencana
(ICN, 2009).
Perawat harus dapat
bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya, para relawan bencana, lembaga
swadaya masyarakat dan pemerintah. Perawat harus mampu merubah fokus perawatan dari yang hanya merawat satu
pasien menjadi merawat pasien dalam jumlah besar (ICN, 2009).
Perawat memegang
peranan penting dalam kesiapsiagaan bencana melalui memberikan pendidikan
kepada masyarakat tentang bencana; membantu dalam mengurangi bahaya di tempat kerja, rumah dan
masyarakat; berkontribusi dalam pengembangan, implementasi dan evaluasi
kesiapan masyarakat terhadap bencana; berpartisipasi dalam/dan mengevaluasi
latihan bencana; berkoordinasi dan bekerja sama dengan organisasi masyarakat
(ICN, 2009).
Peran perawat
pada fase tanggap bencana adalah memberikan perawatan di berbagai area,
termasuk trauma, triase, perawatan darurat, perawatan akut, pertolongan
pertama, pengendalian infeksi, perawatan supportif
dan paliatif, serta kesehatan masyarakat. Perawat turut mengelola dampak fisik maupun
psikologis para korban bencana. Perawat membuat keputusan mengenai pendelegasian
perawatan kepada relawan dan tenaga kesehatan lainnya untuk memaksimalkan
sumber daya yang ada. Perawat juga berfungsi dalam peran kepemimpinan,
mengelola dan mengkoordinasikan perawatan kesehatan (ICN, 2009).
Peran perawat pada
fase pemulihan bencana adalah turut dalam pengelolaan ancaman kesehatan yang
berkelanjutan pada individu, keluarga dan masyarakat, serta kebutuhan perawatan
berkelanjutan bagi mereka yang mengalami cedera, penyakit, penyakit kronis dan
kecacatan. Peningkatan risiko pada kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak,
orang cacat, lanjut usia, akan menjadi lebih rentan terhadap penyakit mengancam
jiwa yang membutuhkan pemantauan keperawatan lebih lanjut (ICN, 2009).
Peran perawat
pada fase rekonstruksi dan rehabilitasi adalah berhubungan dengan koordinasi
pelayanan kesehatan di daerah yang terkena dampak, seperti manajemen kasus; identifikasi
dan pelaksanaan arahan yang tepat, termasuk sumber daya sosial sangat penting
karena masyarakat mulai kembali ke kegiatan seperti biasa. Peran lainnya
mencakup sebagai surveilans kesehatan masyarakat, skrining, dan pendidikan kepada
masyarakat (ICN, 2009).