Thursday, July 18, 2019

ASKEP GADAR PADA KLIEN TRAUMA THORAKS


ASKEP KLIEN DENGAN TRAUMA THORAKS
Ns. EDY SANTOSO, M.Kep

A.   Pengertian
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan (Suzanne & Smetzler, 2002)
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala-gejala umum dan rancu (Suzanne & Smetzler, 2002).

B.   Etiologi
Trauma dada dapat disebabkan oleh:
1.    Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada, penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan, penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.
2.    Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh vesikel flaksid yang terjadi sebagai sequele dari PPOM.
3.    Tusukan paru dengan prosedur invasif (mis. Pemasangan kateter vena sentral (CVP).
4.    Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
5.    Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)
6.    Fraktur tulang iga
7.    Tindakan medis (bedah thoraks)
8.    Pukulan daerah torak.

C.   Klasifikasi
Trauma dada diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1.    Trauma tajam
a.    Pneumothoraks terbuka  
b.    Hemothoraks
c.    Trauma tracheobronkial
d.    Contusio Paru
e.    Ruptur diafragma
f.     Trauma Mediastinal
2.    Trauma tumpul
a.    Tension pneumothoraks  
b.    Trauma tracheobronkhial
c.    Flail Chest
d.    Ruptur diafragma
e.    Trauma mediastinal
f.     Fraktur kosta

D.   Prognosis
1.    Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila luban ini lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea, maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak nafas yang hebat
2.    Tension Pneumothorak
Pneumothoraks merupakan penumpukan udara dalam rongga pleura sehingga timbul kolaps parsial atau total paru (Kowalak, 2003). Adanya udara di dalam cavum pleura mengakibatkan tension pneumothoraks. Apabila ada mekanisme ventil karena lubang pada paru maka udara akan semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga mengakibatkan:
a.    Paru sebelahnya akan terekan dengan akibat sesak yang berat
b.    Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
c.    Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangk
d.    Pada auskultasi bunyi vesikuler menurun.
3.    Hematothorak
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada perkusi terdengar redup, sedang vesikuler menurun pada auskultasi.
4.    Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu segmen dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk ke dalam yang dikenal dengan pernafasan paradoksal.
5.    Tamponade jantung
Luka tembus/tusuk jantung adalah penyebab kematian utama pada daerah perkotaan.Tamponade jarang terjadi akibat trauma tumpul.

E.   Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang sering muncul pada penderita trauma dada:
1.    Tamponade jantung:    
a.    Trauma tajam di daerah perikardium atau yang diperkirakan menembus jantung
b.    Gelisah.
c.    Pucat, keringat dingin.
d.    Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis).
e.    Pekak jantung melebar.
f.     Bunyi jantung melemah.
g.    Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure.
h.    ECG terdapat low voltage seluruh lead.
i.      Perikardiosentesis keluar darah.
2.    Hematotoraks:
a.    Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD
b.    Gangguan pernapasan.
3.    Pneumothoraks:
a.    Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
b.    Gagal pernapasan dengan sianosis.
c.    Kolaps sirkulasi.
d.    Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas yang terdengar jauh atau tidak terdengar sama sekali.
e.    Pada auskultasi terdengar bunyi klik (Ovedoff, 2002).

F.    Pemeriksaan diagnostic
1.    Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola dari trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan dari kendaraan yang ditumpangi, kerusakan stir mobil /air bag dan lain lain.
2.    Radiologi: Foto Thorax (AP)
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien dengan trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan dengan hasil pemeriksaan foto toraks. Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto toraks.
3.    Gas Darah Arteri (GDA) dan Ph
Gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasien-pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigen dalam darah, serta kadar karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan ASTRUP, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri. Lokasi pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis.
4.    CT-Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul toraks, seperti fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi. Adanya retro sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis dapat diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum pada pemeriksaan toraks foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini sebelum dilakukan Aortografi.
5.    Ekhokardiografi 
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan diagnosa adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium, cedera pada esophagus dan aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung ataupun sekat serta katub jantung dapat diketahui segera. Pemeriksaan ini bila dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya meliputi 90% dan spesifitasnya hampir 96%.
6.    EKG (Elektrokardiografi)
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang terjadi akibat trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma. Adanya abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi, tachiaritmia semuanya dapat menunjukkan kemungkinan adanya kontusi jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia, gangguan elektrolit, hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti kontusi jantung. Angiografi Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan adanya cedera aorta pada trauma tumpul toraks.
7.    Hb (Hemoglobin)
Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen jaringan tubuh.

G.   Penatalaksanaan
1.    Gawat Darurat/Pertolongan Pertama
Klien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian maupun di unit gawat darurat (UGD) pelayanan rumah sakit dan sejenisnya harus mendapatkan tindakan yang tanggap darurat dengan memperhatikan prinsip kegawatdaruratan.
Penanganan yang diberikan harus sistematis sesuai dengan keadaan masing-masing klien secara spesifik.Bantuan oksigenisasi penting dilakukan untuk mempertahankan saturasi oksigen klien. Jika ditemui dengan kondisi kesadaran yang mengalami penurunan/tidak sadar maka tindakan tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan memperhatikan:
a.    Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Air-Way)
Klien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan pada jalan napas. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk Pada mulut korban. Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala topang dagu (Head tild – chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula (Jaw Thrust Manuver)
b.    Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Usaha Napas (Breathing)
Kondisi pernapasan dapat diperiksa dengan melakukan tekhnik melihat gerakan dinding dada, mendengar suara napas, dan merasakan hembusan napas klien (Look, Listen, and Feel), biasanya tekhnik ini dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu.Bantuan napas diberikan sesuai dengan indikasi yang ditemui dari hasil pemeriksaan dan dengan menggunakan metode serta fasilitas yang sesuai dengan kondisi klien.
c.    Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Siskulasi (Circulation)
Pemeriksaan sirkulasi mencakup kondisi denyut nadi, bunyi jantung, tekanan darah, vaskularisasi perifer, serta kondisi perdarahan. Klien dengan trauma dada kadang mengalami kondisi perdarahan aktif, baik yang diakibatkan oleh luka tembus akibat trauma benda tajam maupun yang diakibatkan oleh kondisi fraktur tulang terbuka dan tertutup yang mengenai/melukai pembuluh darah atau organ (multiple). Tindakan menghentikan perdarahan diberikan dengan metode yang sesuai mulai dari penekanan hingga penjahitan luka, pembuluh darah, hingga prosedur operatif.
Jika diperlukan pemberian RJP (Resusitasi Jantung Paru) pada penderita trauma dada, maka tindakan harus diberikan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan atau meminimalisir kompilkasi dari RJP seperti fraktur tulang kosta dan sebagainya.
d.    Tindakan Kolaboratif
Pemberian tindakan kolaboratif biasanya dilakukan dengan jenis dan waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing klien yang mengalami trauma dada. Adapun tindakan yang biasa diberikan yaitu pemberian terapi obat emergensi, resusitasi cairan dan elektrolit, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium darah Vena dan AGD, hingga tindakan operatif yang bersifat darurat.
2.    Konservatif
a.    Pemberian Analgetik
Pada tahap ini terapi analgetik yang diberikan merupakan kelanjutan dari pemberian sebelumnya.Rasa nyeri yang menetap akibat cedera jaringan paska trauma harus tetap diberikan penanganan manajemen nyeri dengan tujuan menghindari terjadinya Syok seperti Syok Kardiogenik yang sangat berbahaya pada penderita dengan trauma yang mengenai bagian organ jantung.
b.    Pemasangan Plak/Plester
Pada kondisi jaringan yang mengalami perlukaan memerlukan perawatan luka dan tindakan penutupan untuk menghindari masuknya mikroorganisme pathogen.
c.    Jika Perlu Antibiotika
Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan kultur. Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan penyakit gawat, maka penderita dapat diberi “broad spectrum antibiotic”, misalnya Ampisillin dengan dosis 500 mg 4 x sehari.
d.    Fisiotherapy
Pemberian fisiotherapy sebaiknya diberikan secara kolaboratif jika penderita memiliki indikasi akan kebutuhan tindakan fisiotherapy yang sesuai dengan kebutuhan dan program pengobatan konservatif.
e.    Open Pneumothorak
Usaha pertama jika open pneumothorad adalah menutup lubang pada dinding dada ini sehingga open pneumothorax menjadi closed pneumothrax (tertutup). Prinsip penutupan bersih. Harus segera ditambahkan bahwa apabila selain lubang pada dinding dada, juga ada lubang pada paru, maka usaha menutuo lubang ini secara total (occlusive dressing) dapat mengkibatkan terjadinya tension pneumothorax.
Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah:
1)    Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plaster pada 3 sisinya, sedangkan pada sisi yang atas dibiarkan terbuka (kasa harus dilapisi zalf/soffratule pada sisi dalamnya supaya kedap udara).
2)    Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila dilakukan cara ini maka harus sering dievaluasi paru. Apabila ternyata timbul pada tension pneumothorax maka kasa harus dibuka,
3)    Pada luka yang besar dapat dipakai plastik infus yang digunting sesuai ukuran.
f.     Tension Pneumothorax
Penatalaksanaan tension pneumothorax adalah dengan dekompresi “needle thoracosintesis”, yakni menusuk dengan jarum besar pada ruang interncostal 2 pada garis midclavicularis. Terapi definitif dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 diantara garis axillaris dan misaxillaris.
g.    Hemathorax Masif
Jika klien mengalami hematothorax masif harus segera dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan operatif. Terapi awal yang harus dilakukan adalah penggantian volume darah yang dilakukan bersama dengan dekompresi rongga pleura dan kebutuhan thorakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah awal lebih dari 1500 ml atau kehilangan darah terus menerus 200 cc/jam dalam waktu 2-4 jam.
h.    Flaill Chest
Terapi awal meliputi pemberian oksigen yang adekuat, pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri resusitasi cairan. Sesak nafas berat akibat kerusakan perenkim paru mungkin harus dilakukan ventilasi tambahan. Di rumah sakit akan dipasang respirator apabila analisis gas darah menujukkan pO2 yang rendah atau pCO2 yang tinggi.
i.      Tamponade Jantung
Pemasangan CVP dan USG abdomen dapat dilakukan pada penderita temponade jantung tetapi tidak boleh menghambat untuk dilakukannya resusitasi. Metode yang cepat untuk menyelamatkan penderita ini adalah dilakukan pericardiosintesis (penusukan rongga perikardium) dengan jarum besar untuk mengeluarkan darah tersebut. Tindakan definitif adalah dilakukan perikardiotomi yang dilakukan oleh ahli bedah.
3.    Invasif / Operatif
a.    WSD (Water Seal Drainage)
WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung. 
b.    Ventilator
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama (Brunner dan Suddarth, 2002).

H.   Komplikasi
1.    Surgical Emfisema Subcutis
Kerusakan pada paru dan pleura oleh ujung patahan iga yang tajam memungkinkan keluarnya udara ke dalam cavitas pleura dari jaringan dinding dada, paru.Tanda-tanda khas: penmbengkakan kaki, krepitasi.
2.    Cedera Vaskuler
Di antaranya adalah cedera pada perikardium dapat membuat kantong tertutup sehingga menyulitkan jantung untuk mengembang dan menampung darah vena yang kembali. Pembulu vena leher akan mengembung dan denyut nadi cepat serta lemah yang akhirnya membawa kematian akibat penekanan pada jantung.  
3.    Pneumothorak
Adanya udara dalam kavum pleura. Begitu udara masuk ke dalam tapi keluar lagi sehingga volume pneumothorak meningkat dan mendorong mediastinim menekan paru sisi lain.
4.    Pleura Effusion
Adanya udara, cairan, darah dalam kavum pleura, sama dengan efusi pleura yaitu sesak nafas pada waktu bergerak atau istirahat tetapi nyeri dada lebih mencolok. Bila kejadian mendadak maka pasien akan syok. Akibat adanya cairan udara dan darah yang berlebihan dalam rongga pleura maka terjadi tanda-tanda:
a.    Dypsnea sewaktu bergerak/kalau efusinya luas pada waktu istirahatpun bisa terjadi dypsnea.
b.    Sedikit nyeri pada dada ketika bernafas.
c.    Gerakan pada sisi yang sakit sedikit berkurang.
d.    Dapat terjadi pyrexia (peningkatan suhu badan di atas normal).
5.    Flail Chest
Pada trauma yang hebat dapat terjadi multiple fraktur iga dan bagian tersebut. Pada saat insprirasi bagian tersebut masuk sedangkan saat ekspirasi keluar, ini menunjukan adanya paroxicqalmution (gerakan pernafasan yang berlawanan)
6.    Hemopneumothoraks
Yaitu penimbunan udara dan darah pada kavum pleura.

I.        Asuhan Keperawatan
1.    Pengkajian Primer
a.    AIRWAY
Trauma laring dapat bersamaan dengan trauma thorax. Walaupun gejala klinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena trauma laring merupakan cidera laring yang mengancam nyawa. Trauma pada dada bagian atas, dapat menyebabkan dislokasi ke area posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoclavicular. Penanganan trauma ini dapat menyebabkan sumbatan airway atas. Trauma ini diketahui apabila ada sumbatan napas atas (stridor), adanya tanda perubahan kualitas suara dan trauma yang luas pada daerah leher akan menyebabkan terabanya defek pada regio sendi sternoclavikula. penanganan trauma ini paling baik dengan reposisi tertutup fraktur dan jika perlu dengan intubasi endotracheal.
b.    BREATHING
Dada dan leher penderita harus terbuka selama dilakukan penilaian breathing dan vena-vena leher. Pergerakan pernapasan dan kualitas pernapasan pernapasan dinilai dengan diobservasi, palpasi dan didengarkan. Gejala yang terpenting dari trauma thorax adalah hipoksia termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernapasan, terutama pernapasan yang dengan lambat memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita. Jenis trauma yang mempengaruhi breathing harus dikenal dan diketahui selama primary survey.
c.    CIRCULATION
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan keteraturannya. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperatur. Adnya tanda-tanda syok dapat disebebkan oleh hematothorax masif maupun tension pneumothorax. Penderita trauma thorax didaerah sternum yang menunjukkan adanya disritmia harus dicurigai adanya trauma miokard.
2.    Pengkajian Sekunder – Pemeriksaan Head to Toe sesuai dengan pengkajian gawat darurat
a.    Riwayat
1)    Pneumothoraks:
-     Kemungkinan asimptomatik (pada pneumothoraks kecil)
-     Nyeri dada pleuritik yang tajam dan mendadak
-     Nyeri yang memburuk akibat pergerakan dada, bernafas, dan batuk
-     Nafas pendek
2)    Hemotoraks:
-     Baru mengalami trauma
-     Baru menjalanim pembedahan thoraks
-     Penyakit metastasis
b.    Temuan pemeriksaan fisik
1)    Pneumotoraks:
-     Gerakan dinding dada asimetris
-     Overekspansi dan kekakuan pada area yang terkena
-     Kemungkinan sianosis
-     Emfisema subkutan
-     Hiperesonans pada area yang terkena
-     Penurunan atau tidak ada suara nafas pada sisi yang terkena
-     Penurunan taktil fremitus pada area yang terkena.
2)    Hemotoraks:
-    Takipnea, warna kulit gelap
-    Diaphoresis
-    Hemoptysis
-    Gelisah
-    Ansietas
-    Sianosis
-    Stupor
-    Bagian yang terkena dapat meluas dan kaku
-    Bagian yang tidak terkena dapat meluas ketika nafas terengah-engah
-    Bunyi redup pada bagian yang terkena
-    Penurunan atau tidak adanya suara nafas pada bagian yang terkena
-    Gejala terkait dengan trauma tumpul takikardia
-    Hipotensi.
c.    Pemeriksaan diagnostic
1)    Laboratorium
a)    Pneumotoraks: analisis gas darah arteri menunjukkan hipksemia (normal: 75 – 100 mmHg)
b)    Hemotoraks:
-       Analisis cairan pleura menunjukkan hematocrit serum >50% (normal: pria 40 – 50%, wanita 35 – 46%)
-       Analisa gas darah arteri menunjukkan peningkatan parsial  karbondioksida dan penurunan tekanan parsial oksigen
-       Kadar hemoglobin serum dapat mengalami penurunan (normal: pria 13,5 – 18g/dL; wanita 12 – 16g/dL) tergantung pada darah yang hilang.
2)    Pencitraan
-       Pneumotoraks: foto thoraks menunjukkan udara di rongga pleura dan kemungkinan pergeseran mediastinum
-       Hemotoraks: foto thoraks dan CT-scan toraks menunjukkan adanya hemotoraks dan perluasannya serta membantu evaluasi terapi.
3)    Prosedur diagnostic
-       Pneumotoraks: Oksimetri nadi menunjukkan penurunan saturasi oksigen
-       Hemotoraks: Torakosentesis menunjukkan adanya darah atau cairan serosanguinosa.

3.    Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnose Keperawatan
NANDA
Hasil yang dicapai
(NOC)
Intervensi
(NIC)
Pola nafas takefektif b.d kerusakan musculoskeletal; Nyeri-ansietas
Status pernafasan: Ventilasi
-    Menetapkan pola nafas yang normal dan efektif dengan ABG dalam kisaran normal
-    Terbebas dari sianosis dan tanda atau gejala hipksia lain.
Pemantauan pernafasan
-     Identifikasi etiologi atau factor presipitasi, seperti kolaps spontan, trauma, keganasan, infeksi, dan komplikasi ventilasi mekanis
-     Evaluasi fungsi pernafasan, perhatikan pernafasan cepat atau dangkal, dyspnea, laporan “lapar udara”, terjadinya sianosis, dan perubahan tanda vital.
-     Pantau pola nafas yang tidak singkron ketika menggunakan ventilator mekanis. Perhatikan perubahan dalam tekanan jalan nafas.
-     Auskultasi suara nafas
-     Catat ekskursi dada dan posisi trachea.
-     Kaji fremitus

Bantuan ventilasi
-     Bantu klien membebat area nyeri saat batuk selama nafas dalam
-     Pertahankan posisi yang nyaman, terutama dengan kepala tempat tidur ditinggikan. Pindah ke posisi yang terganggu. Dorong klien untuk duduk tegak sebanyak mungkin
-     Pertahankan sikap tenang, bantu klien untuk “melaksanakan control” dengan menggunakan pernafasan yang lebih lambat dan lebih dalam.

Perawatan slang: dada
-     Pastikan tipe system drainase pada klien
-     Setelah selang dada dimasukkan: tentukan apakah digunakan drain dada yang disekat dengan kering ataukah digunakan system yang disekat air
-     Jika system sekat air digunakan: periksa ruang control penghisap atau jumlah isapan yang benar, sebagai mana ditentukan oleh tinggi air, dinding atau meja regulator di tatanan yan g benar
-     Periksa ketinggian air di dalam ruangan yang disekat air, pertahankan pada ketinggian yang diprogramkan
-     Observasi gelembung udara di dalam ruang yang disekat air
-     Evaluasi gelembung udara di ruang yang disekat air yang tidak normal atau kontinyu
-     Tentukan lokasi kebocoran udara (berpusat pada klien atau system) dengan mengklem toraks, kateter tepat di bagian distal dari pintu keluar dari dada
-     Klem slang secara bertahap ke bawah ke arah unit drainase jika kebocoran udara terus terjadi
-     Segel koneksi slang drainase dengan aman dengan plester yang cukup panjang atau pita sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
-     Pantau ruang “tidaling” yang disekat air. Catat apakah perubahan bersifat transien (sementara) atau permanen
-     Posisikan slang system drainase untuk fungsi yang optimal; misalnya memperpendek slang atau membelitkan panjang slang yang berlebihkan pada tempat tidur, pastikan selang tidak tertekuk atau tergantung lebih rendah dari point masuk ke wadah drainase. Alirkan cairan yang terakumulasi sesuai kebutuhan
-     Catat karakter dan jumlah drainase slang dada, apakah slang hangat dan penuh darah dan apakah rtingkat cairan darah dalam botol yang disekat air meningkat atau tidak
-     Evaluasi kebutuhan untuk “memerah” slang dada dengan lembut sesuai protocol.
-     Jika kateter toraks dengan slang terlepas atau tercabut: pantau tanda distress pernafasan.
-     Bantu dan persiapkan prosedur pengembangan kembali “reinflasi’; misalnya aspirasi sederhana, katup himlich dan penempatan slang dada dengan unitdrainase slang dada (chest tube drainage unit, CDU).
-     Lakukan foto ronsen dan tinjau serial foto ronsen dada setelah penempatan slang.

Bantuan ventilasi:
-     Pantau dan buat grafik seri GDA dan Oksimetri nadi. Tinjau kapasitas vital dan pengukuran volume tidal, jika diindikasikan.
-     Beri oksigen tambahan via kanula, masker, atau ventilasi mekanik, sesuai indikasi.
-     Beri analgesic dan sedative, sesuai indikasi.
Risiko asfiksi
Factor risiko:
-     Kurang poengetahuan mengenai ketidakwaspadaan keamanan
-     Proses penyakit atau cedera (bergantung pada alat skternal (system drainase dada)
Control Risiko:
Mengenali kebutuhan untuk mendapat dan mencari bantuan guna mencegah komplikasi.
Penyuluhan: prosedur/terapi
-     Tinjau bersama klien mengenai tujuan dan fungsi CDU, catat karakter keamanan
-     Instrusikan klien untuk tidak menindih atau menariok slang
-     Identifikasikan perubahan dan situasi yang harus dilaporkan ke pemberi asuhan, seperti perubahan suara gelembung, “lapar udara” mendadak dan nyeri dada, serta terlepasnya sambungan/koneksi peralatan.

Perawatan slang: dada
-     Hubungkan kateter toraks ke dinding dada dan berikan panjang slang ekstra sebelum memindahkan atau menggerakkan klien.
-     Fiksasi tempat koneksi slang
-     Beri bantalan dengan kasa atau plester
-     Fiksasi unit drainase ke tempat tidur klien atau pada tiang infus atau kereta yang diletakkan di area yang tidak banyak dilalui orang
-     Beri transportasi aman jika klien akan mengirim unit untuk tujuan diagnostic. Sebelum memindahkan, periksa ruang yang disekat air untuk ketinggian cairan yang tepat; dan keberadaan, derajat, serta waktu tidaling. Pastikan apakah slang dada dapat diklem atau dilepaskan sambungannya dari sumber penghisap
-     Pantau tempat insersi thoraks, terhatikan kondisi kulit dan keberadaan serta karakteristik drainase dari sekeliling kateter. Ganti dan pasang kembali balutan oklusif sesuai kebutuhan
-     Pantau tanda-tanda distress nafas jika kateter toraks terlepas atau tercabut.
Risiko infeksi
Faktor risiko:
·         Penurunan kerja silia, statis cairan tubuh
·         Trauma jaringan, kulit robek, prosedur invasif
Keparahan infeksi
-       Mempertahankan normotermia, terbebas dari tanda-tanda infeksi
-       Mencapai pemulihan luka tepat waktu
Perlindungan dari infeksi:
-       Beri perawatan yang cermat, bersih, atau aseptic. Pertahankan mencuci tangan dengan baik
-       Pantau area kerusakan integritas kulit (luka, garis jahitan, tempat insersi selang invasive), perhatikan karakteristik drainase dan keberadaan inflamasi.
-       Pantau suhu secara rutin. Perhatikan terjadinya menggigil, diaphoresis, dan perubahan mental.
-       Dorong pernafasan dalam dan pengeluaran pulmonal yang agresif. Pantau karakteristik sputum
-       Dorong asupan cairan yang adekuat
-       Pantau warna dan kejernihan urine. Catat keberadaan bau urine yang tidak sedap.
-       Batasi pengunjung
Kolaboratif:
-       Beri antibiotic yang sesuai
-       Ambil specimen sesuai indikasi.
Nyeri akut b.d Agen pencedera fisik (mis. amputasi, terpotong, prosedur operasi, trauma)
·        Pain Level,
·        pain control,
·        comfort level
    Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
    Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
    Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
    Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
    Tanda vital dalam rentang normal
    Tidak mengalami gangguan tidur

Pain Management
-     Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
-     Observasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan
-     Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
-     Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
-     Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
-     Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa Iampau
-     Bantu pasierl dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
-     Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
-     Kurangi faktor presipitasi nyeri
-     Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
-     Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
-     Ajarkan tentang teknik non farmakologi: relaksasi, distraksi, kompres panas/dingin
-     Berikan anaIgetik untuk mengurangi nyeri
-     Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
-     Tingkatkan istirahat
-     Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
-     Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration
-     Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
-     Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
-     Cek riwayat alergi
-     Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
-     Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
-     Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
-     Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
-     Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
-     Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
-     Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala



Referensi:
Brooker, C. (2001). Kamus Saku Keperawatan. Jakarta: EGC

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC). 6th Ed. United Kingdom: Elsevier

Dosen Keperawatan Medikal Bedah. (2017). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Diagnosa NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC

Krisanti P., Manurung S., Suratun., Wartonah., Sumartini., Dalami E., Rohimah., Setiawati S. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info Media

Kowalak, J (2003). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. United Kingdom: Elsevier

NANDA International. (2015). Nursing Diagnoses. Definitions and Classification 2015 – 2017. 10th Ed.: WILEY Blackwell

Ovedoff David. (2002). Kapita Selekta Kedokteran edisi revisi. Jakarta: Binerupa Aksara

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh AgungWaluyo...(dkk), EGC, Jakarta