Saturday, June 27, 2020

Asuhan Keperawatan Klien dengan SLE


ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
SISTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE)
Ns. EDY SANTOSO, M.Kep

A.   Konsep Penyakit
1.     Pengertian
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang disebabkan oleh banyak factor (Isenberg & Horsfall, 1998) dan dikarakteristikan oleh adanya gangguan disregulasi system imun berupa peningkatan system imun dan prodksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).


2.     Epidemiologi
SLE lebih banya terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda-beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 pupolasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian  sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

3.     Etiologi
Menurut (Hikmah & Rendi, 2018) penyebab SLE dibagi menjadi 2 faktor, antara lain:
a.    Faktor Genetik
Jumlah, usia, dan usia anggota keluarga yang menderita penyakit autoimun menentukan frekuensi autoimun pada keluarga tersebut. Pengaruh riwayat keluarga terhadap terjadinya SLE pada individu tergolong rendah, yaitu 3-18%.Faktor genetikdapat mempengaruhi keparahan penyakit dan hubungan familial ini ditemukan lebih besar pada kelaurga dengan kondisi sosial ekonomi yang tinggi.
b.    Faktor Lingkungan
1)    Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE antara lain: Hormon, Hormon estrogen dapat merangsang sistem imun tubuh dan SLE sering terjadi pada perempuan dan terjadi pasa usia reproduktif dimana terdapat kadar estrogen yang tinggi.
2)    Obat-obatan, beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun melalui mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat memiliki struktur yang sama dengan molekul di dalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan toleransi imun.
3)    Infeksi, infeksi dapat memicu respon imun dan pelepasan isi sel yang rusak akibat infeksi dan dapat meningkatkan respon imun sehingga menyebabkan penyakit autoimun.
4)    Paparan sinar ultraviolet, adanya paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel kulit dan berkaitan dengan fotosensitivitas pada SLE.

4.    Tanda dan Gejala
Menurut Sharon Moore (2013) gejala umum pada penderita lupus meliputi:
a.    Kelelahan
b.    Rasa nyeri, sebagian besar penderita lupus terkena flu dan radang sendi (artritis) pada saat yang sama dan mengalami sakit disertai nyeri hebat pada lokasi tertentu
c.    Ruam-ruam, penderita lupus mengalami bermacam jenis ruam yang paling umum adalah ruam kupu-kupu, yang juga disebut ruam malar, ruam tersebut terasa panas, gatal, dan berdarah kalau dibiarkan
d.    Rambut rontok
e.    Demam
f.     Nyeri dada, Rasa nyeri hebat yang disebabkan peradangan pada lapisan jantung dan paru-paru adalah gejala tipikal lupus
g.    Tangan dan kaki dingin, Sebagian besar tangan dan kaki penderita lupus tidak pernah hangat atau yang disebut sindrom Raynaudyaitu ujung-ujung jari tangan dan kaki berubah menjadi biru kalau dingin
h.    Kemarahan premenstruasi
i.      Mata kering & mulut kering, banyak penderita lupus mengalami sindrom Sjogren, yang terjadi ketika zat-zat autoantibodi menyerang kelenjar yang memproduksi air liurdan cairan yang melumasi mata
j.      Mudah luka, pada penderita lupus jumlah platelet darah menurun karena terserang zat-zat antibodi sendiri
k.    Edema, bengkak di sekitar mata, engkel, atau kaki bisa menjadi tanda penyakit lupus
l.      Depresi.
Menurut Pusdatin (2017) menjelaskan bahwa gejala lupus tanpa melihat jenis kelamin, meliputi: Keletihan; sakit kepala; nyeri atau bengkak sendi; demam; anemia; nyeri dada ketika menarik nafas panjang; ruam kemerahan pada pipi hingga hidung, polanya seperti kupu-kupu; sensitive terhadap cahaya atau cahaya matahari; rambut rontok sampai kebotakan; perdarahan yang tidak biasa; jari-jari berubah kebiruan ketika dingin; sariawan dimulut atau koreng dihidung.

5.     Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu:
a.    Ruam malar: eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
b.    Ruam diskoid: bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
c.    Fotosensitivitas: terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.
d.    Ulserasi mulut: ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
e.    Artritis: artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.
f.     Serositis
1)    Pleuritis: adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.
2)    Perikarditis: diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.
g.    Kelainan ginjal
1)    Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
2)    Ditemukan  eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
h.    Kelainan neurologis: kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
i.      Kelainan hematologik: anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3),  atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.
j.      Kelainan imunologik: anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid
k.    Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat   dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).

6.     Tingkat Keparahan Lupus
Menurut Wicaksono (2012) Tingkat keparahan penyakit lupus berat yang mengenai organ vital dalam tubuh seperti:
a.    Jantung, meliputi Endokarditis Libman-Sacks, Vaskulitis Arteri Koronaria, Miokariditis, Tamponade Jantung, Hipertensi, Maligna.
b.    Paru-paru, meliputi Hipertensi Pulmonal, Perdarahan Paru, Pneumonitis, Emboli Paru, Infark Paru, Ibrosis Interstisial, Shrinking Lung.
c.    Ginjal, meliputi Nefritis Proliferatifatau Membranous
d.    Neurologi, meliputi Kejang, Acute Confusional State, Koma, Stroke, Mielopati Transversa, Mononeuritis, Polineuritis, Neuritis Optik, Psikosis, Sindroma Demielinasi.
e.    Hematologi, meliputi Anemia Hemolitik, Neutropenia (Leukosit<1.000/mm3), Trombositopenia< 20.000/mm3, Purpura Tromnotik Trombositopenia, Trombosis Venaatau Arteri.

7.     Jenis-jenis Lupus
Menurut (Pusdatin, 2017) Jenis-jenis lupus dibagi menjadi beberapa tipe antara lain:
a.    Lupus erythematosus systemic (Systemic Lupus Erythematosus(SLE)) SLE dapat menyerang jaringan atau bagian tubuh mana saja dengan tingkat gejala yang ringan sampai parah.Gejala SLE dapat datang dengan tiba-tiba atau datang secara perlahan-lahan dapat bertahan lama atau bersifat sementara sebelum akhirnya kambuh lagi.Gejala ringan SLE terutama rasa nyeri dan lelah berkepanjangan yang dapat menghambat aktifitas sehari-hari.sehingga para penderita SLE dapat merasa tertekan, depresi, cemas meski hanya mengalami gejala ringan.SLE belum dapat disembuhkan, tujuan pengobatan adalah untuk mendapatkan remisi panjang dan mengurangi tingkat gejala serta mencegah kerusakan organ pada penderita SLE.
b.    Lupus Erytematosus Kutaneus (Cutaneus Lupus Erythematosus(CLE)) CLE dapat dikenali dari ruam yang muncul pada kulit dengan berbagai tampilan klinis.Pada lupus jenis ini dapat didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan penunjang biopsipada ruam.Pada gambaran biopsiterlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dan endapan komplek imun pada batas dermoepidermal yang dikenal dengan lupus band.
c.    Lupus Imbas Obat. Efek samping obat berbeda-beda setiap orang.Terdapat 100 jenis obat yang dapat menyebabkan efek samping yang mirip dengan gejala lupus pada orang-orang tertentu. Gejala lupus akibat obat umumnya akan hilang jika berhenti mengkonsumsi obat tersebut sehingga tidak perlu menjalani pengobatan khusus. Tetapi perlu diperhatikan untuk berkonsultasi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berhenti mnegkonsumsi obat.
d.    Sindroma Overlap, Undifferentiated Conective Tissue Disease dan Mixed Conective Tissue Disease. Pada sebagian penderita LES ditemukan juga manifestasi klinis lain yang memenuhi kriteria diagnostic penyakit autoimun lain seperti artritis rheumatoid, scleroderma, atau myositis.

8.     Manifestasi Klinis SLE
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi:
Pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar, 2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia   atau   trombositopenia,   maka   dapat   terjadi     perdarahan.
Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).
Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).

9.     Patifisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu    cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun  (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

10.  Data Laboratorium
a.    Anti ds-DNA
Batas normal   : 70 – 200 IU/mL
Negatif              : < 70 IU/mL
Positif                :  > 200 IU/m
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat  dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002)
b.    Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal: nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil  tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan  tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
c.    Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

11.  Komplikasi
Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain. Pada tipe menahun dimana terdapat remisi dan eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisik/psikis.
Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol adalah demam kadang-kadang disertai menggigil, kerusakan organ internal.

12.  Penatalaksanaan Terapi
a.    Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen (advil & motrin), naproxen, naprosyn (aleve), clinoril, feldene, voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada otot-otot, sendi-sendi, dan jaringan-jaringan lain.
b.    Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison, prednisolone, medrol, deltasone, cortison dapat mengurangi peradangan dan memugarkan kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids terutama berguna ketika organ-organ internal terlibat. Corticosteroids dapat diberikan secara oral, disuntikkan langsung kedalam sendi-sendi dan jaringan-jaringan lain, atau dimasukkan melalui urat nadi (intravenously). Sayangnya, corticosteroids mempunyai efek-efek sampingan yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang panjang, termasuk penambahan berat badan, penipisan dari tulang-tulang dan kulit, infeksi, diabetes, muka yang bengkak, katarak, dan kematian (necrosis) dari sendi-sendi besar.
c.    Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang sakit, luka kulit dan borok di dalam hidung atau mulut, dan gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti malaria yang sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek sampingannya meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan pigmen mata. Perubahan-perubahan pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan (monitoring), dan mengurangi secara signifikan frekuensi dari gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien dengan SLE sistemik.
d.    Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop over aktifitas sistem kekebalan dan juga membantu membatasi kerusakan yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus bukan sejenis cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas digunakan untuk merawat pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari SLE dengan kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat peneken kekebalan termasuk methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat-obat peneken kekebalan dapat menekan secara serius jumlah sel darah dan meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan. Efek-efek sampingan lainnya adalah khas untuk setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sedangkan Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.
e.    Penelitian baru-baru ini mengindikasikan keuntungan-keuntungan dari rituximab (Rituxan) dalam merawat lupus. Rituximab adalah suatu antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang menekan suatu sel darah putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi jumlahnya didalam sirkulasi. Sel-sel B telah ditemukan memainkan suatu peran pusat pada aktivitas lupus, dan ketika mereka ditekan, penyakitnya cenderung menuju remisi.
f.     Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu makalah yang disajikan menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat membantu pasien-pasien lupus dengan mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan mengurangi risiko penyakit jantung.
Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus
Tidak ada obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi pasien SLE. Harus memperhatikan faktor alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan mempelajari hubungan antara masa kambuh dan hormon estrogen atau pil KB. Pasien terutama harus berhati-hati pada obat-obatan antibiotik sulfa (Bactrim, gantrisin, septra) sering diberikan pada orang yang mengalami gangguan infeksi pada saluran kencing, dan dapat menambah kepekaan penderita lupus terhadap sinar matahari, mengakibatkan rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti kambuhnya penyakit.

13.  Penatalaksanaan Lain
Penatalaksanaan penderita lupus adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien lupus dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitassehari-hari. Tatalaksana umum yang harus dilakukan menurut Pusdatin (2017) antara lain:
a.    Hindari aktifitas fisik yang berlebih
b.    Hindari merokok
c.    Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi inflamasi
d.    Hindari stress dan trauma fisik
e.    Diet khusus sesuai organ yang terkena
f.     Hindari pajanan sinar matahari secara langsung, khususnya UV pada jam 10.00 sampai jam 15.00
g.    Gunakan pakaian tertutup dan gunakan tabir surya minimal SPF 30PA++ sebelum keluar rumah
h.    Hindari pajanan lampu UV
i.      Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat yang mengandung hormone estrogen
j.      Kontrol obat secara teratur
k.    Minum obat tepat waktu dan teratur

B.   Asuhan Keperawatan
1.     Pengkajian (Gordon)
a.    Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan
Klien baru pergi ke RS setelah demam yang dirasakannya tidak hilang sudah semenjak 1 bulan yang lalu. Hal ini bisa terjadi karena klien tdak mengetahui tentang penyakitnya sehingga klien merasa kalau dia hanya demam biasa dan tidak perlu berobat ke RS.            
b.    Pola nutrisi metabolic
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya samapi beberapa kg, penyakit ini diseratai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
c.    Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial, namun secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
d.    Pola aktivas latihan
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan sering mengalami nyeri pada persendian nya.
e.    Pola istirahat tidur
Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri yang dirasakannya.
f.     Pola kognitif persepsi
Pada penderita SLE, Daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik. Pada sistem neurologis, penderita bisa mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
g.    Pola persepsi diri dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
h.    Pola peran hubungan
Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan yang biasa dilakukan selama sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit pasien tidak dapat melakukan perannya sehari-hari dengan baik.
i.      Pola reproduksi dan seksualitas
Biasanya penderita LES tidak mengalami gangguan dalam pola seksual reproduksi.
j.      Pola koping dan toleransi stress
Biasanya klien merasa depresi dengan penyakitnya dan juga stress karena nyeri yang dihadapi. Untuk menghadapi semua ini klien perlu selalu diberi dukungan oleh keluarga dan tetangganya sehingga klien semangat untuk sembuh.
Klien juga diberi obat-obatan seperti Dexametazon yang berfungsi untuk mengobati pegal linu, peradangan sendi dan juga memperbaiki imunitas. Klien juga diberi obat Piroksikam untuk obat anti inflamasi yang dapat mengatasi nyeri karena peradangan.
k.    Pola nilai dan kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan dan nyeri sendi.    


2.     Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
a.     Nyeri akut/kronis
b.     Gangguan integritas kulit
c.      Gangguan citra tubuh
d.     Koping tidak efektif
e.     Nausea
f.       Harga diri rendah
g.     Risiko Infeksi