ASUHAN
KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
SISTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE)
Ns.
EDY SANTOSO, M.Kep
A. Konsep Penyakit
1. Pengertian
Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem
yang disebabkan oleh banyak factor (Isenberg & Horsfall, 1998) dan
dikarakteristikan oleh adanya gangguan disregulasi system imun berupa
peningkatan system imun dan prodksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).

2. Epidemiologi
SLE
lebih banya terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10:1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat.
Penyakit SLE juga menyerang usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun
begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan
jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda-beda untuk tiap etnis
yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000
populasi, Cina 1 dalam 1000 pupolasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di
Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand,
terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian
sebanyak 50 kasus per 100.000
populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi
(Bartels, 2006).
3. Etiologi
Menurut (Hikmah & Rendi, 2018) penyebab SLE dibagi
menjadi 2 faktor, antara lain:
a.
Faktor Genetik
Jumlah, usia, dan usia anggota keluarga yang menderita
penyakit autoimun menentukan frekuensi autoimun pada keluarga tersebut.
Pengaruh riwayat keluarga terhadap terjadinya SLE pada individu tergolong
rendah, yaitu 3-18%.Faktor genetikdapat mempengaruhi keparahan penyakit dan
hubungan familial ini ditemukan lebih besar pada kelaurga dengan kondisi sosial
ekonomi yang tinggi.
b.
Faktor Lingkungan
1)
Beberapa faktor
lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE antara lain: Hormon, Hormon
estrogen dapat merangsang sistem imun tubuh dan SLE sering terjadi pada perempuan
dan terjadi pasa usia reproduktif dimana terdapat kadar estrogen yang tinggi.
2)
Obat-obatan, beberapa
obat dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun melalui mekanisme
molecular mimicry, yaitu molekul obat memiliki struktur yang sama dengan
molekul di dalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan toleransi imun.
3)
Infeksi, infeksi
dapat memicu respon imun dan pelepasan isi sel yang rusak akibat infeksi dan
dapat meningkatkan respon imun sehingga menyebabkan penyakit autoimun.
4)
Paparan sinar
ultraviolet, adanya paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan dan
kematian sel kulit dan berkaitan dengan fotosensitivitas pada SLE.
4. Tanda dan Gejala
Menurut Sharon Moore (2013) gejala umum pada penderita
lupus meliputi:
a.
Kelelahan
b.
Rasa nyeri, sebagian
besar penderita lupus terkena flu dan radang sendi (artritis) pada saat yang
sama dan mengalami sakit disertai nyeri hebat pada lokasi tertentu
c.
Ruam-ruam, penderita
lupus mengalami bermacam jenis ruam yang paling umum adalah ruam kupu-kupu,
yang juga disebut ruam malar, ruam tersebut terasa panas, gatal, dan berdarah
kalau dibiarkan
d.
Rambut rontok
e.
Demam
f.
Nyeri dada, Rasa
nyeri hebat yang disebabkan peradangan pada lapisan jantung dan paru-paru
adalah gejala tipikal lupus
g.
Tangan dan kaki
dingin, Sebagian besar tangan dan kaki penderita lupus tidak pernah hangat atau
yang disebut sindrom Raynaudyaitu ujung-ujung jari tangan dan kaki berubah
menjadi biru kalau dingin
h.
Kemarahan
premenstruasi
i.
Mata kering &
mulut kering, banyak penderita lupus mengalami sindrom Sjogren, yang terjadi
ketika zat-zat autoantibodi menyerang kelenjar yang memproduksi air liurdan
cairan yang melumasi mata
j.
Mudah luka, pada
penderita lupus jumlah platelet darah menurun karena terserang zat-zat antibodi
sendiri
k.
Edema, bengkak di
sekitar mata, engkel, atau kaki bisa menjadi tanda penyakit lupus
l.
Depresi.
Menurut
Pusdatin (2017) menjelaskan bahwa gejala lupus tanpa melihat jenis kelamin,
meliputi: Keletihan; sakit kepala; nyeri atau bengkak sendi; demam; anemia;
nyeri dada ketika menarik nafas panjang; ruam kemerahan pada pipi hingga
hidung, polanya seperti kupu-kupu; sensitive terhadap cahaya atau cahaya
matahari; rambut rontok sampai kebotakan; perdarahan yang tidak biasa;
jari-jari berubah kebiruan ketika dingin; sariawan dimulut atau koreng
dihidung.
5. Kriteria SLE
Pada tahun
1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru
untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini
mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu
periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu:
a.
Ruam malar: eritema persisten, datar atau meninggi,
pada daerah hidung dan pipi.
b.
Ruam diskoid: bercak eritematosa yang meninggi dengan
sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
c.
Fotosensitivitas: terjadi lesi kulit akibat
abnormalitas terhadap cahaya matahari.
d.
Ulserasi mulut: ulserasi di mulut atau nasofaring,
umumnya tidak nyeri.
e.
Artritis: artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi
perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.
f.
Serositis
1)
Pleuritis: adanya riwayat nyeri pleural atau
terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.
2)
Perikarditis: diperoleh dari gambaran EKG atau
terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.
g.
Kelainan ginjal
1)
Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari
3+
2)
Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular,
tubular, atau campuran.
h.
Kelainan neurologis: kejang tanpa sebab atau psikosis
tanpa sebab.
i.
Kelainan hematologik: anemia hemolitik atau leukopenia
(kurang dari 400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau
trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi
gejala tersebut.
j.
Kelainan imunologik: anti ds-DNA atau anti-Sm positif
atau adanya antibodi antifosfolipid
k.
Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada
pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap
saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus
(Delafuente, 2002).
6. Tingkat Keparahan Lupus
Menurut Wicaksono (2012) Tingkat keparahan penyakit lupus
berat yang mengenai organ vital dalam tubuh seperti:
a.
Jantung, meliputi
Endokarditis Libman-Sacks, Vaskulitis Arteri Koronaria, Miokariditis, Tamponade
Jantung, Hipertensi, Maligna.
b.
Paru-paru, meliputi
Hipertensi Pulmonal, Perdarahan Paru, Pneumonitis, Emboli Paru, Infark Paru,
Ibrosis Interstisial, Shrinking Lung.
c.
Ginjal, meliputi
Nefritis Proliferatifatau Membranous
d.
Neurologi, meliputi
Kejang, Acute Confusional State, Koma, Stroke, Mielopati Transversa,
Mononeuritis, Polineuritis, Neuritis Optik, Psikosis, Sindroma Demielinasi.
e.
Hematologi, meliputi
Anemia Hemolitik, Neutropenia (Leukosit<1.000/mm3), Trombositopenia<
20.000/mm3, Purpura Tromnotik Trombositopenia, Trombosis Venaatau Arteri.
7. Jenis-jenis Lupus
Menurut (Pusdatin, 2017) Jenis-jenis lupus dibagi menjadi
beberapa tipe antara lain:
a.
Lupus erythematosus
systemic (Systemic Lupus Erythematosus(SLE)) SLE dapat menyerang jaringan atau
bagian tubuh mana saja dengan tingkat gejala yang ringan sampai parah.Gejala
SLE dapat datang dengan tiba-tiba atau datang secara perlahan-lahan dapat
bertahan lama atau bersifat sementara sebelum akhirnya kambuh lagi.Gejala
ringan SLE terutama rasa nyeri dan lelah berkepanjangan yang dapat menghambat
aktifitas sehari-hari.sehingga para penderita SLE dapat merasa tertekan,
depresi, cemas meski hanya mengalami gejala ringan.SLE belum dapat disembuhkan,
tujuan pengobatan adalah untuk mendapatkan remisi panjang dan mengurangi
tingkat gejala serta mencegah kerusakan organ pada penderita SLE.
b.
Lupus Erytematosus
Kutaneus (Cutaneus Lupus Erythematosus(CLE)) CLE dapat dikenali dari ruam yang
muncul pada kulit dengan berbagai tampilan klinis.Pada lupus jenis ini dapat didiagnosis
dengan melakukan pemeriksaan penunjang biopsipada ruam.Pada gambaran
biopsiterlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dan endapan komplek imun pada
batas dermoepidermal yang dikenal dengan lupus band.
c.
Lupus Imbas Obat. Efek
samping obat berbeda-beda setiap orang.Terdapat 100 jenis obat yang dapat
menyebabkan efek samping yang mirip dengan gejala lupus pada orang-orang
tertentu. Gejala lupus akibat obat umumnya akan hilang jika berhenti
mengkonsumsi obat tersebut sehingga tidak perlu menjalani pengobatan khusus.
Tetapi perlu diperhatikan untuk berkonsultasi terlebih dahulu sebelum
memutuskan untuk berhenti mnegkonsumsi obat.
d.
Sindroma Overlap,
Undifferentiated Conective Tissue Disease dan Mixed Conective Tissue Disease.
Pada sebagian penderita LES ditemukan juga manifestasi klinis lain yang
memenuhi kriteria diagnostic penyakit autoimun lain seperti artritis
rheumatoid, scleroderma, atau myositis.
8. Manifestasi Klinis SLE
Manifestasi
klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah,
malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).
Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya
timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi
interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di
kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly
rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh
yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10%
– 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema
periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente,
2002).
Gejala SLE
pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis,
gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala
endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan
hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga
dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada
paru yang meliputi:
Pleuritis
dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk.
Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang
tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan
(gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia.
Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis,
dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE
pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik
dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar, 2003). Gejala lain yang
juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke
(Delafuente, 2002).
Gejala
hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada
sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya
positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia)
sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh.
Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai
perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan
glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan
pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar
yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi
(Delafuente, 2002).
Antikoagulan
lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan ini
diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan
kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu
tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan
ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah trombositopenia, pembekuan
darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit
katup jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia
atau trombositopenia, maka
dapat terjadi perdarahan.
Yang lebih
jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya
antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan
terjadi terus-menerus (Hahn, 2005).
Pada wanita
dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat
penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan.
Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur.
Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan
kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).
Gejala
klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin
atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus
nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok
berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial),
kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse
proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama
perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke
kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika –
Amerika dapat terjadi peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap
obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten
(Delafuente, 2002).
9. Patifisiologi
Pada pasien
SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan
jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T
dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal
dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid
dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini
dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi
peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T
akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta
APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein,
1998).
Berdasarkan
profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan
membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya
IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan
sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada
SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu
meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas
dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi
limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang
teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan
dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami
peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001).
Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B
dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan
akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai
dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan
CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang
jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal
yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam
menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum
disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi
autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah
bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen
integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan
organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun
(misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen
yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat
komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan
teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah
autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang
berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan
dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui
mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan
sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan
pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun
pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan
berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3
karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga
berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan
tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan
terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam
organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator
inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien
SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit)
atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel
limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh
makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti
serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal
berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran
sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen
komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran
seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor
αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi.
Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan
autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang
akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang
dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang
disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
10. Data Laboratorium
a.
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/m
Antibodi ini
ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan
penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang
tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang
(dorman).
Antibodi
anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari
antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA)
dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA
kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun
yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan
penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana
and Pagana, 2002)
b.
Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal:
nol
ANA
digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel.
ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi
pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA
juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA
diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif
terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium
yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka
sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa
bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm),
anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana
and Pagana, 2002).
c.
Tes Laboratorium lain
Tes
laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker
reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive
Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count
(CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana
and Pagana, 2002).
11. Komplikasi
Gejala
klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat
juga menahun dengan gejala satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala
terkenanya sistem lain. Pada tipe menahun dimana terdapat remisi dan
eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa,
penghentian kehamilan dan trauma fisik/psikis.
Setiap
serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,
kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, iritabilitas, yang
paling menonjol adalah demam kadang-kadang disertai menggigil, kerusakan organ
internal.
12. Penatalaksanaan Terapi
a.
Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti
ibuprofen (advil & motrin), naproxen, naprosyn (aleve), clinoril, feldene,
voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada otot-otot, sendi-sendi,
dan jaringan-jaringan lain.
b.
Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison,
prednisolone, medrol, deltasone, cortison dapat mengurangi peradangan dan
memugarkan kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids terutama
berguna ketika organ-organ internal terlibat. Corticosteroids dapat diberikan
secara oral, disuntikkan langsung kedalam sendi-sendi dan jaringan-jaringan
lain, atau dimasukkan melalui urat nadi (intravenously). Sayangnya,
corticosteroids mempunyai efek-efek sampingan yang serius jika diberikan dalam
dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang panjang, termasuk penambahan
berat badan, penipisan dari tulang-tulang dan kulit, infeksi, diabetes, muka
yang bengkak, katarak, dan kematian (necrosis) dari sendi-sendi besar.
c.
Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk
persendian yang sakit, luka kulit dan borok di dalam hidung atau mulut, dan
gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti malaria yang
sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek sampingannya
meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan pigmen mata.
Perubahan-perubahan pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan
(monitoring), dan mengurangi secara signifikan frekuensi dari
gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien dengan SLE sistemik.
d.
Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk
menyetop over aktifitas sistem kekebalan dan juga membantu membatasi kerusakan
yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus bukan sejenis cancer)
disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas digunakan untuk merawat
pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari SLE dengan
kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat peneken
kekebalan termasuk methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran),
cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine
(Sandimmune). Semua obat-obat peneken kekebalan dapat menekan secara serius
jumlah sel darah dan meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan. Efek-efek
sampingan lainnya adalah khas untuk setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat
menyebabkan keracunan hati, sedangkan Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.
e.
Penelitian baru-baru ini mengindikasikan
keuntungan-keuntungan dari rituximab (Rituxan) dalam merawat lupus. Rituximab
adalah suatu antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang menekan suatu sel
darah putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi jumlahnya didalam
sirkulasi. Sel-sel B telah ditemukan memainkan suatu peran pusat pada aktivitas
lupus, dan ketika mereka ditekan, penyakitnya cenderung menuju remisi.
f.
Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada
suatu makalah yang disajikan menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak
ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat membantu pasien-pasien lupus dengan
mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan mengurangi risiko penyakit
jantung.
Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus
Tidak ada
obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi pasien SLE. Harus
memperhatikan faktor alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan mempelajari
hubungan antara masa kambuh dan hormon estrogen atau pil KB. Pasien terutama
harus berhati-hati pada obat-obatan antibiotik sulfa (Bactrim, gantrisin,
septra) sering diberikan pada orang yang mengalami gangguan infeksi pada
saluran kencing, dan dapat menambah kepekaan penderita lupus terhadap sinar
matahari, mengakibatkan rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti
kambuhnya penyakit.
13. Penatalaksanaan Lain
Penatalaksanaan penderita lupus adalah untuk meningkatkan
dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien lupus dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitassehari-hari. Tatalaksana umum yang harus
dilakukan menurut Pusdatin (2017) antara lain:
a.
Hindari aktifitas
fisik yang berlebih
b.
Hindari merokok
c.
Hindari perubahan
cuaca karena mempengaruhi inflamasi
d.
Hindari stress dan
trauma fisik
e.
Diet khusus sesuai
organ yang terkena
f.
Hindari pajanan sinar
matahari secara langsung, khususnya UV pada jam 10.00 sampai jam 15.00
g.
Gunakan pakaian
tertutup dan gunakan tabir surya minimal SPF 30PA++ sebelum keluar rumah
h.
Hindari pajanan lampu
UV
i.
Hindari pemakaian
kontrasepsi atau obat yang mengandung hormone estrogen
j.
Kontrol obat secara
teratur
k.
Minum obat tepat
waktu dan teratur
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian (Gordon)
a.
Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan
Klien baru
pergi ke RS setelah demam yang dirasakannya tidak hilang sudah semenjak 1 bulan
yang lalu. Hal ini bisa terjadi karena klien tdak mengetahui tentang
penyakitnya sehingga klien merasa kalau dia hanya demam biasa dan tidak perlu
berobat ke
RS.
b.
Pola nutrisi metabolic
Penderita
SLE banyak yang kehilangan berat badannya samapi beberapa kg, penyakit ini
diseratai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan penderita nafsu
makannya menurun.
c.
Pola eliminasi
Tidak semua
dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial, namun secara
klinis penderita ini juga mengalami diare.
d.
Pola aktivas latihan
Penderita
SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan sering mengalami nyeri
pada persendian nya.
e.
Pola istirahat tidur
Klien dapat
mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri yang dirasakannya.
f.
Pola kognitif persepsi
Pada
penderita SLE, Daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari – jari
tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik. Pada sistem
neurologis, penderita bisa mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
g.
Pola persepsi diri dan konsep diri
Dengan
adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas seperti
luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita
merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
h.
Pola peran hubungan
Penderita
tidak dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan yang biasa dilakukan selama
sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit pasien tidak dapat
melakukan perannya sehari-hari dengan baik.
i.
Pola reproduksi dan seksualitas
Biasanya
penderita LES tidak mengalami gangguan dalam pola seksual reproduksi.
j.
Pola koping dan toleransi stress
Biasanya
klien merasa depresi dengan penyakitnya dan juga stress karena nyeri yang
dihadapi. Untuk menghadapi semua ini klien perlu selalu diberi dukungan oleh
keluarga dan tetangganya sehingga klien semangat untuk sembuh.
Klien juga
diberi obat-obatan seperti Dexametazon yang berfungsi untuk mengobati pegal
linu, peradangan sendi dan juga memperbaiki imunitas. Klien juga diberi obat
Piroksikam untuk obat anti inflamasi yang dapat mengatasi nyeri karena
peradangan.
k.
Pola nilai dan kepercayaan
Biasanya
aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan
dan nyeri sendi.
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
a.
Nyeri akut/kronis
b.
Gangguan integritas kulit
c.
Gangguan citra tubuh
d.
Koping tidak efektif
e.
Nausea
f.
Harga diri rendah
g.
Risiko Infeksi